Minggu, 14 Desember 2014

Nama

Biarkanlah Mister Shakespeare di seberang sana itu terus bertanya dalam kalimat retorisnya tentang apa arti sebuah nama. Tak usah di jawab sebab bukan itu yang ia inginkan. Cukup naikkan sebelah alismu, pandang ke dalam bola matanya, lalu bertanyalah kembali;

“Serius, kamu tak tahu, Tuan?”

Ya, sebab bagi kita telah jelas; nama adalah doa. Nama adalah pengharapan. Nama adalah diantara hak yang harus ditunaikan orang tua kepada kita.

Nama adalah diferensiasi. Dengan memiliki nama, kita bisa menyapa orang lain. Menentukan bahwa dialah yang bermaksud untuk kita panggil. Menyebutkan dengan lantang bahwa orang itulah yang sedang kita ajak bicara atau sedang kita bicarakan. Tanpa menyebut nama, maka tidak akan ada yang merasa, tidak akan ada yang bertanggung jawab. Tidak akan ada yang peduli dan menganggap patut untuk memberikan reaksi.

Kita boleh saja berlindung dengan analogi-analogi. Bahkan mungkin kita bisa menciptakan bias yang membuat orang lain bingung, dan kita sukses; sebab memang hal itulah yang kita inginkan. Menutupi sesuatu. Membuat orang lain mengira-ngira. Menciptakan prasangka. Sehingga satu kerentanan menjadi sesuatu yang sangat mungkin benar-benar terjadi; salah kira.

Dan hal yang buruk bisa begitu saja terjadi jika sudah sampai pada titik ini. Mulai dari keburukan yang ‘biasa’ hingga yang benar-benar fatal. 

Itulah kenapa pada titik-titik tertentu, kita harus memastikannya. Bukankah nama adalah salah satu hal selain amalan yang akan kita bawa hingga akhirat kelak; saat di mana kita akan dibangkitkan setelah kematian, lalu dipanggil dengan nama yang kita ridhai selama hidup di dunia. 

Nama membuat kita tidak akan tertukar dengan orang lain. Maka, menyebutkan sebuah nama adalah indikasi sebuah ketegasan. Bukankah demikianlah yang terjadi saat seorang lelaki melalui proses di mana ia akan mengambil sebuah tanggung jawab dunia akhirat atas seorang wanita yang awalnya berada di bawah tanggung jawab ayahnya. Secinta apapun ia, ia harus tegas menyebutkan nama, bukan hanya sekadar kata; cinta. Sesayang apapun dia, maka tetap pula ia harus menyebutkan nama, bukan hanya sekadar kata; sayang. Dan secantik apapun seseorang, maka nama itu pun harus tetap terucap dengan jelas, bukannya menyebut kata; cantik. Apalagi dengan menyebut sesuatu yang sifatnya absurd dan lebih tidak jelas lagi! Ya, dalam ijab qabul yang merupakan perjanjian yang kokoh itu, seorang lelaki pada akhirnya akan mengucap satu nama  yang dalam satu tarikan napas akan mengalihkan ketaatan seorang anak manusia, dari orang tua yang melahirkan-membesarkannya kepada seseorang yang mungkin baru dikenalinya.

Nama. Ya, ia harus menyebutkan nama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)