Senin, 12 Desember 2011

Sesuatu tentang Luka


Saat kita berada di masa kanak-kanak, kita berbicara dan berbuat sesuatu, nyaris tanpa pertimbangan apapun. Kita melakukan hal-hal yang mungkin seharusnya tidak kita lakukan, lalu membuat orang lain marah. Jika yang marah adalah para orang tua, maka kita cukup menangis dengan takut bercampur sedikit sesal, lalu segalanya selesai. Mungkin, sedikit diwarnai dengan omelan atau cubitan, namun setelah itu segalanya tetap selesai. Jika yang marah adalah teman sepermainan, mungkin ia akan ngambek untuk beberapa saat, atau malah hanya melampiaskan kemarahannya secara langsung dengan melempar apa-apa yang bisa dilempar, atau membalas hal-hal yang perlu dibalas hingga kita pun ikut menangis bercampur marah. Namun, setelah itu? Ya, semuanya kembali selesai. Hanya dalam sekejap, kawan tadi kembali menjadi partner yang asyik untuk bermain petak umpet atau lompat tali. Ya, saat kita berada di masa kanak-kanak; semuanya terasa begitu sederhana.



Namun apa yang terjadi seiring dengan pergerakan waktu? Sedikit demi sedikit kita mulai mengenal ‘pertimbangan’. Mulai berpikir sebelum mengeluarkan kata-kata. Pun mulai tidak sembarangan melakukan sesuatu, baik yang berhubungan dengan diri sediri, apalagi yang sudah menyangkut orang lain. Sebab, berucap dan bertindak tanpa berpikir bisa berakibat fatal bagi banyak hal. Tidak semua orang dapat menerima ucapan maupun perlakuan sembarangan dari siapapun. Dan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan ini, tentunya akan meninggalkan bekas tersendiri bagi siapa saja.



Salim A. Fillah menuliskan dalam sebuah bukunya, tentang konsep ‘luka’ yang selalu saya ingat. Bahwa luka pada hati seseorang dapat diibaratkan seperti seseorang yang sedang tertusuk duri pada telapaknya. Pada saat hal itu terjadi, maka meski ia mendapat jabat tangan hangat saja, dapat membuatnya merasa kesakitan dan tidak nyaman. Begitupula saat yang terluka adalah hati kita. Maka, saat orang yang melukainya melakukan suatu hal, bahkan yang mungkin terlihat sebagai sesuatu yang baik sekalipun, maka bisa saja ia akan merasa sakit dan tidak enak. Minimal, ngedumel dalam hati dan merasa kesal tanpa ada alasan yang jelas.



Pernahkah kamu merasa jengkel hanya dengan melihat tampang seseorang saja? Kemudian menjadi agak bingung mencari alasan mengapa rasa tidak enak itu bisa muncul seketika? Hati-hatilah, mungkin kamu sedang terluka. Mungkin ada sebuah celah kecewa yang pernah hinggap, meski kata maaf telah mantap terucap. Namun, bukankah kepercayaan yang mungkin sulit terbangun, tapi ternyata begitu mudah untuk porak-poranda? Lalu untuk menyusunnya kembali, ternyata bukan hanya sekadar sulit; namun lebih lagi dari itu.



Maka, jika kita pernah merasa begitu sulit untuk menghadapi hal itu, tempatkanlah diri kita menjadi orang yang bisa saja menjadi penyebab luka. Bahwa kita bukan lagi di masa bertahun yang lalu, saat kanak-kanak masih lekat pada diri dan dapat berucap pun bertindak dengan sesuka hati. Kini, segalanya terhitung, tertakar. Agama, budaya, maupun kultur dan adat memiliki aturan umumnya masing-masing. Lalu, orang-orang yang melangkahi aturan-aturan tersebut, besar kemungkinan dapat menjadi penoreh luka yang potensial. Hari ini, di dunia, mungkin kita hanya akan menghadapi wajah masam atau boikot bicara dari orang yang kita lukai. Namun, tidak takutkah pada apa yang menunggu kita di akhirat kelak, atas semua hal yang tidak luput dari catatan, juga tidak lepas dari ganjaran?



“…dan satu perjanjian, jika kata ‘ya’ tadi tidak dapat kau wujudkan, maka sembunyikanlah hal buruk itu dari saya, agar saya tidak perlu luka dan kecewa. Cukup Allah yang mengetahuinya, cukup Allah yang membalasnya. Sepakat?”

gambar:devianart.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)