Dia merasa beruntung sekarang.
Logika sederhana di masa kecilnya ternyata telah sesuai dengan fitrah yang
sebenarnya: lurus, insya Allah.
Masih terekam jelas dalam
ingatan, saat ia masih bocah. Kala itu, ia protes saat menyaksikan presenter
acara TV yang mengucapkan selamat pada saat hari raya Islam, lalu mengucapkan
selamat pula di hari raya agama lain. Protesnya itu, ia sampaikan kepada
teman-temannya yang juga para bocah. Teman-temannya hanya menatapnya aneh,
tanpa berkata apa-apa. Di dalam hati mereka, mungkin mereka tidak merasakan
adanya keanehan. Tapi tidak dengannya,
“Memangnya orang di TV itu agama apa sih?!” ucapnya sambil
bersungut-sungut.
Keluarga besar dengan latar
belakang Islam yang cukup kental memang telah membentuk pribadi anak itu. Tanpa
pernah diajarkan secara gamblang, ia sudah cukup belajar dari apa yang ia lihat
sehari-hari. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk menjadi seseorang yang
intoleran dan punya pikiran keras yang tanpa batasan. Di lingkungan rumahnya –hanya
berjarak sebuah rumah, tinggal pula seorang keturunan Tionghoa yang bukan
beragama Islam. Bahkan, setiap Ahad tiba, rumah itu selalu hiruk pikuk dengan
alunan nyanyian puji-pujian. Masih di masa kecilnya, terkadang ia
mengintip-intip momen tersebut dari pagar sang tetangga, lalu terbirit-birit
saat ketahuan. Itu saja, tanpa diikuti perilaku destruktif lainnya. Dan tetap
dalam hati dan pemahaman bocah yang paling sederhana, ia mengerti; antara dia
dan tetangganya itu, ada yang berbeda.
Namun sekali lagi, ia cukup
belajar dari lingkungannya. Ia bahkan belum dapat benar mengeja kata t-o-l-e-r-a-n-s-i
saat hal tentang itu telah ia pelajari dengan sendirinya. Tersebutlah di suatu
waktu, masih di masa kecilnya. Kala itu, karena sebuah kejadian, kota tempat
tinggalnya dikepung dengan kericuhan. Terjadilah rusuh yang sangat kental
dengan nuansa SARA. Para etnis Tionghoa diburu, rumah mereka dibakar, rukonya
dijarah. Tak sedikit dari mereka yang konon sampai harus menjemur sajadah di
depan rumahnya agar terhindar dari amuk massa, agar dikira Islam. Maka saat itu, tentu gusarlah sang tetangga yang
bertahun-tahun hidup dikelilingi komunitas Islam-Makassar yang lumayan tattara’ (mungkin semakna dengan taat
atau ‘fanatik’ –ingat, dengan tanda kutip!).
Melihat kondisi tersebut, sang
Ibu yang kala itu telah sakit, memintanya untuk menemani berkunjung ke rumah
tetangganya itu. Dengan berdiri di depan pintu pagar, sambil tertatih dan
berpegang di bahunya, ibunya berjumpa dengan sang tetangga, wanita muda dengan
kulit putih dan mata sipit itu.
“Tenang saja. Kalian aman bersama kami.” ujar ibunya.
Ringkas saja. Dan wanita Tionghoa
itu pun hanya menatap anak-beranak itu bergantian, sambil tersenyum lega.
Mencipta mata sipitnya yang nampak segaris. Fragmen itu terkenang hingga
bertahun setelahnya. Saat itu, ia sama sekali belum tahu tentang pembagian
orang kafir bagaimana. Perbedaan hak dan kewajiban mereka pun bagaimana. Perlakuan
pada mereka dalam kondisi damai, kondisi perang, kondisi saling
berhadap-hadapan bagaimana. Tapi kala itu, dengan hati dan pemahaman bocah yang
paling sederhana, ia mengerti; kita memang berbeda, tapi bukan berarti boleh
saling menyakiti. Dan agama kami, memanglah rahmatan
lil alamin; kasih bagi seru sekalian alam, tanpa terkecuali.
Logika sederhana itulah yang
terus ia bawa, terus ia pahami hingga kemudian ia temukan sisi ilmiah yang
ternyata mendukung apa yang selama ini ia mengerti. Maka di saat masa SMA, ia
terkaget pada pendapat seorang temannya yang berkata,
“Saya pikir, semua agama itu punya surganya masing-masing! Ibarat ingin
ke pasar sentral, ada rutenya, namun ujung-ujungnya sama saja menuju satu
tujuan. Hanya caranya yang berbeda. Maka yang penting beragama (apapun) dengan
benar, maka bisa masuk surga!”
Demikian sang teman berargumen.
Ia tentu menggeleng kuat. Tidak! Itu tidak benar. Baginya selama ini, tidak ada
pengecualian dan tawar menawar dalam masalah aqidah. Aqidah adalah harga mati tanpa
kata ‘kecuali’. Islam saja yang benar. Titik!
“Tapi bukankah mudah bagi Tuhan untuk mencipta banyak syurga? Syurga
untuk agama ini dan agama anu! Apa susahnya?”
Logika yang lainnya kembali
datang. Ah, jika memperturutkan otak kita yang secuil ini, bagaimana bisa kita
tandingi ilmuNya yang sesamudra? Namun meski tidak berucap dalil, maka
sebenarnya logika pun bisa dibalas logika!
Bagaimana bisa, ada seorang
pembantu yang digaji dan diberi tempat tinggal, lalu kemudian ia bekerja dan
mengabdi kepada Tuan yang lain. Jika begitu, apakah Tuannya akan sudi memberinya
hadiah, bonus, atau semacamnya? Maka demikian pula agama ini. Seorang manusia
dicipta dengan fitrah yang lurus, dengan nikmat yang datang tanpa ia pinta,
dengan kewajiban yang jelas; untuk ibadah kepada Allah. Maka jika ia menyembah
Tuhan yang jelas-jelas berkonsep berbeda, bagaimana bisa disiapkan untuknya
surga?
Maka cukuplah asbabun nuzul dari
QS. Al Kafirun menjadi pelajaran bagi kita. Saat para kaum kafir memberikan
penawaran pada Rasulullah, tidak tanggung-tanggung; sang Rasul akan dihadiahkan
harta melimpah, tahta terhormat, juga wanita sebagai pendampingnya!
Tapi dengan suatu syarat: ikutilah ritual agama kami, cukup setahun
saja! Maka kamipun akan ikuti agamamu, setahun pula!
Maka surah itu muncul dalam
menjelaskan dengan gamblang, ditutup dengan kesimpulan tegas di ayat
terakhirnya; bagimu agamamu, bagiku
agamaku. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini. Maka jelas saja semua
pernik keduniaan itu tidak akan mempan untuk merayu Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam, sebab
bukankah ia telah bersabda:
Namun apakah sikap tegas itu
menjadi legitimasi untuk asal-asal menyakiti sebab aqidah yang berbeda? Apakah
itu adalah pembenaran untuk memaksakan keyakinan? Bukan! Sebab di ayat lain
Allah berfirman, Laa ikraha fiddin... (QS.
Al Baqarah: 256). Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam!
Syaikh Muhammad bin Sholeh
al-Utsaimin merentangkan tafsir ayat ini bahwa; Sungguh, dalam menganut agama
ini, tidak ada paksa-paksa! Sebab agama
ini telah sempurna dan sesuai fitrah, maka tanpa dipaksa pun seharusnya manusia
yang ‘lurus’ akan dengan mudah mengikutinya.
Ya, jangan memaksa orang diluar
Islam untuk masuk Islam! Apalagi dengan cara yang tidak indah, kasar, dan
mengaburkan kasih sayang Islam. Tetap, tetap ada konsep dakwah ke arah sana,
namun perhatikanlah bahwa ia juga masih dengan ciri general dakwah; tepat
isinya, bagus caranya, pas waktunya. Bukankah demikian yang Rasul contohkan?
Maka cukuplah logika masa
kecilnya itu membuatnya merasa beruntung, sebab ia ternyata sejalan dengan nash
syari’i. Tidak berucap menyelamati ritual keagamaan agama lain, namun tetap
memberikan jaminan ketenangan saat mereka merasa terancam. Tetap. Tetap dalam
koridor dan batasan yang benar. Bukan hanya sekadar logika yang
menggampang-gampangkan, atau taqlid buta yang berlebih-lebihan, tapi dengan
ilmu yang dikembalikan kepada asal sumbernya; al Qur’an dan Sunnah.
Maka setelah para ulama
bersepakat untuk keharaman berucap selamat pada hari raya agama lain, lalu asatidzah masa ini berbusa-busa mengingatkan tentang hal yang sama. Bagaimana
ceritanya, kita yang ‘datang belakangan’ ini kemudian mencari dalih macam-macam
untuk membenarkannya?
Kamar Ibu, 25 Desember 2012
untuk ibu, madrasah pertama itu; semoga lekas sembuh.
sakit apa ummita? syafaahallah....
BalasHapusjazakillah khairan untuk doanya, ukhti.. :)
BalasHapus