Rabu, 25 September 2013

Sekali Lagi. Tentang Perpisahan

"Bu, besok akan datang adik kecil di rumah sebelah, khan Bu?", tanya gadis kecil itu dengan mata berbinar. Ibunya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Tak lama lagi, tetangga mereka akan kedatangan anggota keluarga baru... 

***

Saya tidak menyangka harus menulis kalimat ini kembali. Bahwa dalam sehari, saya mendengar dua kabar perihal perpisahan. Yang pertama tentang seorang saudari seperjuangan di masa kuliah, yang besoknya akan kembali ke kampungnya, dan mengabdi di sana. Kami akan berpisah. Yang kedua, tentang perpisahan dengan kerabat yang amat sangat dekat. Dua perpisahan, namun dalam konteks yang sama sekali berbeda. 


Sosok pada perpisahan yang pertama itu, telah saya tulisan pada postingan sebelum ini. Sementara dengan yang kedua, ini terjadi antara saya dengan anak pertama dari kakak lelaki ayah. Ya, seorang sepupu satu kali, Kak Nina namanya. 

Kak Nina, bagi saya adalah sosok yang bagaikan lampu yang terang benderang. Semua tempat dengan kehadirannya bisa menjadi begitu gegap gempita dan bahagia. Ia bisa membawa tawa dimana-mana dengan celetukannya yang lucu. Sosoknya yang mungil menunjang kelincahannya yang super. Ia gunakan itu untuk membantu orang banyak. Saya berjumpa dengan Kak Nina sekitar sepekan lalu, saat acara arisan keluarga terjadwal di rumahnya. Saya saat itu tidak tahu, bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami. 

Saya sengaja masuk lewat pintu belakang, hari itu. Sengaja pula datang lebih cepat dari jadwal seharusnya, sambil menenteng bungkusan berisi kue untuk Paman yang kemarin baru saja melewati hemodialisa. Paman saya itu, adalah seseorang yang tetap survive hidup dengan penyakit ginjalnya. Belasan tahun sudah ia cuci darah. Menurut pengakuan beliau, rekan-rekannya sesama pasien yang harus di-hemodialisa telah datang dan pergi satu persatu. Kalian tentu paham makna kata 'pergi' yang saya gunakan di sini. Paman saya itu, satu dari sedikit yang bertahan begitu lama. 

Kak Nina dengan sigap menyodorkan kue di piring kecil kepada saya. Belum lagi kue itu habis, ia kembali muncul dengan segelas es buah. Sesekali ia mengajak saya bercakap dan melucu hingga saya tertawa-tawa. Perutnya yang sudah semakin membuncit tidak mengurangi kelincahannya. 

"Tinggal tunggu hari, Dek. Itu kalau mau normal. Tapi kalau mau operasi sih, bisa kapan saja...", ucapnya, menerangkan perihal kehamilannya. Saya mengangguk-angguk sambil terus mengunyah.

Sebelum pamit dari rumahnya, saya masih sempat berjabat tangan dan mengelus perut Kak Nina. Ia terus tersenyum lebar sambil melepas kepergian saya. 

Hingga, kabar itu datang. Di suatu pagi yang harusnya biasa, Paman dan seorang menantunya sudah muncul di ruang tamu kami pagi itu. Mereka berdua menemui Bapak, dan mereka berbicara dengan nada yang begitu rendah. Saya yang sedang berbenah di kamar Ibu sama sekali tidak bisa menangkap pembicaraan mereka, sama sekali tidak ada bayangan tentang kabar yang mereka bawa. Setelah mendengar kabar itu, Bapak hanya diam. Tidak banyak bicara. Sudah sejak lama memang, Ibu saya tidak bisa mendengar berita buruk. Berita seputar meninggalnya orang-orang terdekat dari kami selalu dirahasiakan dari Ibu, demi menjaga kondisi kesehatan beliau yang akan langsung terganggu jika mendengar berita tak baik. Kami akan merahasiakannya, hingga Ibu akhirnya akan mengetahuinya sendiri, lewat perasaannya sendiri. 

Maka saat melihat Bapak hanya diam. Saya tahu, sesuatu telah terjadi. Saya berusaha menahan penasaran  hingga melepas Bapak berangkat pagi itu, lalu tak lama mengirimkan pesan singkat untuk bertanya perihal kabar tersebut. 

"Siapa yang meninggal, Pak?"

"Kakak Nina-mu, Nak."

Saya tertegun menatap layar handphone. Ada bulir bening yang tiba-tiba muncul di bola mata saya. Sesuatu yang tentu harus segera saya sembunyikan sebelum ibu bertanya macam-macam.

Akhirnya, saya baru berkesempatan untuk ke rumah duka pada malam harinya. Di sana, saya mendengar banyak cerita. Perihal Kak Nina yang dibawa ke rumah sakit umum tempat asuransi dari perusahaan suaminya bekerja dapat digunakan. Kondisinya tidak begitu baik, mengingat bulan lalu ia sempat mengalami pendarahan. Saat itu telah mengemuka opsi untuk langsung menjalankan SC, namun berat bayi tidak mendukung. Maka, ditundalah. 

Pada hari kelahiran itu, Kak Nina mengalami hipertensi. Kondisinya buruk. Sekitar DELAPAN JAM di rumah sakit tersebut tanpa ada tindakan yang berarti. Saya tidak paham apakah pelayanan menjadi begitu berlarut-larut sebab Kak Nina dan suaminya bukan pasien umum? Entahlah. Ia hanya berdua dengan suaminya, sebab Tante menemani Paman untuk cuci darah di rumah sakit yang lain. Katanya, penanganan pada Kak Ninan tidak memungkinankan di rumah sakit itu, namun entah mengapa tidak segera di rujuk ke rumah sakit lain. Dari cerita pada kerabat, ada yang mengatakan bahwa saat itu yang ada hanya koas, ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya ada dokter residen. Yang lain berkata, dokter ahli bedahnya sedang tidak di tempat. 

Hingga akhirnya, Kak Nina menghembuskan napasnya yang terakhir dengan janin yang masih di perut. Menurut hasil USG, calon keponakan baru saya itu adalah bayi lelaki. Ia, bahkan meninggal sebelum benar-benar lahir. Kak Nina meninggalkan seorang suami dan seorang anak perempuan berusia tiga tahun yang sangat mirip dengannya. 

Orang-orang yang datang melayat berkata tentang banyak hal, banyak kemungkinan. Seandainya segera dirujuk... Seandainya memilih rumah sakit lain... Seandainya waktu itu segera dioprasi saja... Dan seandainya-seandainya lain yang tidak akan mengubah apapun. 

"Mungkin inilah memang takdir anak saya. Kami dilarang untuk berkata seandainya...", ucap Ibu Kak Nina dengan air mata berlinang-linang. 

Malam itu saya memandangi bocah tiga tahun itu dengan perasaan yang sesak. Anak itu mengira, ibunya sedang pergi shalat. Ia hanya melihat sang ibu dalam balutan kain kafan putih seperti mukenah. Saat ibunya pulang nanti, ia akan dibawakan oleh-oleh dan mainan, katanya. Anak itu masih ceria dan melompat di pangkuan saya ketika saya datang. Saat akan pamit pulang, ia menjabat dan mencium tangan saya -kebiasaan yang diajarkan oleh Kak Nina semasa hidupnya. Saya memandangi bocah cantik itu, lalu mendapati wajah Kak Nina di sana. 

***

"Adik kecilnya tidak datang, Nak. Adik kecilnya tidak akan datang...", ucap Ibu Kak Nina sambil terisak, pada bocah tetangganya yang mengira akan segera bertemu dengan anak Kak Nina yang baru lahir. 

Makassar, 24 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)