Betapa nikmatnya hidup
dalam ketaatan. Sehingga dunia terasa begitu damai. Ibadah menjadi kebutuhan
yang senantiasa mendekatkan kepada Rabb Sang Pencipta kita. Dalam diam terdapat
perenungan dan dalam setiap kata selalu ada kebaikan. Nikmatnya berada dalam
majelis ilmu. Menelusuri cerita para pendahulu yang shalih. Mengikuti sebaik-baik
perikehidupan dari para insan mulia. Dan semangat berkebaikan berkobar dalam
dada. Mengerjakan yang wajib menjadi
kepastian, hingga kemudian kita menjadi begitu meletup-letup dalam tanya; Sunnah apa lagi yang seharusnya kita
tegakkan?
Dan waktu pun terus
berjalan. Semakin lama, kita semakin terbiasa dengan itu semua. Semakin lama,
kita sudah semakin lupa pada kejahiliyaan yang dahulu pernah kita lakukan. Di
mata kita, warna dunia telah berubah. Segala wajah yang kita lihat hanyalah dia
yang berada dalam ketaatan. Hingga, nikmat hidayah ini menjadi sedemikian
biasa.
Mungkin sebab kita
selayaknya ikan di dalam akuarium. Yang saban hari mendapatkan makanan tanpa
harus mencari jauh-jauh. Kita melihat pemandangan yang itu-itu saja. Tiada
ombak yang menerpa. Tidak ada gelombang yang patut ditakutkan. Semuanya aman
dan baik-baik saja.
Padahal, saat kita mencoba
keluar dari sana, nyatanya semuanya sangat jauh berbeda. Sadarkah kita bahwa
dunia sudah sedemikian rusak? Kita tiba pada masa dimana semua hal menjadi
terbolak-balik. Jika tidak terbolak-balik, maka ia menjadi saling bercampur
aduk antara haq dan yang batil. Kita semakin banyak melihat kesamar-samaran,
lebih mudah menemukan berbagai pembenaran dibandingkan kebenaran.
Dunia di luar akuarium kita
berisi para bocah dengan pikiran orang tua dan kenakalan yang melampaui
usianya. Dengan para pemuda yang seolah akan hidup selamanya dan mengira taubat
hanya akan memusnahkan keindahan masa mudanya. Dengan para tua-tua yang seperti
akan mati begitu saja dan tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Mereka
sedemikian jauh dalam jalan kebaikan hingga bahkan tidak sadar telah tersesat.
Mereka menganggap baik hal yang buruk dan menganggap wajar apa yang patut
dikhawatirkan. Mereka kehilangan jalan kembali dan berputus asa dari cahaya
petunjukNya. Dunia di luar akuarium kita begitu mengerikan dan berisi hal-hal
yang mungkin tidak pernah terpikirkan, hingga kita hanya bisa bergidik dalam
tanya; “Bagaimana bisa mereka melakukan
itu semua?”
Menengoklah ke luar sana
barang sejenak untuk kemudian menemukan kembali kesyukuran atas hidayah.
Melihatlah pada hal itu untuk dapat sadar kembali bahwa nikmat ketaatan memang
bukan hal yang murah. Sementara jalan ini terasa masih begitu panjang. Bukankah
kita begitu sering tergoda untuk melihat pembelokan-pembelokan lain di jalan
kebenaran ini? Bukankah kadang jiwa kita mengaku lelah dan berpikir untuk
menanggalkan hidayah barang sebentar saja, seolah kita mampu mengatur perkara
taubat?
Padahal umur kita masih
saja misteri. Jika kita berpaling, siapa pula yang punya jaminan bahwa kita
akan diberi waktu untuk taubat nanti. Jikapun usia kita dipanjangkan, bagaimana
kita bisa tahu bahwa pada perpanjangan waktu itu kita diberi hidayah untuk
kembali. Dan kalaupun kita sempat untuk menyesali kesalahan dalam taubat,
adakah yang bisa memastikan bahwa pertaubatan itu akan diterimaNya? Sementara,
siapakah yang bisa mengampuni kita jika bukan Allah?
Para pendahulu kita saling
bernasihat dalam takwa dengan cucuran air mata tersebab ketakutan mereka kepada
Allah. Sementara kita, terkadang menamai nasihat pada sindiran dan cemoohan
pada saudara yang kita temukan kekhilafannya. Seolah neraka kita yang punya,
dan seolah kita telah punya kapling di surga.
Jalan kebenaran ini adalah
jalan yang lurus, yang dengan atau tanpa kita sadari, senantiasa kita pinta
dalam setiap perjumpaan kita denganNya. Saat kita menyusurinya, maka mari kita
terus melanjutkan perjalanan hingga habis usia. Berdoalah kepadaNya, dengan
mengharap rahmatNya, semoga diteguhkan hati kita di atasnya. Sebab betapa mudah
kita berpaling. Betapa tanpa pertolongannya, kita tidak bisa mengharapkan
apa-apa, kita tidak bisa mengandalkan siapa-siapa. Wallahu musta’an.
kita menjadi sering tertipu
pada sujud yang dirasa sudah cukup
lantunan ayat yang telah terucap
atau tampilan luar yang nampak terjaga
lalu kita pun segera merasa aman
seolah surga telah berada dalam genggaman
sementara jalan ini terasa masih begitu panjang
jika esok hati kita dipalingkan
hingga berbelok ke lorong yang gelap
lalu di sana kita akhirnya menutup usia
maka di mana tempat kita kelak
pada akhir yang tidak ada akhirnya
sementara jalan ini terasa masih begitu panjang
maka jika bukan dengan rahmatNya
bagaimana bisa kita bertahan?
(Sajak Sementara Jalan Ini Terasa Masih Begitu Panjang)
*totally note for my self*
Makassar, 30 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)