Rabu, 04 September 2013

Kepadamu, Gadis

"Pasti kamu ini orangnya tidak neko-neko!", ucapku sambil menatap gadis di hadapanku ini. Ia masih saja menunduk. Sekali-sekali memainkan botol air mineral yang belum ia habiskan. Bersama dua orang di ruangan itu, kami baru saja menuntaskan buka puasa. 


Aku menatap sepatu yang ia kenakan. Lebih sebab takut ia merasa tidak nyaman. Tentu gadis sepertinya tidak akan nyaman jika dipandangi oleh lelaki sepertiku, bukan? Sepatu itu. Ah, bukankah tidak seperti itu seharusnya gadis 'selevel' dia menggunakan alas kaki? Sebuah sepatu flat dari bahan kanvas yang harganya mungkin tidak sampai seratus ribu. Sudah nampak agak usang sebab telah ia gunakan sejak awal semester. Jika saja bukan karena aku mendapat bocoran dari kawan yang lain tentang siapa dia sebenarnya, tidak mungkin aku heran dengan cara berpakaiannya ini. 

Ya, sebab memang tidak ada yang aneh darinya. Penampilannya yang bersahaja. Naik turun angkutan kota dengan jarak rumah yang begitu jauh. Beberapa kali bahkan aku mendapatinya berjalan kaki untuk tujuan yang beberapa orang lain mungkin akan memilih untuk mengeluarkan ongkos dengan angkutan bantuan. Handphone-nya bukan telepon pintar -seperti yang kebanyakan digunakan orang saat ini. Bahkan, ia menggunakan jenis hp yang sama denganku; yang mungil dan tipis itu. Suatu saat, seorang perempuan mendekatinya untuk menawarkan katalog tas wanita branded. Dan tanggapan pertamanya membuat perempuan yang menawarinya itu langsung tidak semangat lagi, "Apa ini, Kak? Oooh..., tas yang mahal itu ya...".  Dan, ya. Semua yang ada pada dirinya seragam saja: sederhana. Namun entah apa, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan telah membuatku kadang merasa ada 'sesuatu' pada gadis ini. 

Hingga akhirnya penasaran itu terjawab saat aku memaksanya menyebutkan nama ayahnya. Lelaki itu. Aku mengenalnya. Bahkan mengidolakannya. Lelaki dengan garis wajah yang tegas yang kadang kudapati di shaf terdepan dalam shalat dhuhur di sebuah masjid. Dan jika dia memang adalah anak dari lelaki itu, maka sungguh apa yang ia nampakkan selama ini begitu menipu. 

Dalam sebuah kesempatan formil, keadaan menempatkan kami menjadi harus begitu intens berkomunikasi. Kupikir, ia benar-benar introvert sejati; nampak dingin dan kaku dengan orang-orang baru, tapi bisa menjadi begitu ceria bahkan cerewet jika telah akrab. Sejak awal kukatakan padanya, bahwa aku tidak suka membeda-bedakan orang. Meski aku tahu, banyak orang, terutama kaum lelaki yang pasti segan berinteraksi dengannya. Tapi kukatakan, ia tidak akan mendapati itu padaku. Menanggapi itu, ia hanya tersenyum, menyeringai tepatnya. Seolah-olah ia mengatakan; Kita lihat saja nanti...

Maka belakangan ia kulihat tidak lagi se'tenang' awal-awal dulu. Ia mulai sering menanggapi celetukan-celetukan kami, bahkan bertingkah yang membuat kami kerap tertawa. Meski dengan nada bercanda ia kadang berucap, "Saya ini khan orangnya pendiam...,". Lalu kata-katanya itu akan sukses menuai ejekan dari kami semua. 

Suatu waktu, sebuah kondisi membuat aku akhirnya harus bertandang ke rumahnya. Meski nampak jelas berbagai macam cara ia lakukan agar hal itu tidak perlu terjadi. Namun sebab mendesak, akhirnya jadi pula aku menyusuri jalan untuk mencari alamatnya. Hingga akhirnya ketemu. Rumah bertingkat dua itu cukup tinggi menjulang. Temboknya saja sudah cukup membuat jatuh mental. Aku penasaran dengan bagaimana isinya. Namun, alih-alih bisa duduk di ruang tamunya, yang muncul diambang pintu justru adalah seorang gadis perempuan lain yang bertampang identik dengannya. Gadis yang ternyata adiknya itu meminta sebuah makalah yang aku bawa. Lalu menghilang setelah ia berterima kasih dan menutup pintu. Di kesempatan kedua, dengan keperluan tugas yang sama, lagi-lagi bukan dia yang keluar untuk setidaknya menemui aku, tamunya. Kali ini, ia mengutus adik lelakinya. 

Begitu berjumpa dengannya, aku hanya bisa pura-pura marah.
"Awas yah kalau nanti aku datang lagi dan bukan kau yang keluar!"
"Ribet!" ujarnya sambil tertawa-tawa, tidak peduli. 

Maka begitulah ia. Hingga kami akhirnya tidak lagi sering bertemu ia masih tetap begitu. Berpakaian sederhana. Naik turun angkot. Makan nasi bungkus. Dan selalu berusaha menyembunyikan nama dan jabatan ayahnya. Berkali-kali kuberitahukan padanya untuk menyampaikan salamku pada ayahnya. Namun berkali-kali pula ia menolak. 

"Tidak mau!" ujarnya, santai.
"Kalau kamu tidak mau sampaikan...", ujarku dengan senyum licik. Matanya mendelik. Alisnya naik
"Aku akan temui sendiri ayahmu. Jika sudah begitu, salam itu bukan untuknya lagi. Tapi untuk anak perempuannya!" lanjutku. 

Alisnya berkerut. 

Makassar, 4 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)