Kamis, 29 Desember 2011

Jalan Kumala dan Dia yang Telah Pergi


Beberapa hari yang lalu, saya dan ibu berkunjung ke rumah salah seorang kerabat di Jalan Kumala. Ibu berniat ingin mengambil beberapa bibit tanaman yang telah dijanjikan oleh nenek di sana (No more sansivera, Mom. Please… -_-“). Akhir-akhir ini memang beliau sedang hobi memasukkan perlbagai tanaman hias ke dalam rumah dengan pot-pot keramiknya. Dalam kondisi yang sedang baik, Ibu bisa teramat sibuk mengatur kembang-kembang itu, dan akan memperlakukan mereka seolah manusia; ada yang dianggapnya anak kecil perempuan yang lucu, ada yang seolah seorang pemuda yang gagah, dan lain sebagainya. Ah, personifikasi sekali Ibu ini..

Dan kunjungan saya ke jalan Kumala selalu mengingatkan saya pada seseorang. Seorang kakak yang dahulu turut berperan hingga saya dapat berada di jalan cahaya. Namanya Kak Riska. Saat saya kelas satu SMA dulu, beliau adalah ketua akhwat dari rohis di sekolah kami. Orangnya pendiam, dengan senyum hangat yang sesekali mampir di wajahnya. Dia juga anggota KIR yang meng-interview saya saat tes masuk ke organisasi tersebut. Dia, membonceng saya menuju sebuah tempat pengajian, tempat pertamakali saya bermajelis di luar sekolah.

Tapi, Kak Riska telah pergi.

Saat kami duduk di bangku kelas dua, di awal-awal tahun ajaran baru kami mendengar kabar yang kurang enak. Kak Riska sakit. Padahal, saat itu beliau harus bersiap-siap menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Kabar sakit beliau terus mampir di telinga saya, hingga akhirnya suatu hari, bersama dengan seorang sahabat yang juga anggota rohis, kami merencanakan untuk menjenguk beliau di keesokan harinya.

Namun, ternyata kami terlambat. Di hari dimana kami berniat datang menjenguk, ternyata agenda menjadi berubah. Kami, akhirnya harus datang ke sana, di rumah beliau di jalan Kumala, untuk bertakziyah. Kak Riska yang kami cintai, telah berpulang. Ada perasaan bersalah yang menghujam tiba-tiba saat mendengar kabar duka itu. Kenapa saya selalu menunda untuk mengunjungi beliau? Mengapa saya harus terlambat untuk momen semacam ini? Saat saya akhirnya hanya akan berhadapan dengan jasad tanpa nyawa, dari seorang kakak yang saya kenal dengan sujud panjangnya dalam sholat dhuha di mushalla kami.

Kami pun datang ke rumahnya. Begitu banyak air mata di sana. Ibu beliau, yang sudah menyiapkan sebuah tas baru untuk dipakai Kak Riska kuliah nanti, terlihat meraung dan menangis dengan sangat sedih. Saya hanya dapat memandang dengan pilu. Air mata saya semakin mengalir deras saat ingatan-ingatan tentang Kak Riska terus datang silih berganti. Saya, memang tidak begitu akrab dengan beliau yang terus terang teramat saya segani. Namun, saya selalu kagum disertai cemburu saat melihatnya teramat istiqamah, mengenakan jilbab syar’I hingga ajal menjemput.

Keesokan harinya, saya mendengar kabar bahwa Kak Riska sempat terbangun kembali. Ya, entahlah. Tapi kabar itu sahih dan member informasi kepada kami bahwa setelah kunjungan takziyah kemarin, Kak Riska yang telah dinyatakan meninggal sempat terbangun, lalu mengucap syahadat, kemudian kembali pergi, kali ini untuk selamanya. Mendengar itu, saya hanya dapat berusaha menyembunyikan air mata. Betapa beruntungnya. Yah, dia yang semasa hidupnya telah menghabiskan masa muda dengan kebaikan, dengan teladan yang begitu baik bagi kami ; adik-adik yang beliau tinggalkan.

Kak Riska, bagaimana kabarmu di sana? Semoga telah kau dapatkan apa yang selama ini dijanjikanNya. Semoga diterima segala amal dan diampuni segala dosa. Walau saya sadar betul bahwa telah ada sekat antara kita, namun lewat tulisan ini semoga telah tercurahkan; segala cinta pada sosokmu yang selalu kami rindukan.

1 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)