Jumat, 20 September 2013

Benih

Padang rumput itu begitu luas. Menatapnya dari sini, maka aku bisa melihat hamparan hijau yang memanjang tak terbatas. Lengang pula. 

Hingga suatu hari, seorang gadis datang ke sana. Entah darimana asalnya. Ia berlari-lari dengan begitu gembira. Seolah sedang menikmati kebebasan tak berujung itu. Ia nampak begitu senang dan sumringah. Sementara kedua telapak tangannya mengatup, entah tengah menggenggam apa. Ia menjaga baik-baik 'sesuatu' pada kedua belah telapak tangannya itu. Seolah jika ia lengah sedikit saja, maka benda itu akan hilang darinya. Ia terlihat begitu menjaga benda itu. Sambil terus tertawa-tawa bahagia. Membuncah. 

Gadis itu muncul di padang rumput tiap pagi dan petang hari. Namun, diwaktu-waktu tertentu, kerap kali ia kudapati tengah mengintip dari jauh. Seperti menunggu waktu yang tepat untuk kembali muncul. Semakin lama, ia semakin sering mengintip seperti itu. Lalu semakin lama, juga menjadi semakin sering berlari-lari di sana. 

Kemudian hari itu tiba. Hari dimana akhirnya aku bisa mengintip benda di tangannya. Ia membuka katup tangannya. Itu sebuah benih. Sebuah benih yang entah untuk tanaman apa, entah dimana pula ia mendapatkannya. Mungkin itu serupa benih pohon yang akan menumbuhkan buah-buah dari kristal es? Atau yang rantingnya beku? Entahlah. Aku tak pernah tahu. 

Setelah membuka katup tangannya dan memperlihatkan benih itu, akhirnya si gadis memutuskan untuk menanamnya. Ia meletakkan benih itu pelan-pelan di atas rumput. Seolah itu adalah sebutir permata atau kaca yang mudah retak. Lalu dengan kedua belah tangannya, ia menggali tanah seorang diri. Masih, dengan senyum merekah dan semua kekuatan yang ia punya. Ia bahkan tidak lagi peduli pada lecet-lecet pada jari jemarinya karena begitu semangat menggali. Ia terus menyimpan harapan meski tanpa sadar tengah menyakiti dirinya sendiri. Saat lubang yang ia gali sudah dirasa cukup, ia menanam benih itu dengan hati-hati. Dengan penuh kasih. Ditimbunnya kembali benih itu dengan tanah. Lalu disiramnya dengan air yang ia bawa. Pelan-pelan. Penuh penghayatan. 

Ia lalu memandang hasil kerjanya dari jauh. Menikmati setiap harapan yang ia titipkan pada sebiji benih yang kini mendekam dalam bumi. Gadis itu, nampaknya begitu yakin, bahwa benih itu akan tumbuh suatu hari. Meski sebenarnya ia pun tahu, bahwa tidak ada yang menjanjikan hal itu terjadi. 

Setelah prosesi menanam benih, si gadis menjadi bertambah bersemangat untuk datang ke padang rumput. Ia bahkan meninggalkan hatinya di sana. Sepotong hati yang merawat benih itu sepenuh jiwa. Oleh hati, benih itu disiraminya, dipupukinya, dan dirawatnya tanpa lelah. Sekali lagi, meski pengetahuan tentang tidak ada yang menjanjikan bahwa benih itu kelak akan tumbuh, ternyata tertinggal di otak gadis itu. Yang hatinya tahu hanyalah bahwa, pada benih itu, harapan ia telah titipkan bulat-bulat. 

Sesekali gadis itu pun datang. Menyaksikan sendiri bagaimana perkembangan si benih. Ia terus berdoa dalam sujud-sujudnya, betapa ia menginginkan benih itu bertumbuh suatu hari. 

Aku menyaksikan gadis itu. Entah ikut berharap, ataukah justru merasa ngeri. Adakah gadis itu akan siap, sekiranya benih itu tidak pernah benar-benar tumbuh? Adakah gadis itu akan mudah menerima, perihal segala pengorbanan dan harapannya yang tumpah ruah tentang benih itu nyatanya hanyalah sesuatu yang kosong belaka? Layaknya hembusan angin yang berlalu tanpa wujud yang nyata. Adakah gadis itu cukup kuat? Tak tahu. 

Aku masih menyaksikan gadis itu. Dari sini, dari tempatku sendiri. Tempat dimana awan dan matahari menumpang untuk beredar. Tempat dimana aku bisa melihat segalanya dengan lebih luas. 

Aku menyaksikan gadis itu. Tanpa sadar, betapa sebenarnya aku pun turut menginginkan apa yang gadis itu inginkan. Bahkan meski itu berarti harus merelakan...

Makassar, 20 September 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)