Senin, 07 Juli 2014

Ketika Akhirnya Harus Memilih

(Sebuah Curhat Bernuansa Sok Politik)



Akhirnya, saya menulis di sini lagi. Tahukah, kawan? Saya menulis ini rasanya seperti sambil membersihkan sarang laba-laba di setiap sudut blog dengan setiap buah huruf yang terketik. Wah, tuan rumah macam apa saya ini? Membiarkan rumah sendiri berdebu dan penuh dengan sarang laba-laba dimana-mana! *brb ambil kemoceng*

Baiklah.

Sekarang, saya ingin membuat sebuah catatan yang mungkin justru akan memperlihatkan betapa awamya saya pada topik yang saya angkat ini. Tidak mengapa, ya... Anggap saja saya sedang melakukan usaha untuk mencegah kepala saya pecah, atau untuk mencoba membekukan salah satu momentum ‘seru’ bangsa Indonesia yang tahun ini terjadi di bulan kelahiran saya. (Ok, tiga kata terakhir memang tidak penting *nyengir*).

Dan, tulisan ini tentu tidak seistimewa surat terbuka untuk Pak Jokowi yang ditulis oleh Mbak Tasniem Rais. Ya, sebab saya bukan anaknya Pak Amien Rais *yaiyalah*. Maka tolong, tidak usah menuntut data dari beberapa opini yang akan saya kemukakan, ok? *pembenaran mode ON*. Pun, tulisan ini jelas-jelas tidak akan sekeren dan sesyahdu karya Ust Salim A.Fillah untuk Pak Prabowo. Jadi, jangan berharap akan terhanyut dengan kata-katanya, ataupun mendapatkan pencerahan baru di dalamnya. Ingatlah, ekspektasi yang berlebihan itu seringnya menyakitkan, kawan... *nyengirlagi* Yah, tulisan ini bakal jadi ringan-ringan saja, namanya juga curhat...

Sip, sampai pada paragraf ini, Anda masih punya kesempatan untuk memutuskan apakah ingin melanjutkan membaca tulisan ini atau tidak. Masih berminat lanjut? Oh, baiklah kalau Anda memaksa... *GR*

Seperti yang sudah saya paparkan di atas, saya merasa penting untuk merekam rangkaian kejadian yang akhir-akhir ini menjadi topik yang hangat di mana-mana, dan dibicarakan oleh begitu banyak manusia, baik di ruang-ruang nyata, maupun di dunia maya. Apalagi kalau bukan; pilpres!

Entah hanya saya saja yang merasa ataukah sebenarnya banyak orang yang sependapat dengan ini, saya merasa bahwa pilpres kali ini begitu berbeda dengan yang kemarin-kemarin. Apa pasal? Apakah karena calon yang muncul hanya ada dua? Mungkin saja. Kedua kubu nampak seperti sedang saling berhadap-hadapan untuk menunjukkan keunggulan dirinya, bahkan meski harus sambil menunjukkan kelemahan lawannya, atau meski terlihat membuat-buat kehebatan dirinya demi meraih simpati publik. Head to head!

Bahkan, bukan cuma dua kubu itu saja yang terbagi dua, yang menarik untuk disimak pula adalah, bagaimana media pun ikut terbelah dan menampilkan dua hal yang menjadi sangat kentara kontrasnya. Dua televisi berita paling bergengsi di negeri ini, begitu jelas saling mengunggulkan jagoan mereka masing-masing. Tentu tidak perlu untuk berpikir panjang dalam menganalisis hal ini, sebab kita cukup melihat apa dan siapa yang berada di balik kedua media tersebut. Saya sering menjadi tersenyum kecut sendiri saat menyaksikan perbedaan mencolok itu. Sambil sesekali memikirkan bagaimana perasaan para kru ataupun newscaster di media tersebut sekiranya ternyata pilihan hati mereka tidak seiring sejalan dengan ‘settingan’ tempat mereka mencari makan itu. Pahit! Atau, bagaimana kelanjutkan ‘warna siaran’ mereka kelak usai presiden negera ini telah terpilih? Entahlah...

Bukan cuma sampai di situ, beberapa tokoh nasional, publik figur, bahkan hingga kalangan artis, seniman, dan penulis pun turut terpecah menjadi dua kubu. Beberapa dari mereka bahkan nampak begitu getol dan terang-terangan menunjukkan keberpihakannya pada salah satu kubu, atau bahkan menunjukkan ketidaksukaannya pada kubu seberang. Hal ini, sangat mungkin membuat kita menjadi ‘merindukan sosok mereka yang dulu’, sebelum musim copras-capres ini tiba. Saat semuanya rasanya aman, tentram, dan damai, serta berjalanan sesuai dengan jalurnya masing-masing, bicara sesuai dengan ranah mereka sendiri-sendiri. Rindu, tak?

Saya angkat topi kepada mereka yang menunjukkan keberpihakannya itu. Maksud saya, melakukan hal seperti itu tentu bukan tanpa resiko, bukan? Besar pula tanggung jawabnya. Yah, bagi pemilih awam dan buta politik macam saya, informasi dari para tokoh ini kan jadi lumayan buat referensi. Namun, di sisi lain, saya juga menaruh respect kepada mereka yang memilih untuk netral (bedakan dengan yang pura-pura netral atau yang seolah-olah netral). Yang tidak banyak bicara tentang ini itu, apalagi menyerang si anu dan si itu. Setidaknya, orang-orang seperti mereka membuat kita bisa menaruh harapan, bahwa ba’da copras-capres ini usai, semua akan kembali baik-baik saja. Seperti badai, pilpres pasti berlalu. Insya Allah :)
 
Nah, mari menelisik pada dua sosok yang paling dibicarakan di musim ini; Pak Joko Widodo dan Pak Prabowo Subianto. Keduanya telah mantap dan penuh percaya diri untuk maju bersama pasangan cawapres mereka masing-masing; Pak Jusuf Kalla dan Pak Hatta Rajasa. Secara umum, keempat tokoh ini saya rasa adalah pribadi-pribadi yang baik (dengan segala keluasan cakupan makna ‘baik’ yang kita punya). Dan yang terpenting, mereka semua adalah seorang muslim yang wajib kita jaga kehormatannya. Ini bukan bermaksud menyinggung SARA, yah.. Sebab, bukan jamannya lagi menjadi orang sekuler yang memisahkan antara aspek kehidupan secara umum dengan agama. Bagaimanapun, setidaknya sependek pengetahuan saya, kriteria agama adalah hal yang mutlak menjadi bahan pertimbangan. 
Terkadang, saat sisi melankolik saya mengambil peran, saya suka terharu sendiri menyaksikan dua pasang anak bangsa begitu bersemangat untuk menjadi pemimpin Indonesia. Mereka, dengan segenap daya dan upaya yang mereka punya, mencoba untuk saling berebut tanggung jawab yang besar; perihal ratusan juta jiwa yang harus diayomi dengan benar, dan tentang tanah yang konon seluas benua Eropa yang mesti dijaga sebaik-baiknya. Dan, itu bukan sesuatu yang sepele. Hanya orang-orang pemberani yang akan sudi menerima amanah berat ini. Maka, semoga presiden yang terpilih kelak akan dimudahkan untuk menjalankan setiap visi, misi, dan janji-janjinya. Dan yang tidak terpilih, akan tetap diganjar pahala oleh Allah, atas niat baik yang sudah mereka utarakan kepada bangsa ini. 
Tapi, bagaimana kalau semua itu hanya tipu-tipu belaka? Nah, kita-kita tidak usah ikut-ikutan, sebab itu urusan mereka dengan Allah, yang paling tahu segala isi hati. Lagian, darimana kita tahu bahwa mereka sedang memuncratkan janji-janji palsu? Memangnya situ pernah membelah dada Pak Jokowi atau Pak Prabowo untuk melihat isi hati mereka? Hayo, emang berani?! So, kita tidak perlu sok bisa menerawang, deh. Lagipula mereka pun tentu tidak suka diterawang, memangnya uang kertas, pake diterawang-terawang segala! 
Baiklah, mari kita tinggalkan tentang penerawangan dan kembali ke topik yang sebenarnya! *betulin letak kacamata* Nah, kedua sosok capres itu menurut pengamat politik yang saya lupa namanya, konon adalah antitesa dari pemimpin kita sebelumnya, Pak Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah Pak Presiden bertahta selama satu dekade *terima kasih untuk kerja keras Anda selama ini, Mr. President! (^_^)/*, agaknya publik kita mulai merasa membutuhkan sosok yang baru. Biasalah, manusia memang selalu cepat bosan dan lebih senang dengan yang fresh-fresh! Maka, kemunculan Jokowi dan Prabowo seperti sebuah angin segar yang berhembus di saat yang tepat.  
Sejujurnya, saat mengikuti perkembangan pilpres ini, saya sempat bergumam dalam hati, “Kok Cuma dua, sih! Ayo, tiga dong! Biar ada pilihan lain...”. Ya, saya sempat galau dan tidak bisa membayangkan harus memilih siapa. Terlepas dari kebaikan pribadi keduanya, nyatanya kita memang selalu akan menghajatkan right man, in a right time and right place. Jikapun keduanya benar-benar baik seperti apa yang dicitrakan oleh pendukungnya masing-masing, pertanyaannya adalah; apakah ia cocok menjadi pemimpin Indonesia saat ini? Ya, baik saja tidak cukup. Ia harus bisa menjadi jawaban. Jawaban yang tepat lho, ya.. Bukan jawaban yang salah...
Ibarat obat, sebutir Paracetamol yang diproduksi oleh sebuah pabrik ternama, dengan formulasi terbaik, dibuat dengan teknologi paling mutakhir hingga bisa memberikan efek terapi yang paling maksimal dengan efek samping paling sedikit, tetap bukanlah jawaban tepat untuk seseorang yang sedang sakit maag. Jaka Sembung bawa gitar, gak nyambung, pintar! :D 
Terlebih lagi dengan fakta bahwa keduanya tetaplah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kelemahan. Catatan-catatan di belakang mereka tidak semua secerah sinar matahari, ada juga yang kelam. Sementara kita, selalu menjadi lebih mudah ilfeel dengan setitik keburukan dibandingkan kagum dengan segepok kebaikan. Terlebih lagi, sistem yang akan mereka jalankan pun bukan sistem yang datang dari Allah. Sesuatu yang tentu tidak patut untuk kita ridhai bersama. Belum lagi jika kita menilik kepada analisis-analisis perihal apa yang terjadi jika masing-masing kubu berkuasa, dan siapa saja yang ada di balik keduanya. Ketakutan-ketakutan yang tidak perlu saya list di sini, sebab sudah begitu jamak untuk diketahui oleh kita semua. Dan keduanya, sama-sama memiliki kekurangan itu, selama kita masih menilainya dengan berimbang.  
Dan yang harus kita bayangkan pula, bukan hanya tentang bagaimana jika salah satu dari keduanya terpilih, tapi juga perihal bagaimana jika salah satu dari mereka tidak terpilih? Apakah semuanya akan baik-baik saja? Apakah saya masih bisa percaya pada janji TNI dan Polri yang menjamin bahwa Indonesia akan tetap aman sentausa? Hasbunallah wa ni’mal wakiil..
Jadi, harus bagaimana, dong? Golput?

Meski ada ulama yang memperbolehkannya, namun saya merasa lebih dekat untuk mengikuti ulama yang memperbolehkan untuk turut menggunakan hak pilih. Meski kemudian satu suara saya menjadi sama nilainya dengan satu suara seorang maling ayam, satu suara seorang koruptor, satu suara seorang pembunuh, atau satu suara seorang kafir. Tidak apa-apa. Bagi saya, itu lebih mendingan daripada sama sekali tidak menggunakan suara. Sebab jika saya enggan memnggunakan suara saya yang semata wayang itu,  artinya; suara saya tidak lebih penting dari satu suara seorang maling ayam yang nyoblos, satu suara seorang koruptor yang nyoblos, satu suara seorang pembunuh yang nyoblos, atau satu suara seorang kafir yang nyoblos. Ya ndak sih?

Tapi yah, yang tetap ingin golput sih monggo ajah. Toh golput juga pilihan, kan... Dan tiap kita pada akhirnya akan bertanggung jawab pada pilihan masing-masing. Yang paling penting adalah, seberapa kita mengilmui pilihan itu, dan seberapa kita meyakini pilihan tersebut adalah jalan yang terbaik untuk kelangsungan bangsa ini lima tahun kedepan (setidaknya, memilih presiden tidak lebih krusial dibanding memilih calon pendamping yang akan membawa imbas pada masa seumur hidup *gagalfokus*). Ya, ‘hanya’ lima tahun. Jika kali ini salah, lima tahun yang akan datang, jika Allah beri kita umur panjang, semoga kita bisa memperbaiki kesalahan tersebut. Semoga.  

Jadi, nanti bakal nyoblos siapa, Dien?

Saya bertanya pada diri sendiri. Mencoba sebisa mungkin menggunakan kaidah yang dianjurkan itu; memilih mudharat terkecil. Saya, lewat kicauan beberapa waktu yang lalu, mencoba menggumamkan sebaris kalimat untuk meyakinkan diri, sambil membayangkan wajah pemimpin Indonesia masa depan yang akan saya coblos mukanya nanti.

Ketika akhirnya harus memiilih, bisikkanlah ini pada dirimu; Jikapun padanya tak kau lihat harapan, maka setidaknya, bersamanya kau tidak merasakan ancaman.

Salam lima jari. *salim mode ON*

Makasar, 7 Juli 2014.
Di tengah aroma Ramadhan yang begitu pekat. Ramadhan, wait for meee.... T_T
BTW, saya kangen untuk menyapa pemimpin kita kelak dengan sapaan lengkap mereka, bukan dengan inisial seperti yang sering kita lakukan sekarang. Karena, rasanya lebih sopan saja ya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)