Kamis, 13 Desember 2012

Pertanyaan yang Tidak Perlu Ditanyakan dan Kalimat yang Tidak Usah Dilanjutkan



“Kalau kamu mau jadi anak durhaka, silakan...” kata bapak.

Saya selalu tersenyum sendiri jika mengingat ucapan bapak yang satu itu. Hanya sebaris. Ringkas. Tapi telak membuat saya bersemu merah dan tersenyum kecut plus merasa bersalah. Kalimat itu dilisankan bapak sebagai sebuah jawaban atas pertanyaan saya, yang kemudian cukup membuat saya menyesal.
Ceritanya, waktu itu kami berada di kamar kost kakak saya. Saya dan bapak datang ke sana, melintas pulau untuk mengiringi kakak lelaki saya yang akan berpindah kota dalam waktu dekat itu. Selepas menuntaskan masa studinya, ia memutuskan mengadu nasib di kota lain yang juga bukan kota kelahiran kami. Kamar kost yang lumayan sempit itu hanya berisi sebuah kasur, itupun cukup tipis. Selebihnya, dilapisi karpet yang lumayan untuk mengalasi dinginnya lantai di kota sejuk itu.

Maka, saat waktu tidur tiba, kakak saya bersiap menuju kamar kost temannya di lantai dua. Tentu, kamarnya tak muat untuk kami bertiga, khan? Nah, pada saat itulah saya melontarkan pernyataan bodoh itu kepada bapak;

“Pak, yang tidur di kasur saya atau bapak?” ujar saya dengan perpaduan ngantuk dan sadar yang tidak lagi seimbang.

Maka, tanpa memandang saya, bapak berujar dengan ringan, “Kalau kamu mau jadi anak durhaka, silakan tidur di atas kasurnya...

Kakak saya tersenyum lalu tertawa kecil, mengejek kebodohan pertanyaan itu. Saya? Tentu tidak berani berkata macam-macam. Langsung menarik sarung dan membenarkan letak bantal di atas karpet. Apes.

Sejak saat itu, saya sadar, bahwa ada saja lontaran pertanyaan yang tidak perlu kita tanyakan. Bahkan meskipun ia adalah pertanyaan repetisi yang tidak membutuhkan jawaban. Kecuali untuk menegaskan sesuatu mungkin. Dan tentu sangat kasuistik, tentunya. Begitu pula dengan keluhan, kadang ada saja keluhan yang sebenarnya dapat segera kita hentikan dengan satu kalimat saja, bahkan sebuah kalimat tanya.

Seperti saat seseorang mengeluh kepada bapak tentang ketakutannya tentang sesuatu. Dengan detil ia menggambarkan ketegangan dan perasaan tidak nyaman yang ia alami tempo lalu. Dan oleh bapak, ia didiamkan dengan pertanyaan ini:

“Menurutmu, dimana Allah saat itu?”




Kota Pekanbaru dari ketinggian lantai 15, salah satu momen bersafar bersama bapak


Sama halnya dengan untaian kalimat. Dalam berkomuniskasi dengan seseorang, kadang kita memutuskan untuk tidak menyelesaikan sebuah kalimat. Mungkin sebab kita sangat percaya, bahwa lawan bicara kita dapat melanjutkannya dengan benar. Lalu mengambil kesimpulan seperti apa yang kita harapkan. Bukan. Bukan sebab kita tahu ia paham tentang ilmu kejiwaan. Atau sebab ia ternyata dapat membaca pikiran orang. Hanya saja, sebab kita percaya bahwa ia telah sedemikian paham tentang diri kita. Nyatanya, terkadang kalimat yang tidak selesai itu justru menerbitkan pertanyaan;

“Terus?”
“Jadi?”
“So..?”

Dan pertanyaan-pertanyaan ringkas serupa yang bisa jadi, ini bisa jadi yah, membuat sebuah hati terluka. Membuat seseorang kemudian sadar, bahwa lawan biacaranya ternyata tidak benar-benar dapat memahami dirinya. Bahwa dari situ saja, ia bisa menakar, seberapa dekat sebenarnya hubungan dan keterikatan hati mereka.

Maka memang betapa berat setiap kata itu. Lain intonasinya, lain pula maksudnya. Lain tanda bacanya, lain pula maknanya. Maka sebab itulah lidah tak bertulang, ia harus dijaga, agar tidak bablas menyakiti hati lainnya. Menyakiti karena hal yang  ia ucapkan, atau mungkin menyakiti sebab hal yang TIDAK ia ucapkan.

Tapi kata-kata bukan saja satu-satunya sarana komunikasi; ada mimik wajah, ada teriakan, ada air mata, ada gerutu, bahkan ada diam. Kesemuanya itu melengkapi interaksi antara sesama manusia. Dan semuanya menuntut kita untuk lebih banyak memahami dan memperhatikan orang lain, juga diri kita sendiri.

bukankah kita merindu,
sahabat yang dapat tepat dalam memilih tanya
dan yang tidak perlu menunggu kalimat itu sempurna
untuk dapat melengkapkannya

Rifa’ah’sWritingZone, 131212
Meski absurd, saya bersyukur bisa menulis lagi :)

3 komentar:

  1. "bukankah kita merindu, sahabat yang tepat dalam memilih tanya, dan yang tidak perlu menunggu kalimat itu sempurna, untuk dapat melengkapkannya"
    suka sekali... :')

    BalasHapus
  2. Untuk sebuah tanya yang menggantung, ah.. pengen nulis.. jadi buntu sesaat Dien, entah mengapa.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)