Nilai. Sebuah kata yang kita
gunakan terkadang untuk menentukan standar-standar, baik untuk diri kita, juga
untuk orang lain. Hari ini, mungkin akan semakin banyak orang yang merasa mampu
untuk menilai dengan benar. Bahkan meski mereka mengamati sesuatu dari jarak
yang sangat jauh. Bahkan jauh sekali. Tapi, penilaian tersebut, nyatanya
terkadang digunakan untuk suatu hal yang sangat penting dan sangat menentukan
dalam hidupnya. Salahkah? Hmm..., tidak selalu sebenarnya. Faktanya, semua
orang bebas untuk melakukan penilaian tentang apapun, siapapun, lalu menentukan
jalan hidupnya dengan penilaian itu. Bebas saja, wong itu hidup dia..
Keterbatasan dalam menilai tak
lepas dari keterbatasan manusia dalam mengamati. Setiap orang tidak selalu
memiliki tipa ‘sebening kaca’, sehingga selalu dapat dilihat sampai
kedalam-dalamnya. Manusia lainnya, bahkan mungkin kebanyakan, berlindung di balik
pakaian mereka, pembawaan mereka, kata-kata mereka, yang tentu tidak selalu
seiring sejalan dengan diri pribadinya, dengan kondisi dalam jiwa dan hatinya.
Terkadang, seseorang dituntut
untuk berlakon sesuai dengan standar ideal. Dengan atau tanpa paksaan. Nah, hal
itulah yang kadang lebih sering dijadikan standar penilaian oleh orang di
sekitarnya, maka validitasnya pun menjadi dipertanyakan. Shahabat yang mulia,
Umar bin Khattab punya standar tersendiri kapan seseorang dapat memberikan
penilai dengan lebih objektif. Kapan seseorang terbilang berkapabilitas dalam
menilai orang lain. Tiga hal saja. Tiga hal sederhana yang jika kita renungi,
sebenarnya menunjukkan betapa teliti, detail, dan cakapnya seorang Al Faruq.
Pernah bermalam bersama, pernah berpergian jauh bersama, dan pernah terkait dalam
transaksi ekonomi bersama. Jika ketiga kebersamaan itu telah terlewati, maka
insyaAllah, penilaian yang objektif dapat diambil dengan lebih mendekati
kebenaran.
Dari standar itu, penilaian itu,
maka muncullah kepantasan. Kepantasan melahirkan keputusan. Dan semoga
keputusan itu telah benar adanya, diambil bukan hanya karena terwujud pada perasaan rendah diri. Namun benar-benar atas landasan ilmu dan
standar yang sesuai. Sehingga semoga, di masa depan tidak ada yang perlu
disesali. Wallahu a’lam.
Makassar, 1 Januari 2013
“Pakaian kita ini, dik. Menjadi
sebab orang-orang diluar sana begitu tinggi prasangka baiknya kepada kita.
Pilihan kita hanyalah, menjadikan mereka salah sangka dengan mengkhianati
hudznuzhannya. Atau berupaya keras, bahkan sangat keras, agar sangkaan baik itu
dapat sesuai dengan diri kita yang sebenarnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)