Rabu, 22 Mei 2013

Bicaralah...


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku)
dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. 
(QS. Al Baqarah, :186)


Televisi rusak. Ada gambar, tidak ada suara. Begitulah kira-kira cara beberapa orang menganalogikan orang lain yang tidak begitu gemar berbicara. Manusia sebagai makhluk sosial agaknya mempersyaratkan komunikasi sebagai satu hal yang mutlak. Dan komunikasi yang paling jamak adalah dengan bicara.

Banyak orang yang gemar bicara. Mereka berbicara apa saja. Kadang kecepatan lisannya melebihi kecepatan pikir otaknya. Berbicara menjadi satu hal yang mudah dan tidak perlu terlalu panjang pertimbangan. Kemanfaatan? Tidak jadi soal. Ada begitu banyak kata-kata yang harus diucapkan, sehingga hitung-hitungan manfaat dianggap hanya akan membuat segalanya menjadi kaku dan sulit saja. Celetuk sana dan celetuk sini adalah hal yang biasa. Menyakitkan? Itu pun bukan menjadi bahan pikiran. Toh setiap orang dianggap memiliki hak untung mempergunakan mulutnya.

Banyak orang yang berbicara dengan begitu menyenangkan. Mungkin, kemampuan berpikirnya layaknya pembalap F1. Kreatifitas dan wawasannya membuat berbagai macam topik dapat ia rajut dan rapikan dengan begitu menawan. Duduk dengan siapa saja, kapan saja, dimana saja, seperti disulap dengan mantra, dan.. aha! Ia langsung dapat membicarakan banyak hal dan membuat suasana menjadi hingar bingar; terang benderang. Orang-orang akan betah berlama-lama di dekatnya. Orang-orang akan dapat dengan mudah merasakan kehangatan dan keakraban dengannya. Lisannya mudah memuji, gampang bercanda, dan ringan pula bersimpati, apalagi sekadar bertegur sapa, menanyakan kabar.

Banyak orang yang berbicara seperti payung, atau daun pisang, atau beranda rumah di saat hujan; meneduhkan. Bibir itu hanya sesekali saja berucap. Namun, sekali ia mengeluarkan suara, maka begitu banyak telinga yang siap mendengarkannya. Ah, begitu banyak pula hati yang dapat dirasuki oleh kesejukannya. Beberapa pasang mata bahkan hingga berkaca-kaca. Kata-katanya menenangkan. Seperti menghapus noda-noda buram dan menggantikannya dengan cahaya. Tiada perkataan yang sia-sia. Tiada kata yang mengalir tanpa makna. Bahkan ada yang bersedia menuliskan, merekam-abadikan tiap kalimatnya. Mungkin, saat sang pemiliki perkataan telah tiada, tiap pembicaraannya bisa jadi masih dikenang oleh orang-orang yang pernah mendengarnya, bahkan meski ia sendiripun tidak pernah benar-benar mengingatnya.

Banyak orang yang berbicara dengan sayap, mengawang-awang. Indah, namun menyisakan kerutan pada kening. Atau menyisa prasangka. Atau semacam getaran tak terdefinisi, tak pula pasti. Entah apa maksud yang seperti ini. Mungkin, ia lebih sedang berbicara pada dirinya sendiri. Mungkin, ia pun belum teramat yakin dengan yang sedang ia bicarakan. Namun, ia menikmatinya saja. Mungkin suatu hari semua itu akan terterjemah, dan saat masa itu datang, ia telah yakin dengan seyakin-yakinnya. Dan ia akan membicarakannya dengan lebih jelas dan nyata. Maka nikmati saja. Toh, ia tidak sedang berdusta. Perkataan yang dusta, yang bohong itu adalah yang tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa orang pun melakukan pembicaraan yang bohong ini. Lalu ia dituduh berbohong, lalu ia membicarakan kebohongan yang lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Demikian seterusnya hingga kebohongannya yang telah berderet seperti kereta api itu, akhirnya terbongkar. Ada banyak cara sehingga aib terbuka lebar, diketahui oleh begitu banyak orang. Sebaliknya, saat sebuah kebohongan dipercaya, itu bukan berarti bahwa kebohongan itu telah berhasil menutupi dirinya, hanya saja, Allah belum menakdirkannya untuk ketahuan saja. 

Diantara itu semua, yang paling indah adalah berbicara denganNya. Berbicara denganNya secara langsung dan tanpa perantara adalah momentum yang luar biasa bagi setiap hamba. Beberapa orang menyepelekannya. Namun yang lain begitu yakin akan kekuatan doa. Begitu banyak orang yang terhindar dari putus asa atau pun tidak menjadi gila karena keyakinannya bahwa; sebesar apapun sebuah masalah, meski tidak sanggup diselesaikan oleh sekuat apapun, sehebat apapun, sebesar apapun, secerdas apapun seorang manusia, namun masih ada Allah tempat mengadukan segala. Mereka mengadu bukan sebab menyangka Allah tidak tahu. Bukan. Namun, bersama dengan pembicaraan itu ada ketundukan yang setunduk-tunduknya, ada kemesraan yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Berbicara denganNya, adalah sebaik-baiknya percakapan. Itu saja yang bisa kita lakukan kini. Namun, semoga nanti dapat ditambah dengan menatapNya secara langsung pula, di syurga yang penuh keindahan. Semoga. 

Makassar, 22 Mei 2013

bicaralah...

“Nak, ayo kita lari ke syurga!”, ujar wanita itu kepada anaknya. Sang anak hanya tertawa, tapi ada bulir bening di ujung matanya.  Selalu begitu, mereka tidak harus bicara banyak, untuk bisa saling memahami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)