Kamis, 18 September 2014

Kak, Apakah Jatuh Cinta Itu Dosa?

Pertanyaan di judul tulisan ini tiba-tiba dilontarkan seorang remaja bersenyum manis kepada saya. Udara yang mulai sejuk jelang ashar itu membawa angin yang berhembus pelan, memainkan ujung jilbabnya. Selanjutnya cerita mengalir dari bibirnya. Perihal perasaan yang tidak bisa ia cegah kepada seseorang yang konon punya banyak fans di sekolahnya. Dan ia mengaku hanya menyukai saja, di dalam hatinya saja, serta tidak pernah mengharap yang lebih dari itu. 

Kak, jangan bilang sama siapa-siapa, ya!,” ujarnya sambil menyelidik ke sekeliling. Saya tersenyum padanya sambil mengangguk. Ah, adik ini... ini bahkan adalah perjumpaan pertama kami. Ia dengan setia menanti saya di beranda masjid itu, lalu mencuri kesempatan saat kami hanya berdua untuk menceritakan hal yang tadi. Saya, melihat binar semangat di matanya. Terlepas dari gebu-gebu asmara masa muda yang tengah ia rasa, saya justru menangkap ada semangat berkebaikan di balik pertanyaan itu. Ada yang ingin ia pastikan, perihal dosa dan pahala yang tentu merujuk pada kehidupan setelah kematian, kepada akhirat. 

Inilah serunya bergelut di pos dakwah yang satu ini. Saat ganti-berganti di hadapan kita wajah-wajah baru yang punya satu kesamaan; usia muda! Usia yang baru lepas dari warna-warni kanak-kanak. Penuh gejolak namun sarat semangat. Kadang labil namun justru membuatnya menjadi lebih berkemungkinan untuk diarahkan kepada kebenaran. Membuat mereka mampu bermetamorfosa menjadi sosok yang lebih matang di usianya yang belia sungguh sesuatu yang patut untuk disyukuri. Inilah serunya bergelut di pos dakwah yang satu ini. Membuat saya terkadang lupa pada umur yang terus bertambah. Membuat saya selalu merasa paling muda saat berada di tengah-tengah mereka yang dewasa. 

Lalu kembali kepada perihal cinta. Sebuah kata yang sudah terlalu banyak dibahas. Ia terselip diantara berbagai aktivitas. Ia sering suka-suka muncul di mana saja dan kapan saja. Repotnya, terkadang ia susah untuk dicegah; terasa berada di luar kendali pemiliknya.

Suatu waktu orang yang sedang jatuh cinta bisa demikian terbuai. Menatap langit senja seolah berwarna merah muda. Menyunggingkan senyuman tanpa alasan yang jelas. Bahkan tidak bisa tidur sepanjang malam karena sibuk dirundung rindu. Jikapun bisa terlelap, tetap saja ada sosok yang menyelinap hingga ke bawah sadarnya. Oh, betapa!

Lalu perkara cinta-cintaan ini tidak lepas dari topik yang entah mengapa, rasanya selalu saja menyelip di SEMUA lini perbincangan, setidaknyambung apapun, pasti ujung-ujungnya akan terarahkan untuk berbicara persoalan; pernikahan!

Nah, entahkah memang ada fase dalam hidup manusia di mana seolah hanya itu saja yang jadi masalah pelik yang harus segera terpecahkan? Para jomblo sibuk saling sorong untuk duluan menuntaskan para lajang, sementara mereka yang berkeluarga tidak pula lupa untuk menjadi kompor bagi para jomblo itu untuk membahas kehidupan rumah tangga. Pokoknya di mana-mana! Di semua grup chat di berbagai sosial media, saat berjumpa dengan kawan yang begitu sering bersama atau yang baru lagi ketemu, di tengah forum pertemuan keluarga, saat ada sanak famili yang bertamu di rumah, bahkan pada obrolan ringan dengan ibu berdua saja! Huh... Dan, semua itu seolah tidak habis dibicarakan dan tidak bosan diperbincangkan.

Beberapa orang menjadi begitu bersemangat jika membahas hal ini. Entah karena memang ingin segera menuju sana, atau karena merasa seru dan terhibur saja. Ada juga yang secara ekstrem memilih untuk bergabung jika topik mengarah ke pada tujuan itu. Entah karena memang benar-benar tidak berminat atau justru karena takut dicitrakan ngebet nikah. Ada yang ini dan itu, entah dan entah...

Saya sendiri cenderung memilih untuk menikmatinya saja. Suatu kali saya dibully di sebuah grup saat semua member seolah memepet saya dengan pertanyaan seputar itu. Makin dipepet begitu, daripada kentara sekali menderita, lebih baik saya ikuti saja arusnya, makin melebaykan perbincangan itu hingga selebay-lebaynya. Hingga akhirnya mereka yang bertujuan membuat saya bergidik, justru berbalik jadi bergidik sendiri karena kelebayan saya. Nah, itulah yang saya maksud dengan menikmati. Menikmati adalah, saat moncong senjata mengarah padamu, bisa kamu arahkan berbalik ke orang yang tadi menodongmu. Haha!

Tapi, hal serupa belum mampu saya akomodir jika yang membully saya adalah bapak atau ibu. Kalau ini sudah tentang mereka, saya mau tak mau harus mati kutu. Hal paling masuk akal yang bisa saya lakukan hanyalah memutar otak agar arah pembicaraan berhembus ke arah yang lain. Kemanapun! Yang penting bukan ke sana!

Dan hawa-hawa menegangkan itu seringnya muncul saat ibu atau bapak baru menerima kabar seputar anak teman-temannya yang baru dilamar, atau yang akan menikah, atau yang sudah melahirkan cucu untuk orang tua mereka. Itulah masa yang berat, kawan!

Meski pada akhirnya, harus pula ada yang diakui dengan jujur, minimal pada diri sendiri. Meminjam perkataan seorang kakak, bahwa mungkin memang kita harus berhenti untuk ‘sombong’ bahwa kita tidak membutuhkan ‘pundak-yang lain’, padahal butuh. Atau mengakui bahwa selain usia kita yang terus bertambah, ada juga bapak dan ibu yang terus menua. Bergelut dengan waktu yang menambah garis halus di wajahnya dan uban-uban di kepalanya. Ada dua belah tangan yang mereka khawatirkan kelak tidak lagi cukup kuat untuk menimang generasi ketiganya jika harus menunggu lebih lama.  

Suatu waktu, ibu saya berbicara panjang lebar dengan menyebutkan nama, ciri, dan proyeksi masa depan si anu, si ini, dan si itu. Macam-macam dan rupa-rupa. Namun, saya hanya tanggapi ringan, dengan diam, dengan senyuman, dan dengan gelengan yang kesemuanya bermakna; tidak. Ada perkara substansial yang saya kira bukan hanya merujuk pada standar 'biasa' yang justru menjadi fokus yang harus dipertimbangkan. Dan, ibu telah dengan resmi menyifati saya dengan kata 'keras' untuk hal-hal semisal itu. Kemarin-kemarin beliau merasa cukup dengan mendoakan dan menanti perkembangan dari saya sendiri, tapi sampai kapan? 

Hingga akhirnya ibu saya terdiam sejenak, menatap tajam dan lurus ke arah saya, lalu terbitlah sebaris kalimat dari lisannya;

“Memangnya kamu menunggu siapa?”, ujarnya sambil mengernyitkan kening.

Saya beku. Kata-kata yang biasanya berbaris rapi untuk saya atur dan susun seolah terlihat menjadi begitu nakal, lari ke sana kemari dan tak sanggup saya tangkap. Saya akhirnya hanya mampu menatap balik ibu, menghembuskan napas berat, nyengir sedikit, lalu sesegera mungkin menghilang dari pandangannya. 

Makassar, 18 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)