Senin, 31 Desember 2012

Surat Untukmu, Nak


Nak,

Entah mengapa malam ini aku sangat ingin berbincang denganmu. Maka kutuliskan surat ini, dari ketinggian lantai tujuh sebuah bangunan pada malam pergantian tahun. Bukan. Bukan untuk turut merayakannya. Tapi justru untuk menghindari suara gempita kembang api dan petasan yang beberapa tahun lalu sempat memperburuk kondisi kesehatan ibuku –nenekmu, akibat shock berat akibat bunyi petasan pada jam 00.00 itu.

suara petasan mulai ramai, padahal pergantian tahun belum juga dimulai


Kelak, janganlah kau seperti mereka, Nak. Mereka yang melakukan berbagai hal tanpa pernah benar-benar mengilmuinya. Bahkan mungkin, tanpa ingin dan tertarik untuk mengetahui asal-muasal perayaan itu. Sehingga, mereka kemudian mengerjakan sesuatu dengan mengikut pada kesukaan orang banyak. Meniupkan terompet, tidak peduli pada guyuran hujan, meminum minuman yang memabukkan, bahkan melakukan dzikir massal yang tidak pernah dicontohkan Rasul. Maka seberbusa apapun mulut orang-orang yang sadar itu untuk mengingatkan mereka, tetap saja hidayah kebenaran itu adalah hak-Nya.

Mungkin, perayaan-perayaan ini menemukan pembenaran sebab telah terlalu banyak orang yang melakoninya. Padahal Nak, terkadang kebenaran bukan hanya dapat kita temui dalam banyaknya jumlah. Bahkan justru bukankah, semakin bumi ini tua, maka nilai kebaikan pun akan makin samar dan terasingkan? Maka percayalah Nak, betapa kita harus bersyukur sebab terlahir dengan agama yang begitu menjujung tinggi tradisi ilmu. Pun budaya membaca dan menulis yang tak lepas darinya. Bersyukurlah, dan teruslah menjadi pembelajar.

Tahukah kau bahwa kini aku pun sedang melakukannya? Ya, belajar. Terkhusus mempelajari bagaimana seharusnya membersamaimu kelak. Mendidikmu di masa depan. Dan kudapati, ternyata itu bukanlah suatu hal yang mudah. Maka benarlah, pembelajaran tentangnya memang tidak bisa dilakukan dengan tiba-masa-tiba-akal. Ada banyak hal yang harus dipahami. Ada sudut pandang yang harus digeserkan. Setelah bertahun-tahun berada dalam posisi anak, tanpa pernah merasai jerihnya sebagai orang tua.

Maka semakin kupelajari itu, semakin pula kuinsyafi mengapa posisi kedua orang tua menjadi teramat penting, ditinjau dari sisi manapun! Tersebab tugasnya yang memang berat, bukan hanya masalah mencukupi kebutuhan lahiriyah seorang insan baru, namun lebih dari itu; membangun generasi penerus. Maka itu pula berarti membangun peradaban masa depan. Ah, entah seperti apa zaman yang akan kau hadapi, Nak. Maka untuk itu, akupun semakin sadar betapa banyak hal yang memang harus kupelajari lagi, kubaca lagi, untuk kelak kuajarkan kepadamu.

Maka peradaban itu kita akan bangun bersama dari sana. Dari sebuah rumah yang semoga akan selalu kau rindukan untuk pulang padanya, sejauh apapun kau kelak telah melangkah. Tak perlu megah ataupun mewah, namun kita harus pastikan ia menjadi tempat dimana kalimat Allah kita tinggikan bersama. Menjadi bangunan yang tiap sudutnya mengingatkan kita pada dzikir. Dan ketenangannya mampu membangkitkan kembali semangat-semangat yang mungkin terserak setelah aktivitas seharian itu.

Dari sana Nak, setiap pagi kita akan melepas kepergian lelaki itu. Lelaki yang kelak akan kau panggil ‘Ayah’. Aku pun belum tahu siapa dia, dan bagaimana pula sosoknya. Apakah ia juga senang menulis puisi dan menyukai warna biru? Hahaha..., entahlah! Sepertinya itu bukan hal yang teramat penting, bukan? Yang terpenting adalah, kebaikan agamanya dapat menuntun kita semua menuju syurga, berkumpul kembali di sana dalam kekal. Yang terpenting adalah, kita dapat benar-benar yakin dan percaya, bahwa setiap rezeki yang ia suapkan ke mulut kita adalah yang halal-halal saja. Yang terpenting tentu saja, ia layaknya seorang imam yang mendoakan kita, dan kita pun mendoakannya. Maka dari itu, Nak. Lelaki yang kau panggil Ayah itu sungguh menanggung beban yang berat. Juga ujian dan rintangan yang juga tidak ringan. Maka cintailah dia, berikanlah baktimu padanya, karena Allah saja. Mungkin, kau akan mendapati wajahmu pada wajahnya, dan sebaliknya pula. Maka kasihilah ia, hingga seterusnya, hingga tua menggamitnya dalam rambut beruban.

Oh iya, di masa kecilku dulu, aku sering membaca dongeng-dongeng dari barat sana. Rangkaian ceritanya telah mendunia. Namun, sebagian besar ditutup memang dengan ending yang indah; bahagia selamanya. Karena itulah, Nak. Kuharap kau tidak perlu membaca cerita-cerita macam itu di masa kecilmu nanti. Cukup aku saja.

Sebab, tahukah?

Hidup yang bahagia selamanya itu tidaklah ada. Kehidupan yang terus menerus diwarnai suka cita itu memang hanya ada dalam cerita tak nyata. Sebab hidup ini Nak, sesekali akan diselingi dengan kesukaran, kesulitan, bahkan kepayahan. Mungkin kau akan menangis karenanya, terluka, dan tertekan. Ah, aku bukan sedang ingin menakutimu, sungguh!

Maka begini saja, bagaimana kalau kita cukup menjadikan kisah para nabi sebagai dongeng menjelang tidurmu? Aku dan ayahmu mungkin akan membacakannya bergantian, atau bersama-sama –entahlah. Tapi dari kisah para nabi itu kita belajar bersama, bahwa hidup yang tidak mudah ini, bukanlah tanda bahwa Allah tidak adil. Justru, dari kesulitan kita akan lebih mudah bersabar. Bahkan tahukah kau, justru para manusia terbaik itulah, para Nabi dan Rasul, yang merasakan seberat-beratnya ujian hidup, karena tingginya keimanan mereka. Maka saat ujian itu datang, kenikmatan kecil sekalipun akan dapat tersyukuri. Maka sabar dan syukur itu anakku, kata Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu adalah dua tunggangan yang tidak perlu kau khawatirkan akan gunakan yang mana. Keduanya akan saling kait-mengait. Panggil-memanggil. Maka ya, kami tidak menjanjikan bagimu kehidupan yang bahagia selamanya itu, tapi maukah kau bersama-sama menjalani setiap detik kebersamaan kita nanti dengan sabar dikala cobaan dan syukur dalam kenikmatan?

Nak, seperti apapun kau nanti. Lelaki ataupun perempuan. Ceria ataupun pendiam. Cukuplah kau menjadi dirimu sendiri. Namun, itu bukan berarti kau tidak perlu mencari teladan dalam bersikap dan menyikapi hidup. Temukanlah paket lengkap dari kehidupan dalam diri Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam. Belajarlah kebeningan nurani dari Abu Bakar. Menjadilah tegas dalam kebenaran layaknya Umar. Pupuklah kelembutan hati dan kedermawanan seperti milik Utsman. Lalu contohlah kecerdasan dari  Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ‘anhum. Tak harus persis Nak, sebab tentu saja itu sulit. Sedikit saja, perlahan saja. Namun tetaplah niatkan, bahwa besar inginmu meneladami mereka, generasi paling bercahaya itu. Bahwa kau cinta pada mereka, dengan sebenarnya cinta. Maka semoga kelak itu pula yang menjadi sebab dibersamakannya kau –dan kita,  dengan mereka di tempat terindah bernama syurga.

Maka harus segera kuselesaikan tulisan ini, agar esok tak terlambat memulai hari. Penanggalan masehi akan berulang lagi. Kehidupan akan kembali berlanjut. Sungguh, aku tidak tahu apa yang akan menantiku di depan sana. Tapi Nak, bukankah sebab terhijabnya kita dari masa depanlah, yang membuat kita menjadi bersemangat untuk mengikhtiarkan yang terbaik dalam hidup?

Humm, aku tidak tahu kapan kita akan berjumpa, bahkan apakah kita memang akan benar-benar berjumpa. Tapi, Nak. Menulis ini saja semoga sudah menjadi satu manfaat bagiku. Sebab segala hal yang kubincangkan padamu, sebenarnya hanyalah satu caraku, untuk membincangi diriku sendiri, menasihati diriku sendiri. Maka, terima kasih.

Makassar, 31 Desember 2012
2012 adalah harapan
2013 semoga menjadi pencapaian

4 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)