Biarkanlah Mister Shakespeare di seberang sana itu terus bertanya dalam
kalimat retorisnya tentang apa arti sebuah nama. Tak usah di jawab sebab bukan
itu yang ia inginkan. Cukup naikkan sebelah alismu, pandang ke dalam bola
matanya, lalu bertanyalah kembali;
“Serius, kamu tak tahu,
Tuan?”
Ya, sebab bagi kita telah jelas; nama adalah doa. Nama adalah pengharapan.
Nama adalah diantara hak yang harus ditunaikan orang tua kepada kita.
Nama adalah diferensiasi. Dengan memiliki nama, kita bisa menyapa orang
lain. Menentukan bahwa dialah yang bermaksud untuk kita panggil. Menyebutkan
dengan lantang bahwa orang itulah yang sedang kita ajak bicara atau sedang kita
bicarakan. Tanpa menyebut nama, maka tidak akan ada yang merasa, tidak akan ada
yang bertanggung jawab. Tidak akan ada yang peduli dan menganggap patut untuk
memberikan reaksi.
Kita boleh saja berlindung dengan analogi-analogi. Bahkan mungkin kita bisa
menciptakan bias yang membuat orang lain bingung, dan kita sukses; sebab memang
hal itulah yang kita inginkan. Menutupi sesuatu. Membuat orang lain
mengira-ngira. Menciptakan prasangka. Sehingga satu kerentanan menjadi sesuatu
yang sangat mungkin benar-benar terjadi; salah kira.
Dan hal yang buruk bisa begitu saja terjadi jika sudah sampai pada titik
ini. Mulai dari keburukan yang ‘biasa’ hingga yang benar-benar fatal.
Itulah kenapa pada titik-titik tertentu, kita harus memastikannya. Bukankah
nama adalah salah satu hal selain amalan yang akan kita bawa hingga akhirat
kelak; saat di mana kita akan dibangkitkan setelah kematian, lalu dipanggil
dengan nama yang kita ridhai selama hidup di dunia.
Nama membuat kita tidak akan tertukar dengan orang lain. Maka, menyebutkan
sebuah nama adalah indikasi sebuah ketegasan. Bukankah demikianlah yang terjadi
saat seorang lelaki melalui proses di mana ia akan mengambil sebuah tanggung
jawab dunia akhirat atas seorang wanita yang awalnya berada di bawah tanggung
jawab ayahnya. Secinta apapun ia, ia harus tegas menyebutkan nama, bukan hanya
sekadar kata; cinta. Sesayang apapun dia, maka tetap pula ia harus menyebutkan
nama, bukan hanya sekadar kata; sayang. Dan secantik apapun seseorang, maka
nama itu pun harus tetap terucap dengan jelas, bukannya menyebut kata; cantik.
Apalagi dengan menyebut sesuatu yang sifatnya absurd dan lebih tidak jelas
lagi! Ya, dalam ijab qabul yang merupakan perjanjian yang kokoh itu, seorang
lelaki pada akhirnya akan mengucap satu nama
yang dalam satu tarikan napas akan mengalihkan ketaatan seorang anak
manusia, dari orang tua yang melahirkan-membesarkannya kepada seseorang yang
mungkin baru dikenalinya.
Nama. Ya, ia harus menyebutkan nama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)