Senin, 07 Januari 2013

Dev,


Dev, 
Aku ingat betul, dini hari itu. Pukul tiga pagi di hari kamis, bertahun yang lalu. Saat kami pertama kali memandang wajahmu. Setelah melewati hari-hari hamil yang menegangkan, apalagi setelah sempat aku jatuh dari motor, dengan bagian perut yang tertindis menahan beban badanku yang lain. Tapi kau tetap selamat. Kau tetap lahir dengan normal. Sejak saat itu aku yakin, bahwa kau adalah anak yang telah belajar untuk bertahan hidup, bahkan meski kau belum dilahirkan. 

Apakah kau mengenang masa kecilmu dengan indah, Dev?
Masa kecil yang ditingkahi dengan laku lucumu yang selalu ingin tersenyum lebar di depan kamera. Kau yang ikut nguping saat kakakmu menghapalkan hapalan shalat atau surah pendek. Lalu kemudian, ternyata kau menghapalnya pula di usiamu yang masih dua tahun itu. Masihkah kau simpan kaset rekamannya?

Anakku, 
Aku tidak ingat betul, sejak kapan kau menjadi enggan dan sangat jarang keluar rumah. Kau tidak lagi tertarik untuk membuntuti kakakmu dengan sepeda roda tiga saat ia bermain dengan teman-temannya yang tentu lelaki semua. Kau tidak tertarik lagi pergi bermain di rumah tetangga yang ramai itu. Apakah sejak kau gemar bermain game di komputer ayahmu? Atau sejak kalian rutin setiap bulannya ke toko buku untuk membeli cerita -lalu rumah kita menjadi hening beberapa hari sebab kalian sibuk dengan buku masing-masing di kamar masing-masing. Ataukah sejak kau mulai bernafsu mengejar ranking di bangku sekolah dasar dan ikut les di perpustakaan sekolah? Entahlah, Nak. Yang jelas sejak saat itu, hingga kini, kau sepertinya selalu menjadikan rumah sebagai tempat kau akan meringkuk dan begitu malas keluar kecuali memang benar-benar diperlukan. 

Anakku, Dev..
Aku tahu betul bahwa kau sering menangis diam-diam. Sering berdoa dalam sujud yang dalam untuk mendoakan kesembuhanku. Berkali-kali aku meminta itu, meski aku tahu kau akan tetap melakukannya selalu. Sejak kau kecil. Sejak bacaan Qur'anmu masih terbata dan kau belum benar-benar paham agama, tapi kau yakin Allah akan mengabulkan doa. Hingga kini. Hingga kau berjalan dengan penuh kebanggaan dengan jilbabmu yang panjang. Hingga kini saat nampaknya bacaan Qur'anmu lebih baik dariku. Aku tahu kau selalu mendoakanku, Nak. 

Tapi, Dev...
Entah mengapa akhir-akhir ini ada mendung yang kulihat di wajahmu. Kau memang tetap tersenyum, namun ada gelisah di sana. Tapi seperti yang selalu kau lakukan, begitu jarang kau bercerita tentang itu. Begitu enggan kau berbagi padaku. Adakah kau malu, Nak? Ataukah rasa segan itu -yang hingga kini berwujud hormat dan taat itu, yang membuatmu belum bisa menganggap ibumu ini sebagai sahabat? Entahlah. 

Kau kini sering berdoa diam-diam. Bersujud dalam-dalam. Dengan tangis yang kembali kau sembunyi. Dengan mimik wajah yang nampak ketakutan dan begitu khawatir. Dengan sebuah doa yang terus kau ucapkan dengan lirih. Tapi kali ini aku tahu, doa itu bukan tentangku. Doa itu tentang hal lain yang kau inginkan dalam hidupmu. Mungkin tentang sesuatu yang membuatmu teramat takut. Dan tentang sebuah pemecahan yang terus kau minta kepada Allah agar dimudahkan jalannya.  

Apapun itu, Dev
Aku begitu yakin kelak kau akan bisa melewatinya. Bukankah kau yang berkata, bahkan telah menuliskannya, bahwa kau tidak percaya adanya doa yang tidak terkabulkan. Maka teruslah meminta, Nak. Kau telah tahu kepada siapa kau boleh menangis dan mengeluh. Kau telah mengerti kapan harus tersenyum dan nampak baik-baik saja, dan dimana kau akan menunjukkan segala lara, duka, dan rasa khawatir. 

Nak, 
Nanti akan ada masa dimana kau akan pergi memenuhi janji dan mimpi hidupmu sendiri. Saat itu, bahkan meski tanggung jawab kami atasmu telah tuntas, kau tahu pintu itu tidak akan tertutup. Kau tahu kemana harus kembali, saat bahkan seluruh dunia tidak bersahabat lagi. Ada kami keluargamu. Ada kami orangtuamu yang meski hingga kau pun dewasa, akan tetap memandangmu sebagai putri kecil kami. Tegarlah, Nak! Tegarlah!

Sebab seperti yang kusebutkan di awal; kau telah bertahan hidup, bahkan sebelum kau dilahirkan. 

Makassar, 8 Januari 2013

4 komentar:

  1. eaaa.... ada serpihan hati tergambar di tulisan ini..
    *bagus mbak ^^d

    BalasHapus
  2. smoga anakku nnti bisa setegar dev, aamiin :)

    BalasHapus
  3. Aamiin.. :)
    Cari Bapak yang bisa bersinergi untuk mendidik anak seperti itu, dek. InsyaAllah lebih mudah. *sotoy modeON* :p

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)