Gadis itu akan menceritakan
kisahnya pada saya. Sesekali ia memandang jauh ke arah tak terbatas. Seolah
sedang mencoba menguak kembali kenangan masa lalu dan menghadirkannya. Bukan
untuk apa-apa, katanya. Tapi agar terperlihatkan, bahwa memang tak ada hidup
yang sempurna. Bahwa segala masalah itu, kadangkala akan muncul dan membuat
segalanya terlihat kacau balau. Tanpa mungkin kita sadari, bahwa justru masalah
hidup itulah, yang menyempurnakan kehidupan. Bukan untuk apa-apa, katanya.
Selain untuk membagikan kisah, lalu membuat setiap orang percaya, bahwa setiap
jiwa berhak untuk merasa istimewa.
Ia berdehem sejurus kemudian.
Lalu memulai kisahnya dengan
sebaris kalimat; Aku ini istimewa....
Aku ini istimewa. Sebab aku lahir dari keluarga yang nyaris sempurna.
Ayah dan ibuku adalah pemuda dan gadis terbaik di jamannya. Ayah adalah lelaki
pendiam dan sederhana. Ia tidak banyak bicara, datang dari sebuah kampung yang
terkenal dengan kegarangannya, maka mungkin ia adalah anomali. Meski menempuh
studi dalam jangka lama, melintas berbagai generasi di kampusnya, namun itu
tidak mengubah pandangan siapapun tentang dia; ia pemuda yang cerdas. Kota
tempat ia menuntut pendidikan tinggi itu menjadi saksi; ia mengisi masjid dengan
ceramah sebagai ustadz muda yang ‘baru jadi’. Ia sibuk sebagai anak pramuka.
Melintas lautan dengan kapal besar yang terkenal. Menjelajah dengan pesawat
udara lalu terjun payung kemudian. Ia juga belajar menembak hingga salah satu
sisi pendengarannya menjadi terganggu di masa depan. Membereskan urusan
kampusnya, lalu segera terangkat sebagai dosen di sana.
Ibuku adalah primadona kampus. Berkulit putih bersih dan berwajah
cantik, digilai para pria. Menjadi perempuan pertama yang muncul dengan jilbab
dan motor bebek hitam yang mengilat. Cerdas pula. Di masa selanjutnya, ia
menjadi satu-satunya dosen perempuan yang bisa menundukkan para cecunguk kampus
yang suka bikin ricuh. Keduanya kemudian menjalin kasih, tanpa seorang pun
tahu. Tanpa seorang pun tahu tentang berlembar-lembar surat cinta itu. Tanpa
seorang pun tahu hingga keduanya menikah. Lalu melahirkan anak; seorang lelaki
pertama yang dikemudian hari akan menjadi seorang pemuda jenius. Seorang anak
kedua, perempuan yaitu aku. Dan anak terakhir yang terlahir cantik dan
kemerahan itu.
Semuanya sempurna hingga di waktu yang entah –sungguh, aku telah lupa.
Saat jarang lagi kudapati nasi goreng nikmat buatan ibu. Tidak pernah lagi
aku diajak untuk menjemput adik di
sekolah taman kanak-kanak. Saat sepulang sekolah, aku hanya mendapati ibu
terbaring menahan sakit yang tidak pernah kumengerti. Orang-orang itu berbicara
tentang jantung, kolesterol, syaraf, dan istilah yang bagiku terdengar seperti
bahasa alien.
Aku ini istimewa. Sebab pak guru di SD tidak pernah tahu bagaimana aku
menahan takut saat ia memaksa kami giat belajar dengan mendeskripsikan
bagaimana jika orang tua kami meninggal. Bagi teman-teman yang lain itu sekadar
motivasi. Tapi bagiku, hal itu sangat mungkin nyata terjadi. Aku ini istimewa,
sebab tukang becakku tidak pernah tahu, bagaimana aku menyembunyikan tangis
dalam perjalanan pulang sekolah. Takut, saat tiba di rumah, aku hanya akan
mendapati jasad ibu yang kaku, seperti yang digambarkan pak guru.
Hingga hari itu tiba, ayah mengajak kami ke Jakarta. Ibukota negera
tempat Dufan berada. Kami di sana akan tinggal di rumah teman ayah yang seorang
anggota DPR. Kami ke sana dengan sebuah kapal laut, lalu aku tahu Ayah tidak dapat
tiket untuk kelas yang menggunakan kamar. Aku tahu tiket kami kelas ekonomi,
hingga kami harus tidur di lorong-lorong kapal. Tak mengapa, sebab kami akan ke
Jakarta. Di sana, kami tidur melantai dengan karpet di ruang tengah. Suatu hari
kami diajak ke Sea World. Suatu malam, sang empunya rumah yang bekerja hingga
larut itu membawakan kami hamburger yang enak, kumakan sedikit-sedikit. Hingga
suatu waktu, ayah mengajakku ke Monas, makan pangsit yang tidak kuhabisi. Lalu
saat pulang ke rumah, kejadian itu terjadi.
Aku baru tahu bahwa kami ke sini sekaligus untuk membawa ibu berobat.
Obat satu paket untuk satu pekan seharga sepuluh juta. Kami sudah satu pekan di
sini. Obat itu nampaknya sudah habis, dan kami tidak punya uang lagi. Dan kulihat ibu menangis. Kudengar ibu
mengucap kata ‘mati’ berkali-kali. Kudapati ayah juga menangis, pertama
kalinya. Orang-orang yang tidak kukenal di ruangan itu juga menangis. Ruangan
itu seolah dipenuhi awan mendung yang tebal dan panggil-memanggil. Tiba-tiba
aku tidak bisa mendengar apa-apa.
Aku ini istimewa. Sebab aku menahan tangisku, walau aku takut sekali.
Aku tidak ingin kehilangan ibu. Aku belum bercerita bahwa tadi aku sudah
berfoto di depan monas. Aku belum pernah ranking satu di sekolah. Aku tidak
menangis, tapi masuk ke kamar mandi. Di kamar mandi aku menangis tanpa suara.
Rasanya ada yang sakit sekali di dadaku, mungkin itu namanya kesedihan. Lalu aku
mencuci muka. Lalu keluar dari sana, seolah aku tidak tahu apa-apa. Memang, sebab
yang aku tahu, sepertinya saat itu ibu dekat sekali dengan ajal. Aku ini
istimewa, sebab aku percaya, saat itu ibu tidak akan meninggalkan kami. Aku ini
istimewa, sebab aku benar.
Gadis itu berhenti bercerita.
Menyeka air mata yang mulai muncul di pelupuk matanya.
Aku ini istimewa...., lanjutnya
Aku ini istimewa. Sebab kulewati hari-hariku seperti biasa. Meski
setelah itu hidup tidak lagi sama. Ibu tetap sakit. Dan aku tetap bingung saat
ditanya tentang itu. Yang aku tahu, semua orang berusaha untuk membuat keadaan
lebih baik. Aku ini istimewa, sebab aku tetap yakin, semua ini tidak akan
sia-sia.
Di masa remaja, masa SMA. Sebuah kejadian kembali mengguncang keluarga
kami. Kejadian yang membuat tidurku tidak nyaman. Kejadian yang membuat rumah
kami menjadi semakin muram. Suatu hari aku menuliskan puisi di kelas tentang
itu. Selesai menulis dan membacanya dalam hati, aku menangis. Aku tidak tahan
tahan lagi. Tapi aku istimewa, sebab hingga kini, tidak seorang pun tahu
tentang itu. Sebab hari itu, sahabat-sahabatku mengira aku menangis karena
kalah debat dalam diskusi Kewarganegaraan. Aku istimewa sebab masalah itu dapat
kusimpan, hingga ia selesai dengan sendirinya.
Di masa kuliah. Aku masuk ke jurusan yang diperintah ibu. Jurusan yang
sebenarnya tidak kusukai, namun kujalani hingga selesai. Aku ini istimewa,
sebab bukan meski keputusanku, tapi langkah yang itu dapat kujalani dengan
tanggung jawab, meski berat. Sebab siapapun yang menyuruhku, jika aku sudah
mengiyakannya, maka itu tetaplah keputusanku. Dan aku harus menjalaninya dengan
baik.
Tempat itu, kampus itu, fakultas itu, menjadi seolah neraka, saat
ternyata ada banyak orang yang suka memaksakan kehendaknya pada mahasiswa baru.
Aku bukan anak yang sangat cerdas atau sangat cantik. Tapi aku adalah penentu
hidupku sendiri. Aku tidak suka dipaksa. Sebab memaksa adalah perbuatan para
penjajah, dan aku benci penjajah. Maka aku dibenci senior, dan membuat kawan
seangkatanku bingung.
Aku ini istimewa. Sebab dalam sebuah pertemuan saat kawan seangkatan
menyidangku karena tidak taat pada peraturan lembaga mahasiswa, aku dapat
berdiri dengan kepala tegak. Menyampaikan argumen dan apa yang aku yakini
sebagai jalan yang benar. Aku istimewa, sebab saat itu aku tidak kalah. Sebab
saat itu aku berkata pada mereka; ini prinsipku, lalu kalian mau apa?
Aku ini istimewa,. Sebab hingga saat ini kujalani hidupku dengan baik
sangka. Baik sangka pada kondisi ibu yang beberapa hari ini memburuk. Baik
sangka akan masa studiku yang harus segera berakhir, dan dengan semakin banyak
orang-orang yang sepertinya senang sekali mengancam –atau memang seperti itulah
kami harus diperlakukan untuk bisa sukses? Dan baik sangka pada berbagai
masalah yang datang dan pergi.
Aku ini istimewa. Sebab aku percaya bahwa tidak ada hidup yang
sempurna. Yang ada hanyalah, orang-orang yang terlihat sempurna dalam
menjalaninya. Dengan senyum terbaik yang mereka punya. Dan dengan tangis yang
dapat mereka simpan di tempat yang tepat. Sungguh, hidup ini tidak sempurna.
Masalah-masalah itu kawan, mungkin justru menyempurnakannya.
Aku ini istimewa, sebab aku sadar; sejak awal, hidupku bukan untuk
diriku sendiri.
Gadis itu berhenti lagi. Saya
menatap cermin tempat bayangannya terpantul. Lalu berbisik lirih padanya; kau yakin saya harus menuliskan ini?
ia istimewa..
BalasHapusq harap semua dari kita adalah istimewa..
:)
HapusYa, yakinlah menuliskannya hingga yang membacanya mampu melahirkan yakin dalam hatinya untuk terus membacanya..:-)
BalasHapusKak rezky yakinji toh bacanya? :)
Hapus