Sabtu, 21 Januari 2012

Anak Kecil Itu Menggigil

pic by Kamila on devianart.com

Hujan mengguyur kota sejak pagi. Rinai-rinainya seolah disaksikan oleh langit yang melulu suram. Kemarin, hujan pertama jatuh di hari Jum'at setelah beberapa hari langit cerah menaungi. Apakah ia adalah pertanda bahwa akan datang siklus hujan yang panjang? Entahlah. Tapi bagaimana pun, hujan adalah pertanda turunnya berkah. Kita mendoa; Allahumma shayyiban naafi'an.. Semoga bagi kita, turunnya hujan membawa manfaat.

Tapi tidak dapat dipungkiri, hujan tetaplah berarti basah. Jalanan basah, orang-orang tanpa payung basah, apalagi mereka; para pengemis cilik yang tetap saja bekerja meski hujan terus turun mengguyur. Dengan baju mereka yang teramat tipis, tentu saja tanpa alat bantu pelindung kecuali kantong kresek yang mereka gunakan menutup kepala, jelas saja berdiri di bawah hujan berjam-jam dengan keadaan begitu akan membuat mereka menggigil.

Tanpa rasa takut, mereka menerobos jalanan yang ramai dengan kendaraan. Segera berlari jika melihat lampu merah menyala. Lalu menadahkan tangannya yang gemetar kedinginan, seirama dengan bibirnya yang mulai nampak kebiruan. Sebuah mobil berwarna hitam nampak didatangi oleh si pengemis cilik. Mobil yang sedang terjebak macet itu nampak segera menurunkan kaca jendelanya sedikit, lalu mengeluarkan sekotak kue yang kini berpindah tangan pada si bocah.

"Uangnya juga, Pak.." ujar pengemis cilik itu, meminta tambahan. Tapi kaca mobil itu telah tertutup, nampaknya bagi mereka telah cukup membagi sekotak kue itu buat si pengemis. Ia tentu butuh pengganjal perut di saat-saat menggigil seperti itu. Tapi, tanpa bocah itu tau, saat ia kemudian berjalan menuju tepi, sepasang mata dari dalam mobil itu terus mengikutinya. Ya, memperhatikannya yang terus berjalan menerobos kendaraan demi menuju ke emperan tempat ia bisa berteduh. Pemilik mata itu pastinya berpikir, bahwa si bocah akan segera menikmati kue pemberian mereka tadi di sana.

Namun, ternyata tidak. Sebab di emperan itu telah menunggu beberapa orang dewasa dengan penampilan layaknya pengemis pula. Bedanya, mereka tidak basah, mereka tidak menggigil kedinginan! Sebaliknya, mereka justru nampak santai duduk-duduk di sana. Menanti bocah-bocah menggigil yang hilir mudik dari satu mobil ke mobil yang lain untuk meminta sedekah. Uang-uang, termasuk kue yang baru ia dapatkan kini berpindah tangan pada orang dewasa itu. Mereka nampak mulai mencicipi kue tersebut tanpa perasaan bersalah, lalu nampak biasa saja menatap punggung si bocah yang kini kembali turun ke jalan sambil menghembuskan napasnya yang lebih hangat ke telapak tangannya yang gemetar.

Mereka, orang dewasa itu, entah siapa. Berat rasanya membayangkan mereka adalah orang tua si bocah. Ngeri rasanya untuk percaya bahwa ada orang tua yang demikian tega memandang anaknya berhujan-hujan, menggigil, dan kelaparan. Kalau pun mereka bukan orang tuanya, maka sudah selayaknyalah makhluk bernama manusia memiliki nurani untuk peduli kepada anak-anak yang tidak berdaya itu. Anak-anak yang harusnya mereka lindungi dan cukupi kebutuhannya. Bukan justru dimanfaatkan untuk kemanfaatan yang belum waktunya.

Pemilik sepasang mata tadi kini telah melewati kemacetan barusan. Matanya tidak lagi memandang bocah pengemis yang menggigil itu. Ia justru menerawang pada masa kecilnya, saat ia baru saja berniat untuk ikut berhujan-hujan dengan kawan-kawan tetangga, kedua orang tuanya pasti akan langsung melarang dan tidak mengizinkan. Sepasang mata itu kini berkaca; hatinya merasa miris untuk si bocah, hatinya menguntai syukur untuk kehidupannya.

(Kamar Indy, 21 Januari 2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)