Nah, disanalah letak teladan itu!
Dari sana kita belajar, betapa mereka sangat berhati-hati dalam menunjukkan dan menyebutkan keutamaan dirinya. Padahal kita tentu tak sangsi tentang kebeningan niat dan kelurusan hati mereka. Apalagi ini dalam konteks mengajarkan hikmah dan ilmu. Tapi mereka tetap hati-hati dan tidak menyebut namanya sendiri dalam meriwayatkan hadits tersebut. Kita tentu ingat pula kekata Imam Syafi'i; Aku berharap agar banyak orang mendapatkan ilmu agama melalui diriku dan mereka tidak menisbatkannya kepadaku meski hanya satu huruf saja. Hmm, tentu berbeda yah, dengan kita saat ini yang kadang begitu khawatir saat karya kita tidak diikutkan dengan nama-nama kita.
Padahal tentu lebih tenang, berkebaikan dalam hening. Meski tak ada manusia yg mengenal, tapi penduduk langit merindukan. Namun di sisi yang lain, memang ada orang-orang yang mau tidak mau harus dikenal namanya, untuk satu keperluan, atau dengan suatu alasan. Salah seorg penulis favorit saya misalnya, punya alasan kuat mengapa ia 'berani' cantumkan nama terang di akhir setiap karyanya. Pertama, untuk pertanggungjawaban ilmiah. Kedua, agar ia bisa istiqamah, sebab tentu akan lebih banyak org yang akan mengingatkan. MasyaAllah!
Maka semoga Allah membalasnya dengan kebaikan, sesuai dengan apa yang beliau niatkan. aka semoga kita pun demikian, dianugrahkan kebeningan ikhlas dalam setiap amalan. Baik yg harus tertunjuki dengan terang-terangan. Maupun yang kita tegakkan dalam kesunyian.Demikian, semoga
Tipis. Sungguh tipis sekali antara berbagi pengalaman untuk menjadi motivasi, atau untuk mendapatkan sanjung puji. Yang pertama memberikan inspirasi, yang kedua hanya bangkitkan ujub diri. Niat dari yg berbagi dan prasangka yg mendengarkan adalah yg membedakan keduanya
-dari kicau di akun @jedasejenak11
Makassar 22 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)