Selasa, 24 April 2012

Sekiranya TanpaNya



Apa yang membuat kita lelah setelah seharian beraktifitas? Keluar dari rumah bersama terbitnya mentari dan kembali pulang pun diiringi oleh peristiwa terbenamnya. Secara sederhana, kita mungkin beranggapan bahwa energi kita yang terkuraslah yang membuat kita menjadi lelah setelah tuntas dari begitu banyak pekerjaan, juga mungkin permasalahan yang harus kita urai dalam sehari. Tapi saya rasa, ini bukan hanya masalah energi itu saja, bukan hanya persoalan betis yang pegal atau tubuh yang loyo tersebab kelelahan, saya pikir, mungkin sebab hati kita pun ikut lelah dengan segala macam urusan dunia.

Ya, urusan dunia memang kerap kali menguras energi jasmani kita, pun dengan ‘energi jiwa’. Mungkin, sebab itulah kita selalu dianjurkan untuk menyisakan waktu, minimal sebelum tidur untuk kembali mengevaluasi diri, memaafkan yang harus dimaafkan, dan memohon ampun atas kesalahan. Setidaknya bagi saya, waktu bertafakkur adalah masa untuk mengembalikan energi jiwa. Sesuatu yang bisa menjadi jauh lebih penting dari sekadar energi raga.

Dalam kesempatan itu, saya tiba-tiba terpikir beberapa hal. Pemikiran ini juga mungkin seringkali dipikirkan oleh banyak orang, dan saya hanya mencoba menuliskannya dengan segala keterbatasan.
Sekiranya tanpa takdirNya, mungkin hari ini kita adalah bagian dari manusia yang bangun oleh dunia, dan lelah pun karena dunia. Sama sekali lupa pada kampung tempat kita berpulang; akhirat.
Sekiranya tanpa hidayahNya, mungkin kita adalah para wanita yang bersolek dengan bangga. Menampakkan aurat tanpa rasa takut. Atau menjadikan hijab hanya sekadar perhiasan yang justru semakin memikat pandangan.

Sekiranya tanpa inginNya, mungkin kita berada dalam antrian panjang para abege yang menghamburkan rupiah demi konser boyband kesayangan. Atau yang sibuk bermimpi-mimpi dapat berjumpa dengan idolanya yang bermata sipit dan berkulit putih itu, lalu kemudian; bangga.

Sekiranya tanpa petunjukNya, mungkin kita dapat dengan mudah mengacuhkan panggilan adzan. Terbata-bata dalam melafalkan Al Qur’an. Tidak mengenal Rasulullah, apalagi para shahabatnya. Buta dengan konsep-konsep aqidah. Tidak tertarik pada ilmu agama. Lalu atas semua keterbatasan itu, sama sekali tidak merasa; malu.

Sekiranya tanpa pemilihanNya, tidak mungkin kita menjadi bagian dari mereka yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar.

Sekiranya tanpa kesantunanNya, telah terumbarlah semua aib yang selama ini masih ditutupiNya. Terlihatlah semua dosa dan celah yang mungkin dahulu tidak nampak oleh kawan-kawan kita. Lalu semua manusia akan menjauh, tidak ada lagi yang ingin duduk bersama.

Dan sekiranya tanpa kasihNya, bukankah terlalu mudah untuk mencabut setiap tetes hidayah yang kini ada pada kita. Terlalu sederhana bagi Allah, untuk menggantikan kita dengan kaum yang lebih baik, dan tidak mendustakannya.

Maka tanpa izinNya, tidaklah mungkin kata-kata ini dapat tertuliskan. Tanpa cintaNya, akan sulit bagi hati kita, untuk terketuk menerima kebenaran. Wallahu a’lam.  


*Setelah hari yang melelahkan :)
Makassar, 24 April 2011

2 komentar:

  1. "Atau menjadikan hijab hanya sekadar perhiasan yang justru semakin memikat pandangan"--> miris :(

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)