Jumat, 31 Mei 2013

Mamak

"Apakah orang yang bersaudara bisa menikah?", akhirnya pertanyaan itu yang terbit dari segala kebingungan gadis sepuluh tahun itu. Ya, selama ini ia hidup dengan cukup tenang. Namun, desas-desus orang-orang disekelilingnyalah yang membuatnya pada akhirnya mencoba mencari kesimpulan sendiri. Kesimpulan yang ia tuangkan dalam satu pertanyaan, yang justru membuatnya semakin bingung saja. 

.
.

Usianya baru tiga tahun saat itu. Masih terlalu kecil untuk mengingat apapun. Saat ia kemudian hidup sebagai seorang anak perempuan, adik dari seorang sulung laki-laki berwajah tampan. Wanita yang ia panggil 'Mami' itu pun dalam kurun waktu yang cukup lama, selalu ia yakini sebagai ibu kandungnya. Mami adalah seorang perempuan-superior, dengan harta melimpah berupa kebun-kebun produktif yang luas. Ia dikelilingi begitu banyak orang yang betah bekerja dengannya. Ia memang dapat merangkul siapa saja. Namun, jangan dekat-dekat dengannya saat ia marah, sebab moncong pistol menjadi senjatanya. 

"Pistol anginkah?"
"Bukan, pistol itu berisi peluru sungguhan. Mami akan menembakkannya dengan brutal jika ia sedang marah. Semua orang akan tiarap dibuatnya"

Pribadi yang unik. Hasil bumi dari kebun-kebunnya terkadang bahkan hingga diletakkan dalam karung-karung besar. Lembar dan koin-koin rupiah itu berjejal di sana, sesak. Namun, beberapa bulir nasi yang tersisa di meja, atau terbuang karena melengket di panci, dapat membuatnya murka. 

"Jangan jadi orang mubazir!," kira-kira demikian pekiknya. 

Mami menikah dengan seorang tentara. Tentara berwajah tampan, mungkin nampak seperti pria blasteran, didukung oleh tubuhnya yang tinggi dan kekar, kulit putih, dan hidung bangir; lengkap sudah. Tentara itu kemudian disekolahkan oleh Mami ke kota, tentu dengan duitnya yang melimpah. Naas, bukan hanya melanjutkan sekolah, suami Mami itu malah bertemu dengan wanita lain di sana, lalu menikah. 

Tanggapan Mami? Tentu lebih dari sebuah kemarahan. Mendengar kabar itu, sudah cukup baginya untuk menjadi alasan mengakhiri masa pernikahan mereka. Mami cerai. Lalu kemudian ia menikah lagi dengan seorang lelaki lain. Pejuang pula, namun bukan dibawah naungan institusi TNI. Ironinya, suami kedua, sekaligus terakhir dari Mami ini, dikemudian hari akan menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh TNI, mantan suami Mami salah satunya. 

Lelaki itu mungkin tidak setampan si tentara. Namun, ia memiliki kharisma luar biasa. Kecerdasan dan kemampuan strateginya tidak diragukan. Anak buahnya banyak, hebat-hebat pula. Ia pun mengangkat seorang tangan kanan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakak laki-laki dari Mami. Dikemudian hari, lelaki ini terlibat seteru dengan para TNI, ia pergi meninggalkan rumah. Lalu, kembali hanya dengan sebuah kabar; TNI telah berhasi membekuknya, ia telah meninggal. Namun, jasadnya tidak pernah benar-benar disaksikan oleh siapapun. Onggokan tubuh kaku dalam balutan kain kafan itu tidak pernah betul-betul dibuka hingga kemudian dimakamkan oleh negara. Lelaki itu, ia sebut Papi.

Cukup lama gadis kecil itu menghabiskan hari-harinya dengan keyakinan bahwa ia adalah anak dari Mami dan Papi. Berbagai fragmen pun telah ia lalui. Mulai dari kenikmatan hidup tanpa berkekurangan di rumah Mami yang begitu luas itu, hingga akhirnya 'pemberontakan' itu pecah, lalu keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Papi dikejar TNI, Mami dan kakak lelakinya menjadi tahanan politik. Keluarga-keluarga mereka diungsikan. Terbirit-birit ke hutan, bahkan hingga suatu hari ia menghilang dari gerombolan. Lalu di hari yang lain ia ditemukan tak sadarkan diri dengan lintah menempel di seluruh tubuhnya. Pada masa itu, kehidupan menjadi begitu sulit. Ia dititipkan pada seorang bibinya yang masih muda pula, belum bersuami. Mereka mengharap uang kiriman yang entah darimana. Saat masa 'kering' datang, ia dan beberapa orang anak harus pergi mencari kayu bakar, atau menampung air pada pipa-pipa bocor milik tetangga. Betapa nelangsa. 

Maka pada saat kondisi telah tenang, sampailah kabar bahwa Mami telah dibebaskan dari tahanan. Isu itupun muncul. Beberapa orang disekelilingnya kerap kali membisik setiap kali melihat gadis itu. Dengan bahasa bugis yang tidak pernah diajarkan kepadanya -ia hanya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, Mami melarangnya mengguna bahasa bugis sejak kecil, orang-orang itu kerap bertanya..

"Memangnya ini anaknya siapa?", tanya mereka pada Mami. 

Jika sudah begitu, Mami akan merangkulnya, memeluknya dan mengusap kepalanya sambil tersenyum penuh arti (mungkin disertai kedipan mata pada si penanya), "Anak siapa? Ini anak saya...", ujarnya kemudian. 

Tanda tanya di kepalanya tentang hal itu membuat dirinyanya yang biasanya ceria, menjadi pendiam. Sesekali, kakak laki-laki tampan yang bersekolah di kota itu datang menghiburnya. Membawakan oleh-oleh berupa sikat gigi dan odol kecil yang tidak pernah dijual di kampung, lalu membuatnya tersenyum lagi. 

Tapi isu itu tetap mengemuka. Orang-orang menyebut kakak laki-laki Mami sebagai ayahnya. Tapi ia terlalu bingung untuk mencari dimana letak Papi, jika ada lelaki lain yang disebutnya Ayah. Selain itu, lelaki itu bukannya adalah saudara dari Mami-nya? Ia makin bingung. 

Hingga akhirnya pertanyaan itu terjawab. Setelah ia melalui lautan dengan kapal kecil kayu yang selalu terlihat akan tenggelam. Doyong kesana-kemari hanya mengharap embusan angin yang mudahkan pelayarannya. Sampai biru badannya menahan mual, bersama beberapa orang anak yang selama ini ia pahami sebagai saudara-nya. Ia menemui lelaki itu. Lelaki yang orang-orang sebut sebagai ayahnya. 

"Jadi, saya ini ayahmu...", ujar lelaki itu. 
"Lalu, Papi?", tanya gadis itu. 
"Papi itu Papimu, suaminya Mamimu.. Tapi saya adalah ayahmu, kamu juga punya ibu yang melahirkan kamu, tapi kalian belum bisa bertemu sekarang...", lelaki itu memberikan penjelasan. 

Awalnya, ia masih saja tidak bisa mengerti. Terlalu memusingkan untuk anak sekecil itu memahami sebuah konsep yang bertumpuk-tumpuk tidak jelas. Namun dikemudian hari ia akhirnya sadar, bahwa ia memang bukanlah anak kandung Mami. Entahlah, mungkin sudah menjadi bagian dari ego Mami sehingga menyembunyikan ini dari dirinya. Bahkan meski setelah ia telah mengetahui fakta itu, lalu tumbuh berkembang sebagai seorang wanita dewasa dan belajar di kampus di kota, Mami tetap tidak dapat melepaskannya. Contohnya, saat ia kemudian menikah dengan seorang lelaki yang bukan berasal dari suku mereka. Mami marah besar. Ia mungkin masih menganggap dirinya tetap memegang kendali atas hidup gadis itu. Tapi tidak lagi. Ayahnya terlanjur setuju. 

Ayahnya adalah seseorang yang anti-feodalisme. Selama ini ia berjuang, ikut dalam perang melawan penjajah dan menjadi saksi kemerdekaan, tetap dengan membawa misi menghapuskan permasalahan kasta. Ia tidak ingin mengguna gelar kebangsawanan apapun meski sangat mungkin. Bahkan hingga akhirnya orang-oranglah yang memberikannya julukan, menambah nama lain yang mereka ambil dari salah satu nama gunung yang terkenal. Dikemudian hari, oleh anak-cucunya ia dikenang sebagai seorang pejuang. Namun, buku-buku sejarah terbitan pemerintah justru menyebut ia dan kelopoknya (yang dipimpin oleh Papi) sebagai pemberontak. 'Hanya' sebab mereka memperjuangkan hal lain setelah NKRI dapat berdiri kokoh tanpa penjajahan. Mereka justru bermimpi, akan sebuah negara dengan syari'ah Islam sebagai landasannya.

Ya, demikianlah tetang ayahnya. Tapi, dimana ibunya?

Well, jika orang lain dapat hidup bersama  dan sangat mengenal wanita yang melahirkannya, tidak demikian dengan gadis itu. Baru saat usianya menginjak kepala dua, ia ditakdirkan bertemu dengan ibu kandungnya. Dari Makassar, tempatnya berkuliah, untuk pertama kalinya ia menumpang pesawat menuju Kendari, bersama ayah dan ibu tirinya (seorang janda, istri terakhir ayahnya). Di sebuah tempat yang bukan bagian dari kota, mereka sampai. Ia baru saja hendak mengistirahatkan dirinya malam itu. Saat tiba-tiba kamar yang ia tempati diketuk. Saat pintu dibuka, muncullah sesosok wanita di baliknya. 

Ia memandangi wanita itu sekilas. Mata itu... Ah, bukankah begitu pula matanya? Dan bagian dari dirinya yang tidak mirip dengan Ayah, ternyata ada pada wanita itu. 

"Saya ini ibumu." ucap wanita dengan wajah menawan itu. "Kita malam ini tidur sama-sama, yah?" ujarnya sambil melangkah ke tempat tidur. Ia hanya mengangguk. Tidak bisa mengucapkan terlalu banyak kata. Hey, bukankah selama ini ia adalah seorang aktivis perempuan paling terkenal sekampus? Dikenal pula sebagai gadis yang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja? Tapi kenapa kali ini lidahnya kelu untuk memulai kata apapun?

Ia pun turut melangkah ke tempat tidur itu. Mengambil sisi yang lain yang tidak ditempati ibunya. Mereka lalu berbaring, lalu saling memunggungi. Beberapa menit berselang, yang ada hanya diam dan hening. Lalu tanpa komando keduanya membalikkan badan. Saling menatap dalam sepersekian detik. 

.
.
.
.
.
Lalu keduanya saling memeluk. Menangis. 

Bertahun-tahun setelahnya, keduanya kembali terpisah. Kali ini bukan oleh rahasia, atau ketidakinginan, ataupun keengganan. Mereka justru sangat ingin berjumpa, namun dalam ketidakmampuan. Gadis yang kini adalah seorang ibu dari tiga anak itu sebenarnya rela saja memilih kendara paling cepat meski harus berkorban harta, demi bertemu dengan ibunya. Namun serangkai gangguan pada syaraf, juga sesuatu tentang obat-obat yang tidak dapat ditinggalkan, membuatnya tidak mampu melakukan itu. Ia akhirnya hanya dapat menitipkan pesan pada saudaranya di kampung yang kini merawat ibunya itu. Pesan itu tidak bisa ia sampaikan langsung sebab pendengaran sang ibu kini nyaris tidak dapat lagi berfungsi.
"Minta ibu doakan saya. Maafkan kesalahan saya...", ujarnya dengan mata berkaca. 

Di hari yang lain saudaranya itu mengabarkannya. Saat menyampaikan pesannya lewat kertas dan spidol, Ibunya lalu bergumam dengan suara pelan, "Anakku yang satu itu, tidak punya dosa apapun kepada saya..".

Mendengar kabar itu, ia kembali terdiam. Sekali lagi, ia menangis. 

----------------------------------------------------------------------------------------

"Tiap orang punya ujian yang berbeda-beda, Nak.", ujar Mamak sambil berbaring, kepalanya diserbu oleng lagi setelah beberapa menit yang lalu mencoba duduk. Tuntas sudah cerita masa lalunya itu ia kisahkan pada saya. 


manusia mengakhiri urusannya
lalu mereka mencari dan mengejar,
mungkin dunia

tapi kau
tidak perlu kemana-mana untuk meyakinkan berita itu
bahwa surga
memang ada di bawah telapak kakinya

Makassar, 31 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)