Senin, 01 Desember 2014

Keluar dari Akuarium

Betapa nikmatnya hidup dalam ketaatan. Sehingga dunia terasa begitu damai. Ibadah menjadi kebutuhan yang senantiasa mendekatkan kepada Rabb Sang Pencipta kita. Dalam diam terdapat perenungan dan dalam setiap kata selalu ada kebaikan. Nikmatnya berada dalam majelis ilmu. Menelusuri cerita para pendahulu yang shalih. Mengikuti sebaik-baik perikehidupan dari para insan mulia. Dan semangat berkebaikan berkobar dalam dada.  Mengerjakan yang wajib menjadi kepastian, hingga kemudian kita menjadi begitu meletup-letup dalam tanya; Sunnah apa lagi yang seharusnya kita tegakkan?

Dan waktu pun terus berjalan. Semakin lama, kita semakin terbiasa dengan itu semua. Semakin lama, kita sudah semakin lupa pada kejahiliyaan yang dahulu pernah kita lakukan. Di mata kita, warna dunia telah berubah. Segala wajah yang kita lihat hanyalah dia yang berada dalam ketaatan. Hingga, nikmat hidayah ini menjadi sedemikian biasa.

Mungkin sebab kita selayaknya ikan di dalam akuarium. Yang saban hari mendapatkan makanan tanpa harus mencari jauh-jauh. Kita melihat pemandangan yang itu-itu saja. Tiada ombak yang menerpa. Tidak ada gelombang yang patut ditakutkan. Semuanya aman dan baik-baik saja.

Padahal, saat kita mencoba keluar dari sana, nyatanya semuanya sangat jauh berbeda. Sadarkah kita bahwa dunia sudah sedemikian rusak? Kita tiba pada masa dimana semua hal menjadi terbolak-balik. Jika tidak terbolak-balik, maka ia menjadi saling bercampur aduk antara haq dan yang batil. Kita semakin banyak melihat kesamar-samaran, lebih mudah menemukan berbagai pembenaran dibandingkan kebenaran.

Dunia di luar akuarium kita berisi para bocah dengan pikiran orang tua dan kenakalan yang melampaui usianya. Dengan para pemuda yang seolah akan hidup selamanya dan mengira taubat hanya akan memusnahkan keindahan masa mudanya. Dengan para tua-tua yang seperti akan mati begitu saja dan tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Mereka sedemikian jauh dalam jalan kebaikan hingga bahkan tidak sadar telah tersesat. Mereka menganggap baik hal yang buruk dan menganggap wajar apa yang patut dikhawatirkan. Mereka kehilangan jalan kembali dan berputus asa dari cahaya petunjukNya. Dunia di luar akuarium kita begitu mengerikan dan berisi hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan, hingga kita hanya bisa bergidik dalam tanya; “Bagaimana bisa mereka melakukan itu semua?”

Menengoklah ke luar sana barang sejenak untuk kemudian menemukan kembali kesyukuran atas hidayah. Melihatlah pada hal itu untuk dapat sadar kembali bahwa nikmat ketaatan memang bukan hal yang murah. Sementara jalan ini terasa masih begitu panjang. Bukankah kita begitu sering tergoda untuk melihat pembelokan-pembelokan lain di jalan kebenaran ini? Bukankah kadang jiwa kita mengaku lelah dan berpikir untuk menanggalkan hidayah barang sebentar saja, seolah kita mampu mengatur perkara taubat?

Padahal umur kita masih saja misteri. Jika kita berpaling, siapa pula yang punya jaminan bahwa kita akan diberi waktu untuk taubat nanti. Jikapun usia kita dipanjangkan, bagaimana kita bisa tahu bahwa pada perpanjangan waktu itu kita diberi hidayah untuk kembali. Dan kalaupun kita sempat untuk menyesali kesalahan dalam taubat, adakah yang bisa memastikan bahwa pertaubatan itu akan diterimaNya? Sementara, siapakah yang bisa mengampuni kita jika bukan Allah?

Para pendahulu kita saling bernasihat dalam takwa dengan cucuran air mata tersebab ketakutan mereka kepada Allah. Sementara kita, terkadang menamai nasihat pada sindiran dan cemoohan pada saudara yang kita temukan kekhilafannya. Seolah neraka kita yang punya, dan seolah kita telah punya kapling di surga.

Jalan kebenaran ini adalah jalan yang lurus, yang dengan atau tanpa kita sadari, senantiasa kita pinta dalam setiap perjumpaan kita denganNya. Saat kita menyusurinya, maka mari kita terus melanjutkan perjalanan hingga habis usia. Berdoalah kepadaNya, dengan mengharap rahmatNya, semoga diteguhkan hati kita di atasnya. Sebab betapa mudah kita berpaling. Betapa tanpa pertolongannya, kita tidak bisa mengharapkan apa-apa, kita tidak bisa mengandalkan siapa-siapa.  Wallahu musta’an.

kita menjadi sering tertipu
pada sujud yang dirasa sudah cukup
lantunan ayat yang telah terucap
atau tampilan luar yang nampak terjaga
lalu kita pun segera merasa aman
seolah surga telah berada dalam genggaman

sementara jalan ini terasa masih begitu panjang
jika esok hati kita dipalingkan
hingga berbelok ke lorong yang gelap
lalu di sana kita akhirnya menutup usia
maka di mana tempat kita kelak
pada akhir yang tidak ada akhirnya

sementara jalan ini terasa masih begitu panjang
maka jika bukan dengan rahmatNya
bagaimana bisa kita bertahan?
(Sajak Sementara Jalan Ini Terasa Masih Begitu Panjang)

*totally note for my self*
Makassar, 30 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)