Kamis, 19 September 2013

Perempuan Tua dan Puzzle

Gadis itu menatap perempuan tua di hadapannya. Ia masih belum mengerti, bagaimana bisa perempuan ini mencintai satu orang saja sepanjang hidupnya. Ya, cinta yang terus menerus dan tidak pernah berhenti. Lelaki itu mati, dan seolah membawa serta sebuah kunci ke dalam liang kuburnya. Kunci itu adalah kunci hati perempuan tadi. Hati yang seolah tidak akan pernah terbuka untuk siapapun, kecuali untuk lelakinya. Padahal, meski waktu telah memanggil gurat dan kerutan pada wajah perempuan tua itu, nyatanya itu semua hanya bisa mengangkat bendera putih; tidak mempu menutupi kecantikan alami perempuan itu. Gadis itu belum mengerti, bagaimana bisa perempuan ini jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama. Ia sepanjang musim duduk di depan jendela, seolah menunggu lelaki itu pulang dikala senja. Pulang, atau membawanya serta pergi. Entah kemana. 

Di hadapannya terhampar sebuah puzzle raksasa. Beberapa bagian sudah tersusun rapi di sana. Terlihat betul bagaimana gigihnya gadis itu menyusunnya satu per satu seorang diri. Segala halangan dan rintangan ia lewati tanpa letih dengan kepala yang selalu ia tegakkan. Ia percaya, bahkan pada titik terlemah, satu-satunya orang yang bisa menolongnya, pada akhirnya adalah dirinya sendiri. Meski ia sadar betul, semua kepingan puzzle itu ia susun berdasarkan sebuah instruksi dari kertas yang kini ia genggam dengan tangan bergetar. 

"Kenapa berhenti? Instruksi selanjutnya khan sudah jelas sekali? Puzzle itu selesai lebih cepat, akan lebih baik...", perempuan tua itu bertanya sambil memandang telapak tangan gadis yang kini basah itu. 

Gadis itu kembali memandangnya. Lalu memandang kertas di tangannya. Menggigit bibir. Ada ragu pada matanya, bercampur ketakutan pula. Ada juga kesedihan di sana. Jika saja ia sedang berdiri di tepi laut, ingin sekali rasanya ia berteriak sekuat tenaga, melepaskan beban yang seolah mencengkramnya begitu rupa. 

Ia kemudian meraih satu kepingan puzzle di dekatnya. Lalu menerka-nerka dimana ia akan meletakkan kepingan itu. 

"Jangan bercanda. Keping yang itu tidak pernah ada dalam catatan...", ujar perempuan tua itu sambil tersenyum. Guratan-guratan halus muncul di kulit dekat matanya. 

Gadis itu melepaskan kepingan yang tadi ia genggam. Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Lalu kembali menggenggam kepingan yang lain. Lalu menatap pada perempuan tua. Seolah meminta persetujuan. Perempuan itu menggeleng lembut. Ia menunjuk kertas di tangan si gadis dengan dagunya. 

"Aku tahu...", akhirnya gadis itu berkata dengan lemah. Suaranya bergetar. "Aku tahu mengapa selama ini dapat menyusun puzzle dengan mudah. Mungkin, sebab semua instruksi di kertas ini selalu kujalani tanpa cela.", lanjutnya. Sebuah kalimat keyakinan, namun ia ucapkan dengan nada yang begitu sedih. Pedih. Seolah begitu pasrah pada keadaan. 

"Dan selalu begitu. Bukan kertas ini yang salah." ia menatap lekat pada kertas penuh coretan itu. "Hanya saja, aku yang selalu tidak punya pilihan lain untuk diperjuangkan.", ujarnya. Perempuan tua itu mengangguk-angguk, seolah sudah sangat paham pada permasalahan gadis muda di hadapannya. 

Gadis itu kembali meraih satu kepingan puzzle yang sudah ia letakkan. Menatapnya lekat-lekat seolah benda itu akan terbang jika ia tidak waspada. Lalu, dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, ia akhirnya meletakkan kepingan itu pada susunan puzzle yang lain. Sejurus kemudian, ia tersenyum, lega sekali. Bahkan hingga ada lapisan bening di kedua bola matanya. Ia terharu. Tuntas sudah pada sebuah pilihan yang ia letakkan pada susunan puzzle raksasa itu. Masih banyak kepingan lain yang dikemudian hari harus kembali ia susun.

"Kali ini saja. Izinkan aku menentukan hidupku sendiri." ucapnya pada perempuan tua yang sekilas nampak kaget pada kepingan yang gadis itu letakkan. Kini, rupa puzzle itu telah sedemikian berubah. 

"Kau yakin?", tanya perempuan itu, menyelidik. 

Gadis itu mengangguk. 

Perempuan tua itu mengembuskan napas, lalu tersenyum. "Kalau begitu, jangan pernah khianati mimpimu sendiri."

Gadis itu mengangguk lagi. 

Makassar, 19 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)