Selasa, 03 Januari 2012

Tetangga-Tetangga Kecil


Tetangga Kecil

Ada yang berbeda. Ya, ada yang berbeda dari lingkungan baru saya sekarang. Beberapa bulan yang lampau, saya sekeluarga memang memutuskan untuk pindah rumah. Dari yang sebelumnya terletak di (agak) tengah kota, kini pindah ke pinggiran, bahkan sudah terhitung luar kota pula. Maka, suasana pun berganti seketika. Rumah saya dulu yang terletak di belakang kampus tempat ayah dan ibu (dulu) bekerja, memang padat dengan rumah-rumah kos para mahasiswa. Tidak begitu jauh dari sana, juga memang ada lagi kampus lainnya.

Maka, tidak dapat dipungkiri bagaimana kepadatan yang terjadi di tiap lorong-lorong kecil tersebut. Kendaraan beradu dimana-mana. Mobil, motor, dan becak saling berdesakan untuk melewati jalan. Nah, ini merupakan salah satu alasan kenapa kemudian ayah saya memutuskan untuk pindah. Tidak tanggung-tanggung, sekalian ke luar kota Makassar!

Dan di sinilah saya sekarang. Sebuah rumah yang sebenarnya sudah cukup lama dimiliki oleh kedua orang tua, namun kemudian baru diputuskan untuk ditinggali, setelah sebelumnya dihuni oleh kerabat yang memang saat itu membutuhkan bantuan. Setelah renovasi sana-sini, akhirnya rumah yang sekarang pun resmi kami tinggali selama beberapa bulan lamanya. Suasananya pun sangat berbeda. Kompleks ini banyak dihuni oleh pasangan-pasangan muda, hingga agak sulit untuk menemukan kawan yang sepantaran dengan saya. Palingan yang ada adalah para remaja masjid yang mungkin semuanya adalah lelaki. Riuh rendah kehebohan kendaraan pun berganti dengan hiruk pikuk tawa dan tangis para tetangga kecil. Anak-anak berusia dua hingga belasan tahun yang saban sore bermain-main dengan asyik dan, hmm.., ribut!

Menyaksikan kehebohan mereka dari jendela kamar saya, kadang saya bernostalgia sendiri dengan masa kecil saya. Dulu, saya sering ikut main dengan kakak lelaki saya satu-satunya. Dia, jelas saja tidak suka, ada adik yang mengekorinya dengan sepeda roda tiga, perempuan pula! Hingga, akhirnya saya pun menemukan komunitas kawan perempuan sendiri. Namun, saat memasuki usia SD, saya sering mendapat oleh-oleh berupa pe-er yang lumayan banyak. Maka, jadilah saya banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Kerja pe-er, main game di komputer, atau baca komik dan buku cerita. Akhirnya, saya keasyikan dan mulai agak lupa dengan aktivitas di luar rumah. Orang tua saya lumayan tenang juga. Aman, mungkin begitu pikir mereka. Namun, di lain pihak, saya sadari bahwa hal itu cukup berpengaruh dalam kehidupan saya selanjutnya. Saya menjadi lebih pendiam dan tidak begitu suka dengan aktivitas fisik, apalagi saat jatuh sakit dan divonis gejala tiphus di kelas dua SD.

Kejadian Tidak Terlupakan di Kelas 2 SD

Saya: *Setengah mati mengerjakan tugas menulis indah selembar penuh*

Ibu: *Datang dan memandang hasil tulisan saya* Ini kok, tulisan kamu begini sih… *Ambil penghapus dan menghapus semua yang sudah saya tulis* Nah, sekarang coba tulis ulang!

Saya: *bengong*

Awal-awalnya, tetangga-tetangga kecil saya kalem-kalem saja. Mereka mungkin memang nampak ‘beringas’ saat bermain-main dengan sesamanya. Tapi, dengan saya mereka terlihat malu-malu dan kadang cuek-cuek saja. Hingga akhirnya, setelah lumayan lama dan saya cukup sering mereka lihat hilir mudik di daerah rumah mereka, para tetangga kecil ini mulai melakukan improvisasi.

Suatu hari, saya berjalan menuju pangkalan bentor, melewati kawanan kanak-kanak yang sedang asyik masyuk bermain. Salah satu dari mereka, Dede (3tahun) melihat saya dari jauh dan tersenyum-senyum. Rumah Dede memang tepat di depan rumah saya. Ibunya single parent yang membesarkan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil; Tanti, Dede, dan Baim. Mama Tanti bekerja dengan menawarkan jasa antar jemput anak-anak SD di kompleks dengan motornya. Saya, juga kadang jadi langganan Mama Tanti saat akan berangkat kuliah. Maka jelas, dengan keluarga kecil ini, saya cukup dekat.

Nah, melihat saya lewat, si Dede langsung menyapa dengan riang, “Kakak… Saya mau saliiim…” ujarnya dengan cempreng sambil mengansurkan tangan pada saya. Bersalaman, lalu meletakkan punggung tangan saya di jidatnya; salim. Perilaku Dede ini ternyata menginspirasi teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Maka jadilah saya bersalim-salim ria dengan para bocah ini. Mereka girang untuk alasan yang tidak begitu saya mengerti. Saya cuma bisa segera menyelasaikan aktivitas salim-salim itu segera dan ber-dadah-dadah pada mereka yang sumringah dan terus memanggil-manggil saya hingga saya menghilang di pembelokan. Haddeh…

Kejadian yang sama ternyata juga terjadi pada adik perempuan saya. Para tetangga kecil ini juga heboh ingin salim dengan adik saya saat mendapatinya akan berangkat kuliah. Kali ini bahkan diwarnai dengan chaos. Si Baim yang paling cilik diantara para bocah itu terjatuh di hadapan adik saya saat ingin salim. Tidak peduli dengan Baim yang sudah terjungkal dengan tragis, Nia yang seumur dengan Dede Nampak tidak peduli. Diinjaklah Baim untuk dapat salim dengan adik saya! Double haddeh…

Kebiasaan salim-salim itu pun terus berlanjut. Kadang, mereka mendapati saya pulang dari kampus, lalu langsung mengerubungi saya begitu turun dari bentor. Layaknya selebritis, saya pun salim-salim lagi sama mereka. Lalu kemudian, kembali terjadi perkembangan dengan salim-salim itu. Dari yang tadinya hanya sekedar bersalaman, berubah menjadi siapa yang paling banyak salim, dan yang paling lama menempelkan jidatnya. Kadang sampai ada yang jejeritan karena takut tidak kebagian salim. Triple haddeh..

Belakangan, saya sadar. Inti dari aktivitas itu bagi mereka bukanlah saya sebagai objeknya. Tapi, justru pada kompetisinya; siapa yang paling unggul. Siapa yang bisa salim paling banyak dan paling lama, maka dialah yang lebih baik dari yang lain. Yah, demikianlah para anak-anak itu. Tidak peduli dengan substansi ‘pertandingan’ itu sendiri, yang penting ia dapat jadi juara dan jadi yang terhebat.

Yah, tanpa sadar, kita yang (mengaku) sudah dewasa kadang mungkin melakukan hal yang sama. Berkompetisi untuk menjadi yang terdepan.

Fastabiqul khairat

Frase ini diperkenalkan kepada kita lewat ayat Al Qur’an. Berlomba dalam kebaikan. Demikianlah bagaimana kita dituntunkan untuk menjadi yang paling baik dalam hal yang baik. Dalam untaian sirah perjalanan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam dengan para shahabat saja, dengan mudah kita temukan bagaimana mereka selalu berlomba dalam tiap amalannya; siapa yang sedekah paling banyak, siapa yang paling semangat menimba ilmu dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam, siapa yang paling semangat dalam berjihad, dan siapa yang paling teguh dalam mempertahankan agamanya. Tanpa ada rasa paling unggul dan tanpa keinginan memamerkan amalan, mereka mengajarkan bagaimana caranya berlomba untuk kebaikan; kebaikan akhirat kelak. Lakukan saja, lebih sedikit yang mengetahui, lebih baik jadinya. Maka jadilah, muncul mereka yang akhfiyaa’; tak dikenal di bumi, namun popular di kalangan penduduk langit.

Sebaliknya, kita pun mendapati mereka selalu saja saling mengalah dalam hal dunia. Itsar, mendahulukan saudaranya dari kepentingannya sendiri. Sebuah puncak dari deret tangga ukhuwah Islamiyah yang telah kita pelajari. Anshar dan Muhajirin yang baru saja jumpa, sadar betul bahwa yang menyatukan mereka bukanlah perkara remeh temeh belaka. Kesaradan akan adanya ikatan dalam Laa Ilaha Illalah membuat mereka spontan saja membagi dua segalanya; harta, kebun, tempat tinggal, bahkan istri yang bersedia dicerai agar dapat dinikahi oleh saudaranya. Bahkan, hingga tetesan air terakhir yang dapat menyambung nyawa, kisah ini berakhir dengan meninggalnya ketiga syuhada yang saling mendahulukan. Bagi yang tidak mengerti kisahnya, akan menganggap hal ini tragis, konyol bahkan. Namun, bagi kita yang paham makna ukhuwah, kita tahu itu adalah sebentuk cinta yang hadir dengan kesadaran yang paling sadar; untuk dunia, tidak mengapa mengalah pada dirinya; sebab kita dipersaudarakan oleh Allah.

Namun, hari ini nampaknya ada yang berbeda. Entah mengapa kita justru melakukan yang sebaliknya. Dalam hal dunia, agak sulit rasanya untuk tidak menjadi juara. Harta, pangkat, gelar, ilmu dunia, menjadi parameter-parameter kesuksesan yang kadang membuat kita lupa untuk menengok pada saudara kita sendiri; adakah mereka pun dapat merasakan kenikmatan yang sama? Kita seenaknya makan hingga perut buncit, sementara tetangga sebelah tak bisa tidur karena kelaparan. Telah lupakah kita dengan nasihat untuk memperbanyak kuah agar masakan yang telah sampai baunya dapat pula terbagi nikmatnya? Ah, begitu bernafsunya kita dengan materi duniawi hingga tidak sampai di sana saja; kita bahkan menjadi merasa berhak untuk memandang remeh orang lain. Titel-titel yang memanjangkan nama itu, seolah menjadi legitimasi untuk enggan lagi tersenyum ramah, tidak lagi merasa cocok untuk berbicara sederhana, lalu sibuk merumit-rumitkan aksara agar dianggap paling berkompeten di bidangnya. Semakin parah, jika ditambah dengan tidak inginnya menerima kebenaran meski sebenarnya telah jelas ia tidak berada di jalan yang haq.

Sementara untuk urusan akhirat? Hmm…, ilmu syar’i seolah dianggap hanya milik mereka yang pesantren saja. Jilbab hanya dianggap tren Arab yang menyenangkan untuk dimodifikasi begitu rupa tanpa memperhatikan syarat-syaratnya. Mereka yang tekun beribadah dianggap egois ingin menikmati syurga sendirian. Mereka yang mencintai sunnah Nabinya dituduh berlebihan dan dicurigai teroris atau semacamnya. Saat diingatkan kepada akhirat; akhir yang tiada akhirnya, dengan santai kemudian seloroh itu yang mencuat; Ah, saya mau yang biasa-biasa saja… Hidup cuma sekali…Santai sajalah.. Tapi bagaimana bisa santai jika bisa jadi balasannya neraka yang menyala. Sementara pahit-pahit yang sementara ini mungkin saja berbuah syurga?

Tetangga-tetangga kecil saya kembali mengingatkan. Bahwa kita yang mungkin telah terlalu lama hidup di dunia, tidak pantas lagi bertingkah seperti mereka. Tidak pantas lagi berlomba untuk hal-hal yang mungkin tidak begitu kita mengerti substansinya. Biarlah mereka saja, yang memang belum mukallaf, belum dikenai beban pahala-dan-dosa, yang melakukan semaunya. Sementara kita? Janganlah… Semoga jadilah kita hamba yang melihat ke atas untuk akhirat, dan ke bawah untuk dunia. Semoga tercerahkanlah nurani untuk berujar jujur saat melihat yang muda, “Dirinya tentu memiliki dosa yang lebih sedikit dari saya…”. Lalu terkagum saat memandang yang lebih tua, “Dialah itu yang telah mengumpulkan lebih banyak pahala…”. Lalu temukan, memang tidak ada ruang untuk berbangga.

NoteForMySelf
Saat ibu-ibu tetangga kecil saya baru saja pulang sehabis bantu bikin kue semalaman.:')

1 komentar:

  1. kata "salim" mengingatkan sy pd kak fitri yg sering mengatakan salim sbg tanda untuk jabat tangan yg dengan itu mampu mengukir garis lengkung ke atas di bibir. kata "bocah" mengingatkan pd kak wulan yg sering menyebut itu bagi angk.2011 dan 2012 seolah kak wulan adalah ibu guru kami.

    (JEMPOL)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)