Selasa, 01 Januari 2013

Ekspektasi, Penilaian, Kepantasan


Nilai. Sebuah kata yang kita gunakan terkadang untuk menentukan standar-standar, baik untuk diri kita, juga untuk orang lain. Hari ini, mungkin akan semakin banyak orang yang merasa mampu untuk menilai dengan benar. Bahkan meski mereka mengamati sesuatu dari jarak yang sangat jauh. Bahkan jauh sekali. Tapi, penilaian tersebut, nyatanya terkadang digunakan untuk suatu hal yang sangat penting dan sangat menentukan dalam hidupnya. Salahkah? Hmm..., tidak selalu sebenarnya. Faktanya, semua orang bebas untuk melakukan penilaian tentang apapun, siapapun, lalu menentukan jalan hidupnya dengan penilaian itu. Bebas saja, wong itu hidup dia..

Keterbatasan dalam menilai tak lepas dari keterbatasan manusia dalam mengamati. Setiap orang tidak selalu memiliki tipa ‘sebening kaca’, sehingga selalu dapat dilihat sampai kedalam-dalamnya. Manusia lainnya, bahkan mungkin kebanyakan, berlindung di balik pakaian mereka, pembawaan mereka, kata-kata mereka, yang tentu tidak selalu seiring sejalan dengan diri pribadinya, dengan kondisi dalam jiwa dan hatinya.

Terkadang, seseorang dituntut untuk berlakon sesuai dengan standar ideal. Dengan atau tanpa paksaan. Nah, hal itulah yang kadang lebih sering dijadikan standar penilaian oleh orang di sekitarnya, maka validitasnya pun menjadi dipertanyakan. Shahabat yang mulia, Umar bin Khattab punya standar tersendiri kapan seseorang dapat memberikan penilai dengan lebih objektif. Kapan seseorang terbilang berkapabilitas dalam menilai orang lain. Tiga hal saja. Tiga hal sederhana yang jika kita renungi, sebenarnya menunjukkan betapa teliti, detail, dan cakapnya seorang Al Faruq. Pernah bermalam bersama, pernah berpergian jauh bersama, dan pernah terkait dalam transaksi ekonomi bersama. Jika ketiga kebersamaan itu telah terlewati, maka insyaAllah, penilaian yang objektif dapat diambil dengan lebih mendekati kebenaran.

Dari standar itu, penilaian itu, maka muncullah kepantasan. Kepantasan melahirkan keputusan. Dan semoga keputusan itu telah benar adanya, diambil bukan hanya karena terwujud pada perasaan rendah diri. Namun benar-benar atas landasan ilmu dan standar yang sesuai. Sehingga semoga, di masa depan tidak ada yang perlu disesali. Wallahu a’lam. 

Makassar, 1 Januari 2013
“Pakaian kita ini, dik. Menjadi sebab orang-orang diluar sana begitu tinggi prasangka baiknya kepada kita. Pilihan kita hanyalah, menjadikan mereka salah sangka dengan mengkhianati hudznuzhannya. Atau berupaya keras, bahkan sangat keras, agar sangkaan baik itu dapat sesuai dengan diri kita yang sebenarnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)