Jumat, 16 Mei 2014

Tiga Fase Pranikah (Sebuah Teori-Teorian)


Menuliskan tentang ‘pernikahan’ tentu bukan kapasitas saya. Lah wong saya belum menikah! Menuliskan ini tentu lebih seperti seorang bocah taman kanak-kanak yang sok-sok menggambar kombinasi beberapa persegi panjang dan sebuah segi tiga dan menyebutnya sebagai ‘gambar rumah’, mahasiswa arsitektur tentu akan geleng-geleng kepala dong! Atau –meminjam analogi seorang dosen saya, seperti seorang astronom yang mempelajari bintang-bintang lewat teropong jarak jauh atau studi literatur, pengalamannya tentu beda dengan astronot yang konon sudah melancong ke luar angkasa secara langsung. Jadi, jika anda merasakan aura-aura sok tau di dalamnya, jangan bersedih dan jangan kecewa. Sebab mungkin memang tulisan ini dibangun dari semangat sok tau itu. Hehehe.. Jika tidak ada nilai yang bisa anda ambil dari tulisan ini, saya mohon maaf telah membuang sekian menit dari waktu anda untuk membacanya. Anggap saja saya sedang semacam belajar untuk menulis-nulis dan menceracau saja, atau semacam cara untuk merenggangkan otot-otot jari. Ok?

Setidaknya ada tiga fase yang dialami seorang akhwat sebelum ia menikah...,” demikianlah yang melayang-layang di otak saya dengan begitu sok tau..Hehehe.. Teori ini hanya bikin-bikinan saya sendiri. Jadi, jika kamu tidak setuju, jangan terlalu heboh. Dan jika kamu setuju, maka jangan pula terlalu serius. Ya, teori ini akhirnya terbentuk setelah serangkaian pengamatan, obrol-obrolan yang ringan hingga yang intens *halah*, dan juga terhimpun dari curhatan-curhatan yang mendarat ke telinga saya. Ya, saya memang lebih senang untuk mendengar dan mengamati, saya khan orangnya pendiam dan pemalu...Hehehe *ditabok*. 

Istilah ‘akhwat’ dalam tulisan ini merujuk kepada sejumlah muslimah yang belum menikah (kalo sudah nikah saya sebut ummahat.. hehehe..), istiqamah dengan nilai keislaman sehingga menolak segala komitmen apapun dengan lawan jenis selain pernikahan, rajin menuntut ilmu agama, dan/atau aktivis dakwah di organisasi manapun. Sebab saya mengamatinya hanya di kalangan akhwat-akhwat di sekitar saya, jadi mungkin saja ada perbedaan, yah. Makanya sekali lagi, jangan terlampau serius J
Baiklah, mari kita mencoba menguraikan ketiga fase tersebut. Fase pertama saya beri nama Fase Dramatis. Pada tahap ini, keingingan menikah mulai muncul, tumbuh, berkembang, bahkan hingga meluap-luap. Biasanya akhwat pada tahap ini sedang senang-senangnya membaca buku-buku persiapan menuju pernikahan, melahap kisah-kisah cinta yang romantis dari pasangan-pasangan yang menurutnya ideal, atau baru saja menelan bulat-bulat cerita-cerita indah pengantin baru yang belum lama saling berjumpa sebagai jodoh. Pokoknya, bagi mereka yang berada pada tahap ini, pernikahan itu terlihat sebagai sebuah mimpi yang indah. Layaknya cerita-cerita dongeng yang biasanya diakhiri dengan happily-ever-after. Seperti kita-kita yang di masa kecil tidak pernah bertanya lagi apa yang terjadi pada Cinderella setelah ia menikah dengan si Prince Charming. Pokoknya bahagiaaa ajah! 

Pernikahan dianggap sebagai tujuan. Meski mungkin jika ia melihat pada dirinya, niat menikah itu saja yang besarnya luar biasa, sementara bisa jadi persiapan-persiapan untuk ke arah sana, baik dari segi jasadiyah, fikriyah, dan ruhiyah, belum juga memulai persiapannya. Ya, yang berkembang hanya pada tataran keinginan saja. Sementara, seorang akhwat tentu menolak segala jenis hubungan kecuali yang sudah berstempel halal. Namun apa mau di kata, hasrat sudah bercokol di dalam jiwa, sementara keadaan belum memungkinkan ke arah sana. Hatinya berdegup kencang ketika melihat undangan pernikahan yang selalu nampak menawan dari kakak-kakak yang sudah menuntaskan masa lajang. Senangnya membicarakan tentang mimpi-mimpi masa depan dengan senyuman yang selalu terkembang, disertai dengan canda-candaan dengan pipi yang bersemu merah. Namun terkadang, akhirnya semua hal itu berujung pada kegalauan, baik yang disadari ataupun tidak, baik yang diakui ataupun disangkal. 

Jika boleh menganalogikan dengan warna, maka fase dramatis ini berwarna merah muda. Mungkin, dengan simbol love-love dimana-mana dan bunga-bunga bermekaran di beberapa sudutnya. Fase ini masih cukup ‘aman’ jika akhwat yang sedang berada di dalamnya mampu sedikit menahan diri. Lebih baik menghindari curhatan-curhatan ‘mengundang’ di media sosial, apalagi jika akunnya masih terkonek dengan akun lawan jenis. Sangat rentan terjadi ketergelinciran pada hal-hal berbau hubungan tanpa status, atau yang paling parah; menjadi korban PHP (pemberi harapan palsu, red)

Melewati fase dramatis, selanjutnya beralihlah ke fase kedua. Izinkan saya memberinya nama; Fase Realistis. Pengembangan fase dramatis ke realistis ini ditandai dengan semakin munculnya kedewasaan berpikir. Akhwat yang tadinya melihat bunga-bunga di mana-mana setiap mendengar kata menikah itu, akhirnya mulai mencoba untuk menyelami lebih jauh tentang makna pernikahan. Pada saat itulah, ia akan mendapati, bahwa menikah tidak selamanya indah. Walimatul ‘ursy bisa saja menjadikannya ratu sehari yang full riasan dan full senyuman. Hari pernikahan dengan segala keribetan persiapannya mungkin terselenggara dengan penuh perjuangan, namun yang paling penting sebenarnya adalah hari-hari setelah pernikahan itu. Dan, hari-hari yang panjang itu nyatanya; tidak selamanya indah. 

Bukankah kesempitan dan kelapangan itu dipergilirkan? Maka bagaimana bisa kita membayangkan kehidupan yang hanya diisi dengan kegembiraan melulu? Pada fase realistis, si akhwat mulai menyadari hal ini. Maka, pelan-pelan, euforia fase dramatis mulai menyurut, letupannya sedikit demi sedikit meredam. Ilmunya telah semakin banyak , pikirannya telah semakin terbuka. Hal ini menyebabkan si akhwat bukan lagi hanya sibuk membuat list tipe-tipe calon pangeran idealnya, tapi justru lebih melihat kepada dirinya sendiri; apa yang sudah ia persiapkan? 

Ia mulai melihat undangan walimah itu bukan sebagai tujuan, tapi justru sebagai sebuah pintu masuk untuk menuju sebuah tempat, atau mungkin sebuah lorong panjang yang diisi oleh berbagai macam hal yang entah apa; tidak pernah bisa tertebak sebelum benar-benar dihadapi, tidak pernah bisa benar-benar ditakar sebelum telah dilalui. 

Pada fase realistis, alih-alih sibuk bermimpi dan berandai-andai tentang warna cat apa yang bagus untuk rumah masa depannya, si akhwat justru semakin melihat kehidupan, termasuk kehidupan setelah menikah, sebagai satu hal yang kompleks. Bagaimanapun, menikah adalah ibadah. Dan tidaklah ia disebut ibadah melainkan diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah. Dan, segala hal yang berkaitan dengan Allah, tentu tidak ada yang sifatnya sepele, tidak ada yang boleh dianggap bahan mainan apalagi bercanda. Bukankah bercanda dengan nama Allah bahkan bisa menjadi penyebab batalnya syahadat? Nah. 

Fase realistis adalah saat dimana si akhwat mulai berpikir bahwa menikah tidak sesimpel ‘aku cinta kamu’ dan ‘kamu cinta aku’. Tidak semudah menyebut ‘aku mengagumimu’ dan ‘kamu mengangumiku’. Bukan hanya sekadar tentang kita sama-sama suka warna biru dan senang menatap langit di kala senja. Tidak. Tidak sesederhana itu. Sebab faktanya, menikah adalah ibadah terpanjang, bahkan mungkin sepanjang sisa usia. 

Pada fase ini pula, berbagai macam pergolakan hidup selain tentang pernikahan juga mulai bermunculan. Maka, si akhwat mulai melihat kehidupan ini dengan sudut pandang yang lebih luas. Bahwa hidup seorang jomblo, eh singel maksud saya *ehem*, tidak melulu tentang memikirkan bagaimana ia mengakhiri masa lajang. Banyak hal lain yang harus ia lakukan, banyak persoalan lainnya yang harus ia selesaikan. Maka sembari menuntaskan segala hal yang harus ia tuntaskan, ia pun tak lupa mengumpulkan ilmu tentang itu, mempersiapkan diri untuk menghadapinya, berdoa dengan tulus dan lembut kepada Allah. Tak ada lagi doa-doa yang maksa; pokoknya saya pengennya berjodoh  dengan si anu atau si itu! 

Ia sadar, bahwa jodoh adalah bagian dari takdirNya, yang bisa jadi berada di luar kendali dirinya. Bukan lagi tentang ‘siapa’, tapi perihal ‘bagaimana’. Maka ia berikhtiar, dengan menunggu dan menjaga diri. Dengan memastikan pikirannya tetap pada  track-nya; realistis. 

Fase berikutnya saya sebut sebagai Fase Menenangkan Diri. Nah..nah..nah.. Yang ini cukup seru juga. Fase di mana si akhwat sudah melewati masa realistis yang begitu tenang, bahkan cenderung flat. Si akhwat memasuki masa dimana ia merasa sudah cukup siap untuk menikah. Sudah merasa timing sudah sangat tepat, dan preparasi ke arah sana pun sudah fix. Malah, undangan dari kawan-kawan lainnya sudah mulai berdatangan. Satu per satu  teman menuntaskan masa lajang mereka. Dari teman-temannya itu, mungkin ada yang ia nilai sebenarnya belum cukup siap seperti dirinya. Tapi nyatanya, ia yang siap ternyata belum dijemput juga. Namun, kedewasaan tetap ada pada fase ini. Maka dari itu, menenangkan diri dilakukan secara otomatis. Ibarat reaksi autoimun di dalam tubuh yang langsung menyasar pada organ target secara spontan tanpa harus diperintah. 

Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa takdir setiap orang sudah ditentukan lima puluh ribu tahun setelah bumi diciptakan. Ia yakin bahwa tidak akan mati seorang anak adam sebelum menikmati semua rezeki yang sudah ditakdirkan untuknya, termasuk bertemu dengan semua orang yang harus ia temui. Ia yakin, segala fase-fase pranikah ini akan ia lewati dengan baik-baik saja, tanpa kegalauan, tanpa keresahan, apalagi air mata. Curhat-curhatnya cukup mendarat saat ia bermunajat kepada Allah saja. Segala keresahan tak beralasan, bisik-bisik tidak bertanggungjawab yang tidak nyaman, ataupun sindiran-sindiran yang tidak rasional, yang kemudian seolah mencapai titik kulminasinya, ia anggap bisa jadi merupakan pertanda semakin dekatnya ia dari solusi dan pertolongan Allah. 

Seperti Nabi Musa ‘alahissalam yang justru baru memeroleh mukjizat membelah lautan saat laut merah sudah menghampar di hadapannya dan Fir’aun sudah ready di belakangnya. Sudah mepet banget! Atau seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang sudah siap menyembelih sang buah hati yang juga sudah pasrah, namun kemudian dipertukarkan dengan domba. Atau mungkin pula seperti Muhammad Shallallau ‘alaihi wasallam yang sudah berhadap-hadapan di medan Badar dengan tentara kafir yang berkali-kali lipat jumlahnya, lalu Allah menurunkan bala bantuan para malaikat. Maka, ini masalah keyakinan. 

Keyakinan yang melenyapkan keraguan. Baik sangka kepada Allah yang menghilangkan semua kekhawatiran, gundah gulana, perasaan sunyi, sepi, dan kesendirian. Di dalam hatinya telah menggema kata-kata penuh optimisme menatap hari depan; “Biarlah truk-truk pada gandengan, sebab aku tidak sendirian; ada Allah.”

Nah, demikianlah tiga fase dalam teori ini. Ketiga fase ini tidak harus terkait dengan usia, yah. Sebab kata orang bule di sono, “age is just about number”. Bisa saja ada yang usianya masih belia namun sudah sampai pada tahap realistis, begitu pula sebaliknya. Rentang waktu tiap fase juga belum tentu sama. Mungkin ada yang masa dramatisnya panjang sekali, ada pula yang hanya sekejap, demikian pula dengan dua fase lainnya. Susunannya juga bisa saja berbeda. Mungkin realistis dulu, tau-tau malah jadi dramatis, eh realistis lagi, habis itu baru menenangkan diri. Jadi, syarat dan ketentuan berlaku, dan efeknya bisa sangat bervariasi pada setiap orang *halah*. 

Pada akhirnya, bicara tentang begini-beginian memang haruslah merujuk kepada sumber-sumber yang bisa dipercaya dan berpengalaman (cop, saya ndak masuk hitungan!). Hati ini juga harus bisa kuat, jangan maunya diikuti saja terus... Sebab terkadang kita sulit membedakan antara suara dari nurani dan yang datang dari hawa nafsu. Maka konon, ilmu akan sangat berperan. Maka perbanyaklah menuntut ilmu, mengisi hari-hari dengan yang bermanfaat, perkuat hubungan kepada Allah dengan ibadah, dan bergaullah hanya dengan orang yang positif-positif saja. 

Tentu ada perbedaan yang sangat mencolok antara Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan Fir’aun, dengan Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu. Yang pertama adalah lelaki paling sempurna, yang kedua adalah manusia yang jadi contoh buruk sepanjang masa, yang ketiga adalah shahabat yang baru masuk Islam setelah ia menikahi seorang muslimah. Sosok ketiganya sangat berbeda, namun mari kita meninjau para pendamping mereka. Adalah Khadijah binti Khuwailid, Asiyah isteri Fir’aun, dan Ummu Sulaim. Dan, saya menemukan persamaan pada ketiga wanita tersebut. Meski ketiganya mendapingi tiga orang lelaki yang sangat berbeda, tapi mereka sama-sama memiliki satu hal; kesiapan

Kesiapan ibunda Khadijah untuk membersamai pasangan menghadapi beratnya perjuangan kebenaran, kesiapan Ratu Asiyah untuk tetap teguh pada keyakinan meski yang menentang adalah lelaki yang paling dekat, dan kesiapan Ummu Sulaim untuk melihat potensi kebaikan yang mengintip dari seseorang yang baru saja menerima kuncup-kuncup hidayah yang baru akan mekar. 

Saya teringat perkataan seorang saudari saya di masa ia sedang menjalani proses menuju pernikahannya, “Dien, kata orang,” ucapnya sambil menatap mata saya,  “Kita tidak akan pernah benar-benar merasa siap...,” lanjutnya. Saya mengingat kata-kata itu, menyimpannya dalam saku dan dalam hati untuk selalu saya bawa-bawa. Saya tahu saudari saya itu bukan sedang menyuruh saya terjun bebas tanpa persiapan apa-apa sebab kita katanya tidak akan pernah siap. Justru, ia sedang mengajarkan bahwa; yang penting sudah usaha, yang penting sudah maksimal, semoga Allah membantu menggenapkan. 

Baiklah, nampaknya saya harus segera mengakhiri tulisan ini sebelum aura sok tau saya semakin menguar kemana-mana. Hehe...

Terakhir, Kata Tere Liye, setidaknya ada 3 tingkatan tentang ‘nilai’ sebuah tulisan; pertama menghibur, berikutnya bermanfaat, dan yang tertinggi; menginspirasi. Dan untuk tulisan ini, saya tidak muluk-muluk dan sudah cukup bersyukur jika kamu  –Ya!  Kamu yang masih setia hingga bagian akhir tulisan ini, terhibur setelah selesai membacanya. Mariki’ di’... J



Makassar, 16 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)