Senin, 02 Desember 2013

Tidakkah Kamu Memperhatikan?

Apa kabar, Pak?

Semoga selalu dilimpahkan rezeki atasmu dalam keberkahan, dan diberikankesehatan padamu dalam kebaikan. Tentu kau memerlukan kekuatan yang begitubesar untuk dapat mengemban amanah berat di pundakmu di dunia ini, pun untukmempertanggungjawabkannya di akhirat nanti.

Pak, tulisan ini mungkin hanya sebuah coretan sederhana yang jauh dariilmiah. Ia juga hanyalah suara hati dari seseorang yang bukan siapa-siapa dantidak pun membawa berita yang baru. Namun, semoga kesederhanaan ini tidak mengurangikebenaran atas apa yang akan tulisan ini sampaikan padamu.

Hari itu sebenarnya biasa saja. Hari pertama dalam penanggalan bulanDesember yang seharusnya sama dengan hari-hari lainnya. Namun, ia menjadi tidakbiasa saat isu itu berhembus dengan kencang. Berita pun menyebar kemana-manaseolah tiada yang dapat membendungnya. Ini tentang sebuah program yangdilakukan pemerintah terkait dengan hari AIDS sedunia. Namanya, Pekan KondomNasional. Sungguh, mendengar judulnya saja sudah membuat bulu kuduk bergidik.Ada apa dengan benda itu? Mengapa ia harus dibuatkan kegiatan dalam tujuh haripenuh?

Hingga sakit kepala saya memikirkannya, Pak. Logika saya yang dangkal initetap tidak dapat menangkap kesesuaian antara mencegah HIV/AIDS dengan kegiatanbagi-bagi ‘pengaman’ itu. Bahkan dari beberapa artikel yang saya baca, nyatanyapenularan penyakit mengerikan itu masih saja bisa terjadi meski menggunakanpengaman. Sementara fakta bahwa meningkatnya penularan lewat hubungan seksualpun ternyata melonjak dibanding jalur-jalur penularan lainnya. Bukankah itumengerikan? Tapi tetap saja, membagi-bagikannya kepada khalayak ramai tetaptidak dapat masuk dalam logika saya. Apalagi saat tempat dibaginya ternyata di antaranyaadalah kampus-kampus tempat orang-orang intelek berada, yang meski tidak diberitahu pun nampaknya sudah cukup tau tentang hal itu. Sementara, tidak semua darimereka adalah orang-orang yang terjerumus pada seks bebas. Bukankah, denganmembagikan hal itu justru bisa menjadi celah mereka menemukan inspirasi untuk justru melakuka tindakandosa itu?

Maka belum lagi reda pening itu, jantung ini rasanya ikut terpacu begitucepat saat beberapa testimoni dan saksi di lokasi kejadian menyatakan langsungbeberapa hal yang bersebrangan dari apa yang diprogramkan.

“Tiba-tiba ada yang datangmembagikan-bagikan sesuatu. Tanpa adainformasi apa-apa, ternyata sepaket kondom itu sudah ada di tangan saya!”

“Mereka masuk ke kampussaya, membagi-bagikan kondom sambil berujar –entah serius atau hanya bercanda, ‘Dicobasama pacarnya yah...’”

Duhai Bapak yang terhormat, apa yang sedang coba kita undang? Apa yangsedang kita nantikan? Adzab-Nya-kah? Naudzubillah...

Pak, saya pernah berkesempatan untuk berpraktik kerja pada sebuah apotek.Di sana dapat saya amati bahwa memang ‘benda itu’ adalah sesuatu yang wajarsaja untuk digunakan, tentu oleh orang-orang yang memang berhak untukmenggunakannya. Dan para pembelinya rata-rata, bahkan meski mereka memangberhak, namun tetap saja ada rasa malu pada wajahnya. Entah ditutup denganhelm, atau bergegas ingin segera membayar dan pergi. Apalagi tentu orang-orangyang memang ingin menggunakannya untuk maksiat, tentu akan lebih canggung lagi!Maka masih ada rasa malu, Pak! Setidaknya masih ada rasa malu yang menjagaseseorang untuk mengurungkan niat bermaksiatnya saat benda itu tidak denganmudah diakses oleh siapa saja. Maka saat ia kemudian diobral bahkandibagi-bagikan dengan gelontoran dana negara yang tidak sedikit jumlahnya,tentu tidak heran jika begitu banyak yang mempertanyakan ini semua! Telah nyataadzab pada kaum yang durhaka sebelum kita, tidakkah kita memperhatikan?

Miris sekali rasanya, Pak. Saat kemaksiatan dibukakan pintunya begitu luas,sementara kebaikan seolah dihalangi rapat-rapat. Baru saja kami turutbergembira atas dibolehkannya saudari-saudari muslimah kami para polwan untukmengenakan jilbab, tiba-tiba kabar pembatalannya datang, dengan alasan tidakadanya anggaran. Saudari-saudari kami itu, Pak, mereka juga para muslimah yangberkewajiban menaati perintah Rabbnya. Telah diperintahkan dalam ajaran agamakita untuk menutup aurat, maka nampaknya tidak masuk diakal saat ternyatajustru negara (yang begitu kami banggakan karena menjadi berpenduduk mayoritasmuslim di dunia) ini yang melarangnya! Saudari-saudari kami itu, Pak, merekahanya ingin beribadah dengan bebas sebagaimana bebasnya mereka shalat, puasa,dan berzakat. Mereka hanya ingin menjalankan tugasnya kepada negara tanpa harusmendurhakai tugas yang telah diberikan pula oleh Allah. Lalu mengapa merekadilarang dan dihalang-halangi? Dimana hak asasi manusia itu? Dimana mereka yangmemprotes pelarangan rok mini itu? Dimana toleransi itu? Ataukah bahkan negaraini telah tega bersikap diskrimintif bahkan pada umat mayoritasnya sendiri?

Pak, masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Masih ada masa untukbersujud taubat dengan menyungkur pada-Nya. Tidakkah kita takut pada azab yangbukan hanya menimpa pelaku maksiat namun akan merata pada seluruh penduduknegeri? Jika mungkin hati kita telah beku dan tidak lagi bersemangat atas kabargembira bagi orang-orang yang takwa, maka mungkin memang saatnya kita menetapihati dan menghadirkan lagi ketakutan kita pada-Nya. Begitu mudah kitadilenyapkan-Nya dengan kekuasaan-Nya. Bahwa begitu mudah bagi-Nya menggantikita dengan generasi yang lebih tahu berterima kasih.

Duhai Bapak Presiden yang budiman, semoga hidayah Allah senantiasadicurahkan kepada kita semua. Aamiin.

Tidakkahkamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumidengan hak[? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakankamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru.” (QS. Ibrahim [14]:19)

Makassar, 3 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)