Jumat, 28 Desember 2012

Aku Ini Istimewa...


Gadis itu akan menceritakan kisahnya pada saya. Sesekali ia memandang jauh ke arah tak terbatas. Seolah sedang mencoba menguak kembali kenangan masa lalu dan menghadirkannya. Bukan untuk apa-apa, katanya. Tapi agar terperlihatkan, bahwa memang tak ada hidup yang sempurna. Bahwa segala masalah itu, kadangkala akan muncul dan membuat segalanya terlihat kacau balau. Tanpa mungkin kita sadari, bahwa justru masalah hidup itulah, yang menyempurnakan kehidupan. Bukan untuk apa-apa, katanya. Selain untuk membagikan kisah, lalu membuat setiap orang percaya, bahwa setiap jiwa berhak untuk merasa istimewa.
Ia berdehem sejurus kemudian. 

Lalu memulai kisahnya dengan sebaris kalimat; Aku ini istimewa....

Aku ini istimewa. Sebab aku lahir dari keluarga yang nyaris sempurna. Ayah dan ibuku adalah pemuda dan gadis terbaik di jamannya. Ayah adalah lelaki pendiam dan sederhana. Ia tidak banyak bicara, datang dari sebuah kampung yang terkenal dengan kegarangannya, maka mungkin ia adalah anomali. Meski menempuh studi dalam jangka lama, melintas berbagai generasi di kampusnya, namun itu tidak mengubah pandangan siapapun tentang dia; ia pemuda yang cerdas. Kota tempat ia menuntut pendidikan tinggi itu menjadi saksi; ia mengisi masjid dengan ceramah sebagai ustadz muda yang ‘baru jadi’. Ia sibuk sebagai anak pramuka. Melintas lautan dengan kapal besar yang terkenal. Menjelajah dengan pesawat udara lalu terjun payung kemudian. Ia juga belajar menembak hingga salah satu sisi pendengarannya menjadi terganggu di masa depan. Membereskan urusan kampusnya, lalu segera terangkat sebagai dosen di sana.

Ibuku adalah primadona kampus. Berkulit putih bersih dan berwajah cantik, digilai para pria. Menjadi perempuan pertama yang muncul dengan jilbab dan motor bebek hitam yang mengilat. Cerdas pula. Di masa selanjutnya, ia menjadi satu-satunya dosen perempuan yang bisa menundukkan para cecunguk kampus yang suka bikin ricuh. Keduanya kemudian menjalin kasih, tanpa seorang pun tahu. Tanpa seorang pun tahu tentang berlembar-lembar surat cinta itu. Tanpa seorang pun tahu hingga keduanya menikah. Lalu melahirkan anak; seorang lelaki pertama yang dikemudian hari akan menjadi seorang pemuda jenius. Seorang anak kedua, perempuan yaitu aku. Dan anak terakhir yang terlahir cantik dan kemerahan itu.

Semuanya sempurna hingga di waktu yang entah –sungguh, aku telah lupa. Saat jarang lagi kudapati nasi goreng nikmat buatan ibu. Tidak pernah lagi aku  diajak untuk menjemput adik di sekolah taman kanak-kanak. Saat sepulang sekolah, aku hanya mendapati ibu terbaring menahan sakit yang tidak pernah kumengerti. Orang-orang itu berbicara tentang jantung, kolesterol, syaraf, dan istilah yang bagiku terdengar seperti bahasa alien.

Aku ini istimewa. Sebab pak guru di SD tidak pernah tahu bagaimana aku menahan takut saat ia memaksa kami giat belajar dengan mendeskripsikan bagaimana jika orang tua kami meninggal. Bagi teman-teman yang lain itu sekadar motivasi. Tapi bagiku, hal itu sangat mungkin nyata terjadi. Aku ini istimewa, sebab tukang becakku tidak pernah tahu, bagaimana aku menyembunyikan tangis dalam perjalanan pulang sekolah. Takut, saat tiba di rumah, aku hanya akan mendapati jasad ibu yang kaku, seperti yang digambarkan pak guru.

Hingga hari itu tiba, ayah mengajak kami ke Jakarta. Ibukota negera tempat Dufan berada. Kami di sana akan tinggal di rumah teman ayah yang seorang anggota DPR. Kami ke sana dengan sebuah kapal laut, lalu aku tahu Ayah tidak dapat tiket untuk kelas yang menggunakan kamar. Aku tahu tiket kami kelas ekonomi, hingga kami harus tidur di lorong-lorong kapal. Tak mengapa, sebab kami akan ke Jakarta. Di sana, kami tidur melantai dengan karpet di ruang tengah. Suatu hari kami diajak ke Sea World. Suatu malam, sang empunya rumah yang bekerja hingga larut itu membawakan kami hamburger yang enak, kumakan sedikit-sedikit. Hingga suatu waktu, ayah mengajakku ke Monas, makan pangsit yang tidak kuhabisi. Lalu saat pulang ke rumah, kejadian itu terjadi.

Aku baru tahu bahwa kami ke sini sekaligus untuk membawa ibu berobat. Obat satu paket untuk satu pekan seharga sepuluh juta. Kami sudah satu pekan di sini. Obat itu nampaknya sudah habis, dan kami tidak punya uang lagi.  Dan kulihat ibu menangis. Kudengar ibu mengucap kata ‘mati’ berkali-kali. Kudapati ayah juga menangis, pertama kalinya. Orang-orang yang tidak kukenal di ruangan itu juga menangis. Ruangan itu seolah dipenuhi awan mendung yang tebal dan panggil-memanggil. Tiba-tiba aku tidak bisa mendengar apa-apa.

Aku ini istimewa. Sebab aku menahan tangisku, walau aku takut sekali. Aku tidak ingin kehilangan ibu. Aku belum bercerita bahwa tadi aku sudah berfoto di depan monas. Aku belum pernah ranking satu di sekolah. Aku tidak menangis, tapi masuk ke kamar mandi. Di kamar mandi aku menangis tanpa suara. Rasanya ada yang sakit sekali di dadaku, mungkin itu namanya kesedihan. Lalu aku mencuci muka. Lalu keluar dari sana, seolah aku tidak tahu apa-apa. Memang, sebab yang aku tahu, sepertinya saat itu ibu dekat sekali dengan ajal. Aku ini istimewa, sebab aku percaya, saat itu ibu tidak akan meninggalkan kami. Aku ini istimewa, sebab aku benar.

Gadis itu berhenti bercerita. Menyeka air mata yang mulai muncul di pelupuk matanya.

Aku ini istimewa...., lanjutnya

Aku ini istimewa. Sebab kulewati hari-hariku seperti biasa. Meski setelah itu hidup tidak lagi sama. Ibu tetap sakit. Dan aku tetap bingung saat ditanya tentang itu. Yang aku tahu, semua orang berusaha untuk membuat keadaan lebih baik. Aku ini istimewa, sebab aku tetap yakin, semua ini tidak akan sia-sia.

Di masa remaja, masa SMA. Sebuah kejadian kembali mengguncang keluarga kami. Kejadian yang membuat tidurku tidak nyaman. Kejadian yang membuat rumah kami menjadi semakin muram. Suatu hari aku menuliskan puisi di kelas tentang itu. Selesai menulis dan membacanya dalam hati, aku menangis. Aku tidak tahan tahan lagi. Tapi aku istimewa, sebab hingga kini, tidak seorang pun tahu tentang itu. Sebab hari itu, sahabat-sahabatku mengira aku menangis karena kalah debat dalam diskusi Kewarganegaraan. Aku istimewa sebab masalah itu dapat kusimpan, hingga ia selesai dengan sendirinya.

Di masa kuliah. Aku masuk ke jurusan yang diperintah ibu. Jurusan yang sebenarnya tidak kusukai, namun kujalani hingga selesai. Aku ini istimewa, sebab bukan meski keputusanku, tapi langkah yang itu dapat kujalani dengan tanggung jawab, meski berat. Sebab siapapun yang menyuruhku, jika aku sudah mengiyakannya, maka itu tetaplah keputusanku. Dan aku harus menjalaninya dengan baik.

Tempat itu, kampus itu, fakultas itu, menjadi seolah neraka, saat ternyata ada banyak orang yang suka memaksakan kehendaknya pada mahasiswa baru. Aku bukan anak yang sangat cerdas atau sangat cantik. Tapi aku adalah penentu hidupku sendiri. Aku tidak suka dipaksa. Sebab memaksa adalah perbuatan para penjajah, dan aku benci penjajah. Maka aku dibenci senior, dan membuat kawan seangkatanku bingung.

Aku ini istimewa. Sebab dalam sebuah pertemuan saat kawan seangkatan menyidangku karena tidak taat pada peraturan lembaga mahasiswa, aku dapat berdiri dengan kepala tegak. Menyampaikan argumen dan apa yang aku yakini sebagai jalan yang benar. Aku istimewa, sebab saat itu aku tidak kalah. Sebab saat itu aku berkata pada mereka; ini prinsipku, lalu kalian mau apa?

Aku ini istimewa,. Sebab hingga saat ini kujalani hidupku dengan baik sangka. Baik sangka pada kondisi ibu yang beberapa hari ini memburuk. Baik sangka akan masa studiku yang harus segera berakhir, dan dengan semakin banyak orang-orang yang sepertinya senang sekali mengancam –atau memang seperti itulah kami harus diperlakukan untuk bisa sukses? Dan baik sangka pada berbagai masalah yang datang dan pergi.

Aku ini istimewa. Sebab aku percaya bahwa tidak ada hidup yang sempurna. Yang ada hanyalah, orang-orang yang terlihat sempurna dalam menjalaninya. Dengan senyum terbaik yang mereka punya. Dan dengan tangis yang dapat mereka simpan di tempat yang tepat. Sungguh, hidup ini tidak sempurna. Masalah-masalah itu kawan, mungkin justru menyempurnakannya.

Aku ini istimewa, sebab aku sadar; sejak awal, hidupku bukan untuk diriku sendiri.

Gadis itu berhenti lagi. Saya menatap cermin tempat bayangannya terpantul. Lalu berbisik lirih padanya; kau yakin saya harus menuliskan ini?

4 komentar:

  1. ia istimewa..
    q harap semua dari kita adalah istimewa..

    BalasHapus
  2. Ya, yakinlah menuliskannya hingga yang membacanya mampu melahirkan yakin dalam hatinya untuk terus membacanya..:-)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)