Rabu, 24 November 2010

Saat Pesta Pernikahan Berdampingan dengan Rumah Duka




Siang itu, matahari sedang terik-teriknya bersinar. Meski tak ada yang pernah tahu bahwa sorenya hujan akan mengguyur bumi, sejenak mengaburkan ingatan kita tentang terik.

Saya sedang membelah jalanan menuju kampus saat melewati sebuah rumah dengan warna-warni hiasan di pagarnya, khas menandakan ada sebuah hajatan bahagia di sana. Mobil-mobil berderet-deret, mengambil separuh badan jalan yang sejak awal sudah cukup sempit itu. Ada pesta pernikahan di rumah tersebut.

Entah mengapa, saat menyaksikan pemandangan itu, saya justru membayangkan hal lain. Membayangkan bagaimana jika, di samping rumah tadi, berdampingan pula sebuah rumah yang salah satu penghuninya baru saja dipanggil untuk kembali pada Rabbnya. Pulang kampung ke negeri akhirat.

Tentu akan menjadi pemandangan yang ganjil, saat kedua takdir itu bersanding. Pastinya akan ada perasaan tak enak yang menggelayuti pemilik rumah masing-masing. Sementara, tak ada satu pun diantara keduanya yang dapat menangguhkan hal tersebut.

Pesta pernikahan yang telah didesign sedemikian rupa dengan perencanaan yang matang sejak jauh-jauh hari, tak mungkin ditunda, apalagi dibatalkan karena tiba-tiba ada tetangga yang meninggal. Terlebih lagi tentang ajal, meninggalnya seseorang, tak mungkin bisa ditahan-tahan karena kerabat sebelah rumah sedang ada hajatan walimah.

Beberapa menit kemudian, saya sudah sampai di jalan raya. Lalu tiba-tiba terdengar suara sirene yang diikuti dengan pemandangan segerombolan pengendara sepeda motor yang membawa bendera putih. Dan saya pun takjub. Meski mungkin kedua peristiwa tadi tidak berlangsung di area yang sama –seperti yang saya khayalkan, tapi setidaknya kedua hal ini terjadi di waktu yang dekat jaraknya.

Sekali lagi tentang kematian.

Tiba-tiba saya disergap ketakutan, mata berkaca, dan perasaan bergemuruh, teringat pada kelalaian saya semalam –belum lagi dengan segala dosa selama ini, ah…. Tapi belum lagi saya selesai dengan gemuruh itu, kembali muncul gerombolan lain yang juga membawa bendera putih.

Dua.

Dua kematian yang saya saksikan hari ini. Mungkin saya hanya melihat iring-iringan jenazahnya saja. Tapi cukuplah itu menjadi sebuah pengingat, nasihat yang nyata.

Kawan, tak perlulah kukabarkan bagaimana kematian itu bisa saja datang tiba-tiba. Tanpa pernah direncakan seperti sebuah acara pernikahan. Tak pernah bisa kita mengancang-ancang dimana kita akan tertimpa takdir itu nanti. Tak bisa kita berencana busana apa yang akan kita kenakan saat itu. Terlebih lagi bahwa tak ada seorang pun yang bisa kita ajak turut serta saat tamu terakhir itu datang menjemput. Dan tentu tak mungkin kita berucap, “Tunggu dulu, saya belum siap!”

Mungkin ada baiknya jika kita duduk sejenak, menghadirkan diri dan hati secara utuh untuk kembali bertanya; untuk apa kita hidup? Kembali mengevaluasi apa saja yang telah kita lakukan selama nafas ini berhembus.

Kita, seorang anak dari kedua orang tua, sudah berapa banyak amal bakti yang kita beri kepada ayah dan bunda?

Kita, seorang saudara atas kaum muslimin yang lain, kemanfaatan apa yang telah kita sumbang untuk jiwa-jiwa yang dengannya Rasulullah menjadikan ‘satu tubuh’ sebagai analoginya?

Kita, pemuda yang diberi begitu banyak nikmat, seberapa besar rasa syukur itu datang, seberapa mampu kita bersabar atas cobaan, seberapa jauh kita bisa ikhlas atas takdir, bandingkan dengan seberapa sering kita mengeluh -bukan kepada siapa-siapa, Kawanku! Tapi esensi keluahan sebanrnya adalah kita sedang mengeluh pada Allah yang telah menggariskan semua perjalanan ini!

Kita, seorang penuntut ilmu yang ingin menjejalkan cahaya pada hati dan pikirannya, sejauh mana segala teori itu berbuah amal?

Kita, manusia yang hidup berdampingan dengan makhluk Allah yang lain, seberapa mampu kita mengejawantahkan jalan ini sebagai rahmatan lil alamin?

Kita, seorang hamba atas Rabbnya yang Maha Kuasa, sudah seberapa tundukkah kita pada aturanNya, sudah seberapa kuat kita menghindari larangannya, sudah sebesar apa rasa harap, takut, dan cinta itu bermuara?

Kutuliskan kata ‘kita’ itu, kawan, meski sebenarnya segala pertanyaan itu lebih tepat terhujam pada diri ini saja.

Bukankah saat gigi dicabut itu sakit? Lalu bagaimana pula saat nyawa ini yang dicabut dari jasadnya?

Bukankah ujian sidang itu menegangkan? Lalu bagaimana saat kita diuji dengan pertanyaan para malaikat?

Tidakkah nilai E di kartu hasil studi itu menggelisahkan? Lalu bagaimana gelisahnya saat yang error tenyata adalah amalan kita selama hidup di dunia?

Tidakkah api dari sebatang lilin itu panas? Lalu bagaimana pula dengan api neraka? Yang siksa paling ringannya adalah terompah yang dapat mendidihkan hingga ke otak.

Lalu bukankah kita sudah tahu betul dengan itu semua? Tapi ah, kata ‘lupa’ itu, kawan, itu yang selalu membuat kita silau dengan dunia, dan rela menukarkan masa yang kekal dengan sesuatu yang tidak lebih berharga dengan sayap nyamuk saja.

Wahai Allah, sebelum masa itu tiba, telah tuntaskah segala peran yang Engkau amanahkan? Peran sebagai khalifah di muka bumi, bukan sebagai perusak yang menumpahkan darah dan air mata, persis seperti apa yang dikhawatirkan para malaikat, saat nenek moyang kami Engkau cipta. Wallahu a’lam. T_T

“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan” (QS. Al Waaqi’ah [56]: 60)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)