Sabtu, 20 September 2014

Diena, Bagaimana Kabarmu?

Saya membaca tulisan seorang penulis yang akhir-akhir ini saya ikuti blognya, lalu kemudian berkicau; “Bagaimana bisa apa yang ada di pikiran saya dituliskan oleh orang lain? Keanehan yang menyenangkan J

Ya, beberapa waktu yang lalu memang saya sudah berencana untuk membuat sebuah tulisan tentang kabar saya hari ini. Pentingkah? Mungkin tidak seorang pun menganggapnya penting. Saya hanya merasa patut untuk menuliskannya. Saya hanya ingin menulis, itu saja.

Belakangan ini, tidak bisa dipungkiri, hidup saya terasa berubah. Lepas dari masa SMA yang begitu indah itu, memasuki masa kuliah yang penuh dengan rutinitas dan kesibukan yang seolah tidak pernah mau berhenti, sekarang saya memasuki fase di mana rasanya segalanya berjalan dengan sangat lambat.

Maret 2013 adalah saat di mana terakhir kalinya saya menyandang status mahasiswa. Selepas dari wisuda dan penyumpahan yang berakhir di senja itu, saya kembali ke rumah dengan membawa rupa-rupa helaian kertas yang secara simbolik merupakan hasil dari perjuangan saya selama bertahun-tahun di kampus merah. Saat itu, saya masuk ke kamar, memandang ke luar jendela yang terbuka. Menderetkan map-map di atas tempat tidur, dan duduk di depan jendela. Ada semacam perasaan yang tidak begitu saya mengerti saat akhirnya saya menghembuskan napas berat. Saat itu saya sadar, semuanya akan benar-benar berubah. Tidak ada lagi rutinitas harian seperti kemarin-kemarin yang menghabiskan seluruh hari yang saya punya. Saya tidak akan sesering dulu lagi bertemu dengan kawan-kawan kuliah, bertemu dengannya. Dalam pada itu, saya merasakan sesuatu yang mungkin di sebut dengan; emptyness. Saya merasa kosong seketika. Setelah ini, akan kemana?
Menjelang masa wisuda sebenarnya saya sudah membuat planing beberapa hal yang akan saya lakukan. Bahkan saya dengan sangat ambisius ingin mengusahakan untuk bisa punya pekerjaan sebelum benar-benar lulus. Sebagai praktisi? Atau sebagai akademisi? Semuanya masuk dalam daftar yang saya buat. Deret list yang pada akhirnya saya harus coret satu per satu.

Mom, if you asked me to stay, i will stay.

Saya selalu menganggap bahwa tidak seorang pun bisa mendikte langkah saya. Ya, tidak seorang pun. Karena pada akhirnya apa yang saya lakukan adalah pilihan yang saya buat sendiri, sesuatu yang saya akan pertanggungjawabkan sendiri. I just want to live my life without regret. Saya akan menjelaskan kepada siapapun yang bertanya perihal jalan hidup saya ini dengan kepala tegak dan tanpa keraguan apapun. Termasuk pilihan untuk tidak bekerja di luar rumah dahulu, sejak lulus, hingga kini. Sebuah pilihan yang bagi sebagian orang mungkin menjadi sesuatu yang ‘lucu’. Dua gelar di belakang nama yang diraih dengan berdarah-darah, namun akhirnya hanya tinggal di rumah? Mungkin memang kedengarannya seperti lelucon, meski saya tidak sekalipun tertawa tentang itu.

Begitupula dengan pilihan untuk melanjutkan sekolah lagi, yang terus terang tidak pernah mampir di pikiran saya hingga kini. Teman-teman kuliah mungkin tahu betul bagaimana saya selalu memilih untuk duduk di bangku terdepan, baik di kelas, maupun ruang ujian. Mereka juga tahu bagaimana saya benci bolos atau titip absen. Indeks prestasi kumulatif saya juga mungkin memang tidak yang paling tinggi, tapi saya selalu bersemangat untuk belajar. Mereka menyifati saya dengan kata ‘bureng’ (buru ranking). Lalu mengapa mantan mahasiswi yang satu ini tidak kembali ke bangku sekolah dan menambah deret gelarnya? Beberapa orang menyayangkan hal ini, bahkan menganggap saya orang aneh yang sedang melakukan sebuah kesia-siaan atau minimal tidak bisa memanfaatkan kesempatan. Baiklah saya aneh. Tapi yang saya tahu, tiap orang punya jalan hidup masing-masing. Seseorang yang tidak memiliki template hidup yang sama denganmu bukan berarti dapat kau anggap seperti alien yang datang dari planet lain. I’m human being. Just deal with it, deal with your life, and stop judging.

Selanjutnya, arus pendaftaran abdi negara kembali datang. Semua orang sibuk untuk mendapatkan tempat demi pantas menggunakan baju dinas. Apakah itu saya anggap salah hanya karena saya tidak pernah punya minat ke sana? Sama sekali tidak. Bercita-cita untuk menjadi PNS adalah sesuatu yang sangat normal. Setiap orang punya usahanya sendiri untuk mengamankan masa depan, salah satunya dengan cara itu. Dan saya sangat menghargai itu, sebagaimana saya menghargai kedua orang tua saya yang memberi saya makan dari gaji sebagai pegawai negara ini. Orang tua saya menganggap pilihan saya untuk bahkan terlalu malas buat sekadar ‘coba-coba tes’ seperti yang dilakukan beberapa orang, sebagai sebuah kejanggalan. Ibu saya bingung dan berdoa semoga ada hikmah di balik semua ini. Ayah saya nampak lebih bisa menerima keputusan anaknya dan mencoba memandang hal ini dari sudut pandang saya. Saya bersyukur untuk itu.

Sekarang kerja di mana?” pertanyaan itu selalu muncul tiap saya bertemu seseorang yang tahu bahwa saya sudah selesai kuliah. Seolah bahwa time-line hidup memang selamanya demikian; sekolah-lulus-jadi pegawai di satu tempat.

Di rumah,” jawab saya singkat. Di awal-awal dulu, saya sering dihinggapi inferiority-complex, yang secara sederhana saya terjemahkan sebagai rasa minder. Setelah menjawab pertanyaan itu, beberapa orang cukup sopan untuk kemudian tidak melanjutkan pertanyaan itu dan hanya tersenyum menatap saya sambil mengangguk-angguk. Selebihnya, biasanya memberondong saya dengan pertanyaan, bahkan pernyataan lanjutan, yang kadang terlihat (sebenarnya) tanpa bermaksud untuk lebih tahu alasan dari pilihan yang saya jalani ini. Hmm.., hanya ingin bertanya saja, untuk kemudian tetap menganggap saya aneh. Atau, untuk membuat saya merasa rendah? Entahlah, tapi jikapun itu benar, maka saksikanlah, Anda telah gagal.  

“Kamu sekarang pengangguran?”

“Kok bisa? Apoteker kan dibutuhkan dimana-mana?”

“Memangnya tidak malu meminta uang terus sama orang tua?”

“Di rumah bikin apa? Tidak bikin apa-apa? Terus gelarnya untuk apa?”

Baiklah.

Pengangguran mungkin adalah satu kata yang tidak pernah bermakna positif. Jika definisi kita tentang hal ini adalah perihal semua orang yang tidak menjadi karyawan di mana pun. Tapi ceritanya akan berbeda jika makna ‘nganggur’ itu kita bawa pada arti tidak melakukan apapun. Nyatanya, saya melakukan sesuatu, saya bahkan melakukan banyak hal. Maka, bolehkah saya lepas dari status pengangguran untuk alasan itu?

Ya benar, apoteker di butuhkan dimana-mana. Saya tidak pernah melamar di instansi manapun, tapi sudah lebih dari sepuluh tawaran bekerja yang saya tolak sejak lulus dulu. Tapi, tidak semua kesempatan harus langsung di ambil, khan? Setiap orang punya prioritas. Saat terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan ini, kadang saya hanya bisa mengatakan, “Saat ini saya lebih dibutuhkan di dalam rumah dibandingkan di luar rumah.”. Dan orang yang cukup cerdas saat mendengar pertanyaan ini akan memilih untuk tidak lagi melanjutkan pertanyaannya. Dan saya sangat menghargai itu. Beberapa yang lainnya malah menjelaskan kepada saya bahwa saya bisa ‘menjual’ gelar yang saya punya itu untuk dicatut oleh orang bermodal besar yang ingin buka apotek. Cukup datang tiap tanggal baru, tinggal di rumah, dan terima gaji yang lumayan, tanpa kerja. Sayang, saya masih cukup punya malu untuk melakukan itu. Sepaham saya, bukan itu yang dosen-dosen saya ajarkan saya selama kuliah. Dan jikapun dari itu saya dapat uang, saya tidak yakin rezeki itu akan berkah. Dan kita tahu, nominal tidak bermakna apapun tanpa berkah di dalamnya. Maaf, saya masih cukup waras untuk tidak menggadaikan gelar.

Meminta uang pada orang tua? Anak mana yang tidak malu saat melakukannya, terlebih lagi saat ia bukan lagi berstatus sebagai mahasiswa? Faktanya, alhamdulillah keadaan saat ini semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa rejeki itu lebih tahu di mana kita berada dibandingkan pengetahuan kita tentang keberadaannya. Allah menutup satu pintu dan membukakan pintu yang lain. Saya meninggalkan satu perkara karena Allah dan Dia memberikan saya ganti yang lebih baik. Memaksakan diri untuk bekerja hanya karena alasan materi? Oh, itu bukan pilihan saya. Jika Anda melakukannya, silakan jalani hidup Anda, dan tidak usah memaksa saya untuk melakukan hal yang sama.

Di rumah bikin apa? Nah, biarkan saya menjawab ini sebagai inti dari tulisan ini. Di rumah, saya melakukan banyak hal. Apalagi sejak asisten rumah tangga kami pulang kampung lalu menikah dan melupakan janjinya untuk kembali ke rumah kami. Sebelum adzan subuh berkumandang, saya mendampingi ibu hingga ia siap shalat subuh. Lepas subuh saya memasak sarapan dan menyiapkan bekal makan siang untuk dibawa bapak. Setelah saya sarapan saya membereskan rumah, mengelap debu, menyapu lantai, dan mengepelnya. Menjelang siang saya menyiapkan makan siang untuk ibu dan saya yang hanya berdua di rumah. Jika lowong, terkadang saya tidur siang atau menyetrika hasil cucian yang biasanya terputar di mesin cuci sembari saya membersihkan di pagi hari. Atau jika ada yang bisa menemani ibu saya, maka saya akan keluar rumah untuk melakukan sesuatu yang insya Allah bermanfaat. Sorenya, menyiapkan makan malam. Lepas makan malam, membereskan sisa makan malam untuk dicuci piring-piringnya oleh adik saya. Jika ibu saya sudah tidur, saya menulis. Banyak, khan?

Seorang teman saya yang bersuamikan seorang layouter di Bogor berbaik hati untuk mengusulkan nama saya sebagai copywriter di penerbitan tempat suaminya bekerja. Saya saban bulan dikirimi buku-buku tebal, buku rujukan Islam untuk dibaca dan di-review. Hasil tulisan itu dibacakan pada rubrik resensi buku Islam di sebuah radio swasta nasional sebagai bentuk promosi. Saya dibayar untuk itu. Saya dibayar untuk mendapatkan buku gratis, membacanya dan belajar dari para ulama dunia, dan untuk menulis kesan menyenangkan selama membaca buku tersebut. Saya dibayar untuk melakukan semua hal yang saya cintai. Saya sudah cukup melakukan banyak hal, khan? Belum cukup? Oh maaf, sekali lagi, ini hidup saya, bukan hidup Anda.  

Sekarang, meski masih sering bingung saat ditanya saya bekerja di mana, saya jadi lebih senang dengan jawaban; penulis serabutan. Ini adalah bahasa saya untuk freelance-writer yang menurut saya terlalu keren untuk diri saya pribadi. Kata serabutan itu harus mengikut di sana sebab rasanya terlalu jumawa jika saya menyebut diri sebagai penulis. Saya hanyalah seseorang yang senang menulis dan mencintai dunia kepenulisan seperti saya mencintai warna biru, sama sekali belum pantas disebut penulis. Saya menulis semua hal; proyek buku saya sendiri, di majalah tempat saya diberi amanah, di tabloid yang menyebut saya kontributornya, membuat teks-teks untuk dibacakan di acara tertentu, atau menerima permintaan menulis dengan tema apapun yang diinginkan oleh orang yang memintanya. Saya menulis semua hal, baik dibayar, ataupun tidak. Lagipula, dibayar karena menulis kadang membuat saya khawatir. Ah, hanya ini kebisaan pas-pasan yang saya miliki sekarang, hanya ini yang bisa saya sumbangkan untuk ummat, jika untuk ini pun saya mengharap balasan materi di dunia, lalu apa yang akan tersisa untuk saya di akhirat? Saya seperti akan mengais-ngais amalan seuprit di hadapan Allah. Betapa memalukannya... T_T

Akhirnya, alih-alih dikenal sebagai apoteker yang senang menulis, mungkin sekarang orang-orang akan lebih mengenal saya sebagai penulis serabutan yang tahu (sedikit) tentang obat. Mungkin akan ada yang kecewa dengan ini, guru-guru atau mungkin dosen-dosen saya mungkin akan lebih bangga jika saya menerapkan ilmu yang mereka ajarkan dulu. Untuk itu, saya minta maaf. Tapi, saya tinggal di rumah, menjaga agar ibu saya meminum obat-obatnya dengan tepat di saat yang tepat dengan dosis yang tepat, memastikan tidak ada interaksi antara obat yang satu dengan obat yang lain, memberi tahunya kapan sebaiknya minum obat dan kapan hanya perlu istirahat, merebuskan beberapa tanaman obat untuk beliau minum secara berkala, i hope i am still a pharmacyst even if i just stay at home. I hope... 

Dan saya menuliskan ini bukan untuk membela diri atau mencari pembenaran atas apa yang saya lakukan. Jika di mata orang lain saya dianggap salah, maka tidak mengapa. Toh, dianggap salah tidak akan mengurangi jatah usia saya. Hanya saja saya berharap kita tidak menjadi manusia yang terlalu terburu-buru untuk menganggap diri kita tahu tentang hidup orang lain. Terlalu cepat merasa paling menderita di dunia ini lalu sibuk berdengki-ria dengan hidup seseorang yang hanya ia lihat di luarnya saja. Seseorang yang kita anggap sangat normal, bisa jadi melalui hal-hal yang berat dalam hidupnya, hanya saja, karena tidak semua harus diceritakan. Tidak semua harus dijelaskan dengan gamblang kepada kita. 

Dan kini, setelah lebih dari setahun berlalu dan ijazah dkk saya masih rapi di dalam lemari, lalu ada yang bertanya pada saya; “Diena, bagaimana kabarmu?”

Saya hanya mencoba kembali membayangkan bocah kecil bernama Diena di masa itu sedang menulis biodata di buku diary-nya. Lalu dengan mantap menuliskan sesuatu di kolom ‘cita-cita’ dengan satu kata; penulis. Kini, saya merasa lebih dekat kepada cita-cita itu.

Maka, jika ada yang bertanya kabar, saya akan menjawab dengan tenang, tanpa keraguan; “Saya baik-baik saja.”

Makassar, 20 September 2014
Menuliskan hal yang awalnya terasa berat ternyata
hanya membutuhkan satu hal; kejujuran pada diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)