Sabtu, 24 Desember 2011

HENTIKAN!



Awal tahun, dua tahun yang lalu. Saat aktivitas di rumah saya berhenti begitu saja seiring dengan tubuh-tubuh yang lelah dan mata yang telah siap terpejam. Mungkin, sekitar pukul sebelas kurang beberapa menit, di tiga puluh satu Desember dua ribu sembilan. Nothing special seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan seperti biasa, kami semua akan tidur sesuai dengan jam tidur masing-masing, lalu esoknya bangun seperti biasa, kecuali dengan angka tahun yang bertambah.

Tapi tidak dengan malam itu. Tepat pukul 00.00, kami terbangun, mungkin tepatnya; terperanjat. Bukan. Bukan oleh gempita pergantian tahun yang selalu heboh itu. Tapi justru oleh teriakan ibu saya yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan nafas terengah. Wajah beliau nampak pucat dengan keringat yang tiba-tiba mengalir di dahinya dengan deras.

Yah. Rupanya ibu terkaget dengan bunyi petasan dan kembang api yang membahana tepat saat pergantian tahun. Baiklah, ibu kami memang tidak dalam kondisi baik selama beberapa tahun belakangan ini. Beliau begitu mudah terkaget oleh hal-hal yang mungkin kita anggap sepele. Dan kekagetan itu bukan hanya sampai di situ saja. Setelahnya, ibu kemudian mengalami kondisi kesehatan yang semakin drop selama lebih dari sepekan setelah kejadian tersebut. Ya, karena itu saya selalu benci tahun baru. Benci suara petasan dan kembang api. Benci kepada hal-hal tidak penting yang pernah membuat ibu saya sakit.

Setelah kejadian itu, setiap tahun baru, kami sekeluarga selalu merencanakan untuk mencari tempat lain selain rumah untuk melewati pergantian tahun. Bukan acara tahun baruan tentu, tapi justru semacam kegiatan pengungsian agar insiden yang sama tidak kembali terulang. Maka saya kembali kepada kaidah awal yang saya coba buat sendiri, bahwa; hal-hal yang membuat kita senang, bisa jadi membuat orang lain menderita.

Termasuk dengan pesta-pesta tahun baruan ini.

Baiklah, saya juga pernah melewati fase ingin-merayakan-tahun-baru tersebut di masa lalu, meski kemudian tidak pernah terealisasi karena tidak pernah pula mendapat izin dari orang tua. Dan kedongkolan karena larangan tersebut di masa lalu, kini telah berubah menjadi kesyukuran bahwa saya kemudian tidak pernah sempat untuk benar-benar merayakannya. Lagi pula, saya selalu bertanya; apa pentingnya merayakan tahun baru?

Bukankah pergantian tahun adalah sebuah pertanda semakin dekatnya kita dengan ajal. Bahwa diri kita ini adalah kumpulan masa yang tiap detiknya akan terus berkurang dan selangkah lebih dekat dengan kematian. Lalu apa yang sedang kita rayakan? Yah, betapa dekatnya perayaan-perayaan ini dengan simbol agama lain, lalu kita dengan mudah terpengaruh dengan jebakan generalisasi, lalu ikut-ikutan merayakannya dengan gembira. Seorang guru berkata; ikut-ikutan adalah kebiasaan bangsa yang kalah. Bahkan, beratus tahun yang lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pun bersabda;

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban.)

Maka saudaraku, saya mohon hentikan. Segala macam kebiasaan tanpa guna di malam pergantian tahun. Cukupkanlah diri kita dengan dua hari raya yang memang telah jelas disyariatkan oleh Allah; Idul Adha dan Idul Fitri. Bahkan, kita punya hari Jum’at yang selalu berulang tiap pekannya sebagai hari raya kita; ummat Islam, ummat yang telah dimenangkan Allah di atas ummat lainnya.

Maka saudaraku, saya mohon; hentikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)