Selasa, 25 Desember 2012

Logika Sederhana untuk Sesuatu yang Tidak Sederhana


Dia merasa beruntung sekarang. Logika sederhana di masa kecilnya ternyata telah sesuai dengan fitrah yang sebenarnya: lurus, insya Allah. 

Masih terekam jelas dalam ingatan, saat ia masih bocah. Kala itu, ia protes saat menyaksikan presenter acara TV yang mengucapkan selamat pada saat hari raya Islam, lalu mengucapkan selamat pula di hari raya agama lain. Protesnya itu, ia sampaikan kepada teman-temannya yang juga para bocah. Teman-temannya hanya menatapnya aneh, tanpa berkata apa-apa. Di dalam hati mereka, mungkin mereka tidak merasakan adanya keanehan. Tapi tidak dengannya,

“Memangnya orang di TV itu agama apa sih?!” ucapnya sambil bersungut-sungut.

Keluarga besar dengan latar belakang Islam yang cukup kental memang telah membentuk pribadi anak itu. Tanpa pernah diajarkan secara gamblang, ia sudah cukup belajar dari apa yang ia lihat sehari-hari. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk menjadi seseorang yang intoleran dan punya pikiran keras yang tanpa batasan. Di lingkungan rumahnya –hanya berjarak sebuah rumah, tinggal pula seorang keturunan Tionghoa yang bukan beragama Islam. Bahkan, setiap Ahad tiba, rumah itu selalu hiruk pikuk dengan alunan nyanyian puji-pujian. Masih di masa kecilnya, terkadang ia mengintip-intip momen tersebut dari pagar sang tetangga, lalu terbirit-birit saat ketahuan. Itu saja, tanpa diikuti perilaku destruktif lainnya. Dan tetap dalam hati dan pemahaman bocah yang paling sederhana, ia mengerti; antara dia dan tetangganya itu, ada yang berbeda.

Namun sekali lagi, ia cukup belajar dari lingkungannya. Ia bahkan belum dapat benar mengeja kata t-o-l-e-r-a-n-s-i saat hal tentang itu telah ia pelajari dengan sendirinya. Tersebutlah di suatu waktu, masih di masa kecilnya. Kala itu, karena sebuah kejadian, kota tempat tinggalnya dikepung dengan kericuhan. Terjadilah rusuh yang sangat kental dengan nuansa SARA. Para etnis Tionghoa diburu, rumah mereka dibakar, rukonya dijarah. Tak sedikit dari mereka yang konon sampai harus menjemur sajadah di depan rumahnya agar terhindar dari amuk massa, agar dikira Islam. Maka saat itu, tentu gusarlah sang tetangga yang bertahun-tahun hidup dikelilingi komunitas Islam-Makassar yang lumayan tattara’ (mungkin semakna dengan taat atau ‘fanatik’ –ingat, dengan tanda kutip!).

Melihat kondisi tersebut, sang Ibu yang kala itu telah sakit, memintanya untuk menemani berkunjung ke rumah tetangganya itu. Dengan berdiri di depan pintu pagar, sambil tertatih dan berpegang di bahunya, ibunya berjumpa dengan sang tetangga, wanita muda dengan kulit putih dan mata sipit itu.

Tenang saja. Kalian aman bersama kami.” ujar ibunya.

Ringkas saja. Dan wanita Tionghoa itu pun hanya menatap anak-beranak itu bergantian, sambil tersenyum lega. Mencipta mata sipitnya yang nampak segaris. Fragmen itu terkenang hingga bertahun setelahnya. Saat itu, ia sama sekali belum tahu tentang pembagian orang kafir bagaimana. Perbedaan hak dan kewajiban mereka pun bagaimana. Perlakuan pada mereka dalam kondisi damai, kondisi perang, kondisi saling berhadap-hadapan bagaimana. Tapi kala itu, dengan hati dan pemahaman bocah yang paling sederhana, ia mengerti; kita memang berbeda, tapi bukan berarti boleh saling menyakiti. Dan agama kami, memanglah rahmatan lil alamin; kasih bagi seru sekalian alam, tanpa terkecuali.

Logika sederhana itulah yang terus ia bawa, terus ia pahami hingga kemudian ia temukan sisi ilmiah yang ternyata mendukung apa yang selama ini ia mengerti. Maka di saat masa SMA, ia terkaget pada pendapat seorang temannya yang berkata,

“Saya pikir, semua agama itu punya surganya masing-masing! Ibarat ingin ke pasar sentral, ada rutenya, namun ujung-ujungnya sama saja menuju satu tujuan. Hanya caranya yang berbeda. Maka yang penting beragama (apapun) dengan benar, maka bisa masuk surga!

Demikian sang teman berargumen. Ia tentu menggeleng kuat. Tidak! Itu tidak benar. Baginya selama ini, tidak ada pengecualian dan tawar menawar dalam masalah aqidah. Aqidah adalah harga mati tanpa kata ‘kecuali’. Islam saja yang benar. Titik!

“Tapi bukankah mudah bagi Tuhan untuk mencipta banyak syurga? Syurga untuk agama ini dan agama anu! Apa susahnya?

Logika yang lainnya kembali datang. Ah, jika memperturutkan otak kita yang secuil ini, bagaimana bisa kita tandingi ilmuNya yang sesamudra? Namun meski tidak berucap dalil, maka sebenarnya logika pun bisa dibalas logika!

Bagaimana bisa, ada seorang pembantu yang digaji dan diberi tempat tinggal, lalu kemudian ia bekerja dan mengabdi kepada Tuan yang lain. Jika begitu, apakah Tuannya akan sudi memberinya hadiah, bonus, atau semacamnya? Maka demikian pula agama ini. Seorang manusia dicipta dengan fitrah yang lurus, dengan nikmat yang datang tanpa ia pinta, dengan kewajiban yang jelas; untuk ibadah kepada Allah. Maka jika ia menyembah Tuhan yang jelas-jelas berkonsep berbeda, bagaimana bisa disiapkan untuknya surga?

Maka cukuplah asbabun nuzul dari QS. Al Kafirun menjadi pelajaran bagi kita. Saat para kaum kafir memberikan penawaran pada Rasulullah, tidak tanggung-tanggung; sang Rasul akan dihadiahkan harta melimpah, tahta terhormat, juga wanita sebagai pendampingnya!

Tapi dengan suatu syarat:  ikutilah ritual agama kami, cukup setahun saja! Maka kamipun akan ikuti agamamu, setahun pula!

Maka surah itu muncul dalam menjelaskan dengan gamblang, ditutup dengan kesimpulan tegas di ayat terakhirnya; bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini. Maka jelas saja semua pernik keduniaan itu tidak akan mempan untuk merayu Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam, sebab bukankah ia telah bersabda:

Namun apakah sikap tegas itu menjadi legitimasi untuk asal-asal menyakiti sebab aqidah yang berbeda? Apakah itu adalah pembenaran untuk memaksakan keyakinan? Bukan! Sebab di ayat lain Allah berfirman, Laa ikraha fiddin... (QS. Al Baqarah: 256). Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam!

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin merentangkan tafsir ayat ini bahwa; Sungguh, dalam menganut agama ini,  tidak ada paksa-paksa! Sebab agama ini telah sempurna dan sesuai fitrah, maka tanpa dipaksa pun seharusnya manusia yang ‘lurus’ akan dengan mudah mengikutinya.

Ya, jangan memaksa orang diluar Islam untuk masuk Islam! Apalagi dengan cara yang tidak indah, kasar, dan mengaburkan kasih sayang Islam. Tetap, tetap ada konsep dakwah ke arah sana, namun perhatikanlah bahwa ia juga masih dengan ciri general dakwah; tepat isinya, bagus caranya, pas waktunya. Bukankah demikian yang Rasul contohkan?

Maka cukuplah logika masa kecilnya itu membuatnya merasa beruntung, sebab ia ternyata sejalan dengan nash syari’i. Tidak berucap menyelamati ritual keagamaan agama lain, namun tetap memberikan jaminan ketenangan saat mereka merasa terancam. Tetap. Tetap dalam koridor dan batasan yang benar. Bukan hanya sekadar logika yang menggampang-gampangkan, atau taqlid buta yang berlebih-lebihan, tapi dengan ilmu yang dikembalikan kepada asal sumbernya;  al Qur’an dan Sunnah.

Maka setelah para ulama bersepakat untuk keharaman berucap selamat pada hari raya agama lain, lalu  asatidzah masa ini berbusa-busa mengingatkan tentang hal yang sama. Bagaimana ceritanya, kita yang ‘datang belakangan’ ini kemudian mencari dalih macam-macam untuk membenarkannya?

Kamar Ibu, 25 Desember 2012
untuk ibu, madrasah pertama itu; semoga lekas sembuh.

2 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)