Sabtu, 27 September 2014

[Catatan Setelah Membaca] Bermain Hujan bersama Hujan Matahari

Sebuah pesan mendarat di hp saya via BBM. Seorang senior jaman SMA dulu merekomendasikan nama seorang penulis yang (menurut penjelasannya) terkenal di seantero dunia maya.

“Dia baru saja menerbitkan buku, Kak. Judulnya Hujan Matahari...” ujar junior itu.

Dia pun menjelaskan tentang penulis lelaki itu kepada saya. Namun, yang membuat saya kemudian menjadi semakin tertarik untuk ikut membaca tulisannya adalah saat adik itu kemudian mengatakan...

“Gaya menulisnya sepertimu, Kak.”

Dan, saya resmi penasaran.

Akhirnya, saya pun berselancar di dunia maya, berbekal satu nama. Dari sana, saya bukan hanya terkoneksi pada akun yang berisi sejumlah tulisannya, tapi juga beberapa akun lain yang secara terang-terangan menceritakan tentang kekagumannya pada penulis yang satu ini. Atau, pada beberapa blog yang memuat ulang tulisannya. Nama penulis itu; Kurniawan Gunadi.

Berdasarkan tulisannya yang saya baca di akun tumblr, saya mencoba membuat pola pada kebiasaan menulis lulusan ITB angkatan 2009 ini. Pendek-pendek saja. Kita bisa membaca beberapa judul dalam satu kali duduk. Namun saya rasa, justru di sana kekuatan dari tulisan itu. Bagi saya, terkadang ada plus minus tersendiri saat membuat tulisan yang pendek. Saya pribadi, cenderung agak kesulitan melakukan hal tersebut. Selalu saja terasa lebih mudah jika punya ruang yang besar untuk menulis. Kekhawatiran bahwa ada hal-hal yang tidak terbahas seringkali mampir. Namun hal itu tidak terjadi pada tulisan Kurniawan Gunadi.

Mungkin, karena sejak awal tema yang ia angkat memang hal-hal yang sederhana, bahkan kadang terasa personal. Ia benar-benar menerapkan teori yang saya dapatkan di salah satu kelas menulis Aan Masyur, saya pribadi menamainya dengan; menjaga harmoni tulisan.

Ia membuat pembuka yang baik, yang membuat pembaca penasaran tentang apa yang selanjutnya akan ia bahas. Kemudian disambung dengan isi tulisan yang juga menarik, dengan bahasa sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Dan, bagian terakhir, bagian penutup, menurut saya merupakan kekuatan besar dari setiap tulisannya. Ada saja ‘aha-moment’, atau hembusan napas berat, atau perasaan tertohok yang akhirnya harus saya alami saat tiba di akhir tulisan. Seolah rasanya ingin mengatakan, ‘Ah, orang ini harusnya melanjutkan tulisannya lagi!’. Rasanya, seperti masih ada yang perlu dijelaskan, meski kenyataannya, sebenarnya semuanya telah cukup, dan Kurniawan Gunadi selalu sukses menutup setiap tulisannya dengan ciamik. Apa efeknya? Pembaca akan terus menerus mencari tulisannya yang lain!

Saat pre-order musim kedua dari Hujan Matahari dibuka, saya segera ikut memesan. Ia menerbitkan bukunya secara independent, namun saya rasa ia telah melibatkan tim yang solid. Sebab, distribusinya bahkan hingga ke negeri jiran, Malaysia.

Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya pesanan saya datang. Saya membaca buku ini pertama kali di tengah acara ramah tamah wisuda adik saya. Namun, terasa masih bisa fokus dengan setiap isinya.






Hujan Matahari. Judul yang unik. Waktu kecil, saya sering mendengar dua kata ini disebut bersamaan saat merujuk kepada keadaan di mana hujan turun saat matahari bersinar terang. Orang-orang menyebutnya; hujan orang mati. Jika fenomena alam ini terjadi, saat itu kami percaya bahwa di salah satu belahan bumi, ada seseorang yang meninggal dunia. Hingga kini, saya tidak pernah tau kebenaran dari hal tersebut.


Namun dalam buku perdananya ini, saya rasa makna hujan dan matahari adalah sebuah simbol keseimbangan. Bahwa dalam hidup, dua hal yang bertolak belakang memang akan selalu datang silih berganti; positif dan negatif. Namun, keduanya tetap akan bermakna berbeda, tergantung dari siapa yang memberikannya arti dan menyikapinya. Tulisan-tulisan dalam buku ini dimaksudkan sebagai bahan renungan. Renungan sederhana namun dibungkus dengan kemampuan menulis yang begitu baik. Seperti mengambil sebuah bawang merah, kita terkadang hanya melihat permukaannya saja. Namun, tulisan dalam buku ini seolah mencoba membuka lapisan-lapisannya hingga tuntas. Dalam.

Hujan Matahari terdiri atas tiga bagian besar yang membagi tulisan-tulisan pendek yang ada di dalamnya. Gerimis, Hujan, dan Reda. Terus terang, saya tidak bisa menemukan kesamaan pada setiap kelompok tulisan ini. Tidak bisa pula menjalin sebuah diferensiasi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Mungkin karena ketidakmampuan saya menangkap maksud si penulis.

Namun, saya merasakan tiga pengalaman yang berbeda saat membaca tulisan dalam buku ini. Pengalaman itu tidak terbagi berdasarkan bagian secara satu per satu. Namun, tulisan di awal-awal saya rasakan bersifat menuturkan cerita. Dengan apik, terkadang sosok penulisnya muncul sebagai seorang lelaki, atau seorang perempuan, bahkan sebagai seorang bocah. Cerita-cerita itu seperti dibentangkan di hadapan kita untuk kita tonton saat membaca buku ini. Pada bagian tengah, mulai terasa ‘suara’ penulis yang seolah berbicara langsung kepada pembacanya. Seolah sedang mengajak pembacanya saling berhadap-hadapan, lalu membincangkan tentang apa yang ada di isi kepalanya.  Hal yang sama saya rasakan pula saat membaca tulisan Salim A. Fillah.

Nah, di bagian akhir, saya merasa mulai seperti sedang mencuri dengar. Kurniawan Gunadi terasa seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri, sambil mempersilakan pembacanya untuk menguping. Beberapa tulisan nampak dibuat secara sengaja untuk menjadi auto-spirit bagi penulisnya. Semakin kebelakang, warna dari tulisan-tulisannya mulai menjadi semburat merah muda. Penulisnya mulai sering membicarakan ‘kau’ yang entah siapa, dengan berbagai perasaan yang ia pendam untuk ‘kau’, juga bagaimana ia menyimpan dengan rapi isi hatinya, untuk nanti ia ungkapkan saat tiba waktunya. Ada kesantunan dalam setiap tulisannya. Ada sisi religius yang kental dan pengakuannya dalam pencarian jalan kebenaran. Ada kontemplasi yang mendalam dan membawa dirinya pada kenyamanan hidup dengan jiwa yang damai.

Beberapa bagian saya tandai sebagai part favorit saya. Pada tulisan berjudul ‘Harapan’ misalnya, penulis menganalogikan manusia bagai hujan atau matahari. Yang mungkin tidak diinginkan oleh sebagian orang, namun ia akan tetap datang pada mereka yang menginginkannya. Layaknya hujan. Layaknya matahari.

Konsep tentang ‘memahami’ orang lain juga berhasil menyempurnakan pemaknaan saya tentang hal ini. Selama ini, saya selalu beranggapan, bahwa sedekat apapun kita dengan seseorang, maka mustahil kita bisa memahaminya seratus persen. Adalah dusta saat seseorang menganggap dirinya bisa memahami hidup orang lain begitu saja padahal ia tidak pernah menjadi orang tersebut secara utuh. Titik. Yang saya pahami hanya sampai di sana. Lalu, Kurniawan Gunadi melengkapkannya;

“Tidak ada orang yang benar-benar bisa memahami orang lain. Yang ada adalah seberapa lapang hatinya untuk menerima kehadiran orang lengkap dengan karakternya itu dalam hidupnya.” (Memahami, hal. 133)

Penulis ini juga menggambarkan pertemuan –yang ia sebut ‘jodoh’, sebagai sesuatu yang bisa terjadi jika dua orang berada pada satu impian yang sama, satu tujuan yang sama. Hanya orang-orang yang memiliki tujuan serupa yang akan dipertemukan dalam sebuah perjalanan.

Di beberapa tulisan juga Kurniawan Gunadi banyak mengangkat tema tentang dunia lelaki dan dunia perempuan. Rasa-rasanya, pengetahuan lelaki ini tentang perempuan cukup komprehensif. Begitu pula dengan bagaimana ia memaknai peranan antara lelaki dan perempuan dalam kehidupan. Sebuah kutipan menarik yang menggambarkan bagaimana ia hormat pada kaum Hawa tergambar dalam bagian ini;

“Laki-laki akan tampak kuat jika ada perempuan di dekatnya. Pelindung pun tidak selalu berarti lebih kuat dari yang dilindungi.” (Hidup Laki-Laki, hal. 149)

Dan akhirnya, buku ini pun ditutup dengan tulisan berjudul ‘Hujan Matahari’ yang saat menuntaskannya, membuat saya melengos saat ternyata halaman isinya sudah habis. Faktanya, buku ini membuat saya berharap perjalanan saya tadi siang bisa lebih panjang agar saya bisa tiba di rumah setelah menyelesaikan membacanya. Kadang saya tersenyum. Kadang mengangguk-angguk. Yang pasti, saya terbawa. Dan, tiba-tiba, saya merindukan hujan. 



Saya baru saja menyelesaikan buku Lapis-Lapis Keberkahan dan menemukan di sana bahwa salah satu momentum turunnya berkah adalah saat hujan turun. Dikisahkan tentang para sahabat yang kerap bermain hujan saat rintik mulai turun dari langit. Mereka bahkan mengeluarkan barang-barangnya agar terkena air hujan. Sungguh menarik sekali. Dan, saya berharap pula Hujan Matahari dapat membawa berkah, bagi penulis dan pembacanya.

Oh iya, akhirnya, satu hal yang ingin saya katakan pada junior yang merekomendasikan buku ini adalah, “Dik, kamu salah. Kurniawan Gunadi menulis dengan cara yang jauh lebih baik daripada saya.”

Makassar, 27 September 2014.
Ya, saya tuntas hujan-hujanan.

1 komentar:

  1. Buku ini tidak dijual di toko buku, Ganesha. Silakan ikut preordernya di blog penulisnya; kurniawangunadi.tumblr.com

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)