Kamis, 29 Desember 2016

Life is About Choosing

Hidup adalah tentang memilih. Tiap hari kita akan dihadapkan dengan berbagai macam pilihan yang menunggu untuk ditentukan. Satu pilihan kita akan membawa kita pada pilihan berikutnya. Begitu seterusnya. Kita selalu punya kendali untuk menentukan ke mana arah langkah kita. Dan bagaimanapun orang lain memaksa kita, pada akhirnya keputusan final ada pada diri kita sendiri. Pada akhirnya, kita yang akan menjalaninya, dan mempertanggungjawabkannya.

Selepas tuntas masa pendidikan terakhir beberapa tahun yang lalu, berbagai pilihan muncul di hadapan saya.

Saat itu saya memilih untuk tidak melanjutkan kuliah, pun tidak bekerja. Meski kedua pilihan itu punya peluang besar untuk saya jalani. Tabungan saya masih ada untuk kuliah lagi, dan beberapa panggilan kerja datang begitu saja tanpa saya cari. Tapi saya memilih untuk tetap di rumah. Tahun-tahun yang panjang dalam masa studi telah saya lewati dan saya menganggap saat itu adalah titik yang tepat untuk benar-benar 'pulang'. Ibu saya sakit dan saudara-saudara yang lain masih sibuk dengan rutinitas mereka. Saya, memilih tinggal di rumah menjaga ibu sambil menerima tawaran menulis berhonor yang lumayan untuk uang jajan. Oleh seorang kerabat saya disebut apoteker pengangguran, ada pula yang menyangka saya keenakan santai karena ingin terus bergantung pada harta orang tua. Saya tidak nyaman dengan justifikasi itu tapi saya memilih diam sebab tidak semua hal perlu diceritakan. Keadaan ini terus berlanjut hingga saya menikah dan punya anak. Ijazah-ijazah saya cukup puas dengan hanya mendekam di lemari saja.

Tapi saya tidak pernah merasa bahwa ibu yang bekerja itu lebih buruk. Mereka memilih menjadi working mom dan saya yakin di balik itu ada alasan yang besar. Maksud saya, bukan hal yang mudah untuk meninggalkan dan menanggalkan tugas kerumahtanggaan dan kewajiban pendidikan anak untuk sebuah tanggung jawab yang tidak utama, yakni bekerja. Tapi beberapa perempuan memilih itu dengan alasan mereka masing-masing dan bagi saya it's totally ok.

Saya pernah menjalani beberapa bulan kehidupan terpisah dari suami dan kami selanjutnya bersepakat untuk tidak lagi menjalani itu. Bagi kami, kebersamaan dalam pernikahan adalah keniscayaan. Di bumi manapun kami harus berada, asalkan masih bisa bersama. Ada hak-hak anggota keluarga yang tidak bisa tertunaikan dengan maksimal saat berjauhan. Tapi itu tidak membuat saya merasa berhak mencela mereka yang harus berhubungan jarak jauh dengan pasangannya. Sebab itu juga bagian dari pilihan dan tiap pilihan punya sebab-sebabnya. Mereka yang berjuang membangun cinta meski terkendala oleh jarak, saya yakin, juga selalu memimpikan kebersamaan yang utuh. Tapi ada rindu yang harus mereka pendam, untuk sebuah alasan besar yang membuat mereka harus memilih jalan itu.

Saya menjalani proses persalinan normal dan tidak ada alasan untuk memilih sectio caesaria sebab saya berbaring di ruang persalinan saat ternyata telah pembukaan lengkap, disusul pecah ketuban, lalu diminta mengedan selama setengah jam, kemudian Fayyadh lahir di dunia, biidznillah. Tapi kenyataan itu tidak membuat saya merasa boleh mencela perempuan yang harus melahirkan di atas meja operasi. Mereka pun adalah ibu seutuhnya dan goresan di perut mereka dalam perjuangan caesar juga adalah perih berdarah-darah yang juga adalah penanda jihad akbar mereka.

Fayyadh tidak lulus ASI ekslusif. Saya menambahkan sufor dalam konsumsi Fayyadh selain ASI. Kini, Fayyadh bahkan menjadi bayi full sufor di samping menyantap MPASI-nya.

Sebelum itu, saya telah melalui waktu berjam-jam dengan bayi yang menempel terus menyusui pada saya tapi tak pernah puas. Saya berjuang untuk hanya memberikan ASI saja meski di masa itu saya tidak punya aktivitas lain selain menyusui, mencoba semua tips memperbanyak ASI, memakan dan meminum segala galactogogue yang disarankan oleh semua orang hingga yang disarankan oleh artis-artis di instagram. Saya menangis sendirian dan berdoa sambil menangis agar bisa mencukupi kebutuhan ASI bayi saya.

Saya tersenyum pahit saat orang lain melihat bayi saya kala itu dan menganggapnya terlalu kecil, tidak besar-besar, bahkan disebut malah menjadi semakin kecil karena kurang gizi.

Hingga akhirnya saya memilih untuk menjadikan sufor sebagai opsi bantuan untuk saya dan Fayyadh.  Tapi jangan pertanyakan cinta saya padanya. Sebab saya mencintai putra saya sebagaimana cinta ibu-ibu lain yang sanggup menyusui anaknya.

Dan saya tentu tetap mengangkat topi untuk para pejuang ASI yang bisa lulus hingga S3 ASI dan saya yakin itu tidak mudah. Mereka pasti bersyukur dengan kesyukuran yang besar sebab bisa menjalankan perintah Allah untuk menyusui anaknya hingga 2 tahun, sebab tidak semua ibu bisa merasakan kenikmatan itu.

Saya memilih untuk lebih sering menggunakan pembalut kain sejak gadis hingga kini, dan memakaikan pula popok kain untuk bayi saya. Saya memasukkan jadwal mencuci popok dalam kegiatan harian dan sama sekali tidak menganggap itu sebagai beban. Sesekali saya mengenakan pembalut sekali pakai atau memakaikan pospak pada anak saya saat saya menakar diri harus mengalokasikan waktu mencuci untuk hal lain, atau karena alasan lainnya. Saya menganggap ini adalah pilihan yang tepat dengan alasan kesehatan dan penghematan. Tapi pilihan ini tidak membuat saya menganggap buruk orang lain yang tidak memilih hal yang sama, sebab saya yakin mereka pun punya alasan, dan paham dengan konsekuensi pilihannya.

Dan demikianlah seterusnya. Kita sangat tahu tentang apa yang kita jalani dan hadapi dan kita membuat pilihan atas hidup kita. Pun orang lain juga punya medan perjuangan mereka sendiri dan kita tidak pernah punya hak untuk menghakimi. Sebab hidup ini, akan menjadi indah sebagaimana adanya jika kita bisa saling menerima, jika kita bisa saling berbaik sangka.

Makassar, penghujung Desember 2016 yang mendung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)