Rabu, 04 Desember 2013

Mati Muda

Sejak kecil, saya selalu merasa akan mati muda. 

Ya, entah mengapa. Kira-kira di usia SD, tentu pada waktu itu saya belum tahu menahu perihal hal-hal seberat itu, perihal kematian. Saya belum belajar agama dengan benar sehingga tidak pula mengerti konsep dzikrul-maut yang erat kaitannya dengan nasihat agar menjalani hidup dengan lebih lurus. Untuk sebuah alasan yang hingga hari ini pun saya tidak tahu, entah mengapa saat itu saya selalu menganggap diri saya tidak akan sampai pada fase dewasa, saya akan mati sebelum itu. Atau setidaknya, dunia ini akan kiamat sebelum itu. Aneh ya?

Ya, saya memang anak yang aneh (mungkin juga sampai sekarang, hehehe...). Saya punya imajinasi yang terlalu melebar kemana-mana –jika tidak disebut liar. Entah karena pada waktu itu saya mencekoki diri dengan bacaan seputar hal-hal fantasi, pahlawan berkekuatan super, dan sebagainya, sehingga saya bisa dengan mudah untuk berimajinasi tentang banyak hal yang aneh-aneh. Termasuk tentang kematian. Di suatu hari saat masih SD, saya bahkan pernah berdiri beberapa saat sambil mengamati baju seragam sekolah saya yang tergantung di pegangan pintu lemari. Baju itu masih kusut dan seharusnya saya letakkan segera di tempat setrikaan agar disetrika dan bisa saya gunakan esok lusa.

Cukup lama saya berdiri menatap baju itu, hingga kemudian memilih untuk tetap meninggalkannya di sana. Kau tau kenapa? Sebab entah atas alasan apa, saya merasa akan meninggal besoknya, sehingga saya tentu tidak membutuhkan baju itu lagi esok lusa. Dan sebagai seorang anak kecil, saya menganggap bahwa kematian adalah perkara sederhana. Padahal, tidak.

Hingga saat ini pun, perasaan seperti itu pun seringkali tiba-tiba muncul lagi. Namun kali ini dalam pemahaman yang berbeda, tentunya. Kematian bukan lagi perkara sederhana yang bisa dengan sok saya hadapi dengan tenang. Kematian adalah sebuah pintu masuk menuju ke alam selanjutnya, menuju pada pertanggungjawaban yang saya imani akan dihadapi oleh seluruh manusia. Perasaan-tidak-lama-lagi-akan-mati itu akhirnya membuat saya menjadi merasa perlu menyiapkan banyak hal. Amalan baik, tentu saja. Dan beberapa hal lain yang juga perlu dipersiapkan sebelum meninggalkan dunia.

Saya butuh ahli waris.

Bukan, bukan untuk perkara harta. Sebab nyatanya, saya memang tidak punya apa-apa. Semua rupiah yang ada di tabungan atas nama saya sejatinya hanyalah belas kasihan kedua orang tua saya yang masih membiayai hingga hari ini. Jika pun ada sepeser yang merupakan hasil dari usaha sendiri, itu tidak berarti banyak. Bahkan mungkin telah tandas saya belanjakan kesana kemari.

Tapi, saya butuh ahli waris untuk meneruskan beberapa hal yang saya harap akan terus berlanjut walaupun saya sudah tidak ada. Buku saya, misalnya. Buku itu, meski bukan sebuah karya yang sangat berarti, saya harap masih akan terus beredar meski saya sudah mati. Demikian pula dengan blog ini, dan blog saya yang lain. Saya ingin memastikan bahwa ia akan terus beroprasi dan tetap bisa diakses. Maka, ahli waris saya hanya akan saya warisi dengan link pada penerbit buku serta password e-mail, dan password blog serta password akun FB dan twitter untuk mengabarkan pada kawan-kawan saya di sana, bahwa saya telah tiada dan saya harap mereka tetap mendoakan kebaikan pada saya. Hmm.., hingga saat ini satu-satunya kandidat ahli waris yang terpikirkan oleh saya adalah adik kandung saya, Indy Trini. Saya tidak tahu apakah ia akan membaca tulisan ini, tapi jika kemudian saya mati dan ada pembaca yang telah membaca tulisan ini dan mengenal Indy, tolong beritahukan perihal ini padanya. Kalau-kalau saja saya ternyata lupa, atau tidak sempat memberitahukan ini pada Indy. Mungkin, saya akan mulai menuliskan password-password itu di secarik kertas yang saya letakkan di dompet. Sama seperti jika saya memiliki utang, maka menuliskannya di kertas dan meletakkannya di dompet adalah cara yang aman. Seseorang akan menemukan dompet itu, dan bisa membantu membayarkan utang itu jika kita ternyata mati duluan. Utang itu khan mengerikan! Syuhada saja bisa tertunda masuk surga jika utangnya belum dilunaskan! Apalagi saya!

Nah, lihatlah bagaimana saya seringkali dihinggapi perasaan tidak akan hidup lebih lama lagi. Saya sering merasa akan pergi lebih dahulu daripada bapak, mamak, kakak, dan adik saya. Entah mengapa. Dan hal seperti ini, hanya bisa dijawab oleh rangkaian hari yang datang satu per satu. Takdirlah yang akan menunjukkan apakah dugaan saya itu benar, atau hanya angan kosong belaka.  

Oh iya, hal ini juga seringkali membuat saya berpikir tentang beberapa hal yang belum saya sampaikan kepada beberapa orang. Ada sesuatu yang masih saya simpan sendiri, dan jika saya mati, maka mungkin itu semua akan ikut terkubur bersama jasad saya. Tapi tak mengapa, mungkin memang akan lebih keren jika ada rahasia yang kita bawa sampai mati. Hehehe...

Satu hal yang akan menyadarkan saya dari pemikiran aneh ini hanyalah jika saya mengingat kembali pada dosa-dosa. Bejibun dosa yang belum tuntas saya tebus dengan taubat. Juga dengan kata maaf kepada orang-orang yang pernah saya lampaui haknya. Juga memaafkan orang-orang yang masih belum bisa saya lupakan kesalahannya. Hal-hal semacam itulah yang membuat saya kemudian akan berpikir, saya sama sekali belum siap untuk mati. Bahkan meski dunia ini sudah tidak terlihat menarik lagi.

Hmm... tulisan ini nampaknya semakin tidak jelas juntrungannya, ya? Maafkan, saya hanya ingin menumpahkan pikiran saja. Maafkan juga, jika kamu sudah membaca sampai sejauh ini tapi nyatanya tidak menemukan manfaat apa-apa. Maafkan ya, sebab saya tidak ingin menambah daftar dosa yang tentu akan semakin memberatkan kehidupan setelah kematian saya.

Maka pada akhirnya saya akan mencoba untuk lebih logis dan lebih lurus lagi dalam memikirkan hal ini. Saya perlu mengingat kembali nasihat dari sebuah buku yang dulu dipinjam seseorang tapi tak pernah ia kembalikan hingga kami tidak bertemu lagi. Buku itu berpesan; Tidak penting kapan kita mati, yang terpenting adalah apa yang telah kita siapkan untuk menghadapi kematian, dan kehidupan setelah mati.  

Dan buku itu, benar. 

Makassar, 4 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)