Senin, 14 Juli 2014

Guru-Guru Kecil


Guru-Guru Kecil

Bulan Ramadan telah tiba. Bulan di mana hati dilembutkan untuk menerima kebenaran dan setiap jiwa seolah lebih terbuka untuk memperbaiki kesalahan. Semua orang berbenah. Semua pihak berbenah. Banyak orang yang menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk menjadi lebih baik, menjadi titik balik untuk meninggalkan hal-hal yang buruk, baik itu berlaku secara permanen, ataupun yang hanya temporer. Hal tersebut pun tidak luput dari stasiun TV. Wajah TV di Ramadan setidaknya menjadi sedikit lebih teduh dari hiruk pikuknya di luar Ramadan. Program-programnya kental dengan nuansa islami, bahkan para pelakonnya juga menjadi terlihat lebih sopan dalam mempresentasikan diri. Sebagiannya sih begitu...

Salah satu program TV yang saya tunggu-tunggu kehadirannya di bulan Ramadan adalah acara Hafidz Qur’an di Trans 7. Setahu saya, tahun sebelumnya, acara bernuansa sama sempat disiarkan oleh RCTI. Awalnya saya hanya tidak tahu bahwa ternyata tahun ini kedua TV tersebut memang menayangkan acara hafidz anak-anak di waktu siar yang bersamaan.

Beberapa kawan saya bergiat sebagai pengajar di beberapa sekolah Islam terpadu di kota kami. Jelang Ramadan kemarin, mereka sering bercakap perihal anak-anak didiknya yang diikutkan dalam lomba berskala nasional tersebut. Saya pun turut menyimak topik itu dengan begitu excited. Saya ikut mendengar cerita tentang keseruan di arena audisi yang penuh dengan kejadian menarik. Namanya juga anak-anak, berbagai macam tingkah polah mereka menjadi begitu menyenangkan untuk diikuti. Apalagi anak-anak shaleh yang dengan suara cadelnya begitu fasih melantunkan ayat-ayat al Qur’an; super cute, Masya Allah! (^_^)

Ada cerita tentang anak yang sudah begitu mantap dengan hapalannya, namun saat naik ke panggung audisi malah hanya terdiam bahkan menangis karena grogi. Ada juga yang demam panggung luar biasa hingga tidak seayat pun yang bisa ia tampilkan di hadapan juri. Namun, tidak sedikit pula yang sudah lebih bisa menguasai diri dan menunjukkan performanya yang terbaik.

Satu hal yang bikin saya greget dengan acara hafidz anak-anak itu adalah masalah jam tayangnya. Pertama, dua program keren ini hadir di waktu yang bersamaan, dan itu lumayan bikin galau. Akibatnya, kerjaan saya adalah bolak-balik channel TV antara Trans 7 dan RCTI sehingga tentunya tidak bisa menikmati keduanya secara full. Kedua, untuk wilayah Indonesia tengah, di tengah-tengah waktu tampilnya anak-anak shaleh tersebut berada di jam saat masjid mengumandangkan shalat Ashar. Yah, harus tetap shalat dengan konsentrasi dong ya... Tapi yah, begitulah..jadinya pun tentu ada saja bagian yang terlewatkan. Ketiga, saya sering kesorean ‘terjun ke dapur’ untuk menyiapkan buka puasa karena ingin menunggui kedua acara ini sampai tuntas. *sigh*

Sebegitu menariknyakah acara ini?

Baiklah, kuberi tahu kepadamu, kawan. Jika kamu belum pernah menyaksikan Hafidz Qur’an dan Hafidz Indonesia, cobalah sesekali menontonnya. Jika tak sempat, search-lah videonya di Youtube. Lalu, dapatilah hati dan matamu gerimis dibuatnya. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan oleh lisan-lisan yang terjaga itu, dihantarkan oleh hati-hati yang bersih itu, niscaya akan sampai kepadamu, mungkin plus dengan perasaan malu jika membandingkan umurmu dengan umur mereka. Setidaknya, itu yang saya rasakan. Dan belakangan, saya mendapati, bahwa kedua acara ini bukan hanya membawa semangat al Qur’an ke dalam sanubari kita, namun juga mengajarkan beberapa peri kehidupan lainnya yang sangat patut untuk kita tafakkuri bersama. Nilai-nilai kebaikan yang terpampang jelas, meski tidak disampaikan dalam bentuk retorika, bukan pula lewat kata-kata sistematis nan syahdu dan puitis, tapi langsung oleh sikap dan contoh real yang dilakonkan oleh mereka; para guru-guru kecil.

1.       Musa; Mujahadah dan Ikhtiar atas al Qur’an
Saya tidak menyaksikan langsung penampilan Musa di TV, tapi jadi begitu penasaran dnegan testimoni beberapa orang di sosmed, hingga saya menelusuri videonya di Youtube. Anak lelaki itu bahkan belum berusia lima tahun, namun saya yakin, ia telah sukses membuat setiap mata yang menyaksikan aksinya di panggung Hafidz Indonesia hari itu menjadi tercengang. Secara fisik, ia biasa saja. Persis seperti anak seusianya dengan jejeran gigi susu yang beberapa nampak sedang tanggal, dan tingkah polos yang jauh dari pencitraan. Hal ini pulalah yang ‘menipu’ para penonton yang seketika tersenyum, bahkan tertawa tidak percaya saat ia ditanya tentang jumlah juz al Qur’an yang sudah ia hapalkan. Ah, anak ini mungkin sedang bercanda...

Dua puluh sembilan juz...,” ucapnya saat ditanya tentang jumlah hapalan al Qurannya. Dan saat jawabannya itu diklarifikasi kepada ayahnya yang turut hadir, sang ayah membenarkannya. Dan, barulah para penonton terdiam, dan saya yakin sebagian dari mereka masih tidak percaya.

Maka, diujicobalah hapalan Musa oleh para juri dan beberapa penonton yang memintanya membaca sambungan ayat yang mereka lafalkan. Dua bagian dari surah al Baqarah, surah ar Rahman, serta surah Muhammad, dapat dijajal Musa dengan sambungan ayat yang tidak meleset sedikit pun!

Musa bahkan masih sementara ‘meladeni’ tantangan sambung ayat dari seorang penonton saat salah seorang juri yang merupakan doktor ilmu tafsir al Qur’an nampak sudah mulai mengucurkan air matanya. Beberapa ibu pun terlihat tidak kuasa menahan haru dan sibuk mengusap air mata mereka dengan ujung-ujung jilbab.

Selanjutnya, part yang begitu menggetarkan ini bertambah luar biasa saat Dr. Amir Faisal Fath yang sedari tadi menangis mendengar bacaan al Qur’an Musa serta merta naik ke panggung dan mencium punggung tangan bocah itu dengan takzim. Sebuah penghormatan terhadap ilmu dan bukti nyata betapa Allah memang telah memudahkan perkataan-Nya untuk dihapalkan oleh manusia.

Musa adalah peserta lomba tahfidz Qur’an internasional yang diadakan di Makkah al Mukarramah dan pada hasil akhirnya menempatkan dirinya pada posisi keduabelas diantara dua puluh lima penghapal al Qur’an cilik dari berbagai negara di seluruh belahan dunia, dengan nilai 90,83 dan dengan fakta bahwa dia adalah peserta termuda di ajang internasional tersebut. Masya Allah...

Belakangan, beredar ‘rahasia’ perihal kemampuan Musa yang luar biasa tersebut. Dari sana kita belajar, bahwa segala hasil yang nampak seperti keajaiban memang memiliki cerita tentang mujahadah dan ikhtiar luar biasa di baliknya. Dan, ini tidak lepas dari peran kedua orang tua Musa yang secara konsisten menjalankan program harian di rumah mereka serta menjaga anak-anaknya dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan merusak.

Saban hari, Musa dibangunkan oleh ayahnya pada pukul tiga pagi untuk menghapalkan Qur’an hingga subuh, terjeda shalat, lalu dilanjut lagi hingga pagi tiba. Belum lagi jadwal muraja’ah yang juga dilakukannya dengan istiqamah, dan didukung oleh pembawaan Musa yang dengan begitu mudahnya manut dengan program dan time schedule yang dibuat oleh ayahnya. Tak heran, jika di usia yang begitu belia, jumlah hapalan Musa sudah demikian mencengangkan, dengan kemampuan menghapal dan daya ingat yang juga luar biasa.

Maka, jika kita menjadi malu dan bertanya-tanya ke dalam diri; “Anak sekecil itu, kok bisa yah...?” Cukup kita bandingkan saja ikhtiar dan mujahadah yang dilakukan oleh Musa sekeluarga dengan apa yang sudah kita usahakan. Dari sana akan kita temukan jawaban dari pertanyaan yang selanjutnya mungkin akan ikut terbersit; “Kok saya masih gini-gini aja?” *nangis di depan cermin T_T*

2.       Nawala; Cahaya dari Hati

Bocah kecil berkulit putih bersih dari Tanah Rencong itu bahkan belum membaca satu penggal ayat pun, namun mata saya sudah sukses berkaca-kaca. Saya baru memperhatikan gelagatnya yang nampaknya memang tidak seperti para peserta lainnya. Tapi, fakta bahwa Nawala dapat sampai ke panggung Hafidz Qur’an, adalah bukti bahwa satu kekurangan justru bisa menjadi kekuatan besar yang menginspirasi banyak orang. Nawala ditakdirkan oleh Allah memiliki penglihatan yang istimewa, tidak seperti anak lainnya. Low-vision, ketidakmampuan untuk menangkap objek saat cahaya tidak memadai. Hal yang sama juga dialami oleh ayah Nawala, seseorang yang justru menjadi partner belajar al Qur’an bersama anaknya itu. (Ini alasan mengapa Ustadz Yusuf Mansur hingga menitikkan air mata dan ‘menegur’ para ayah berfisik sempurna yang lalai mengajar al Qur’an kepada anaknya *ikut nangis bombay*)

Maka, Nawala tidak perlu melafadzkan ayat-ayat menohok dari QS. ar Rahman, namun kita seolah bisa menyaksikan ayat itu terhampar saat menatap guru kecil kita itu. Fabiayyi ‘aalaa’i rabbi kuma tukadzdzibaan... maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan kamu dustakan?

Beberapa anak di ajang tersebut mungkin memang punya hapalan yang lebih banyak dan lebih kuat dari Nawala. Tapi buktinya, Nawala tetap bisa melakukan hal yang sama seperti para penghapal cilik itu, dalam kondisi fisik yang mungkin bagi kita akan menjadi satu alasan memadai untuk tidak bersungguh-sungguh membaca, apalagi menghapalkan ayat Allah. Sesuatu yang seharusnya bisa membuat kita terketuk, dan sekali lagi; malu.

Saya jadi mengingat sebuat video yang juga menguras air mata, berisi wawancara seorang pemuda Arab yang masih belia, seorang kanak-kanak penghapal Qur’an yang juga seorang tunanetra. Dalam kesempatan itu ia menyatakan, bahwa ia tidak pernah meminta kepada Allah untuk mengembalikan penglihatannya. Ya, tidak pernah. Ia bahkan bersyukur kepada Allah dengan keadaannya tersebut dan sebab Allah telah merahmatinya dengan al Qur’an. Ia ingin, itu menjadi hujjahnya di hadapan Allah kelak, serta akan mengurangi adzab yang ditimpakan kepadanya, sebab ia tidak perlu mempertanggungjawabkan tentang penglihatan yang tidak pernah ia miliki itu. Ah, bagaimana dengan kita ini? Orang-orang dengan nikmat berupa penglihatan yang sempurna, namun jangankan menghapal, kerap kali masih malas pula untuk sekadar tilawah dan mempelajari cara membaca al Qur’an dengan benar. Maka izinkan saya mengutip perkataan Syaikh Fahad yang mewawancarai anak tersebut. Pertanyaan yang patutnya saya tanyakan pada diri sendiri; ‘Apa yang akan menjadi alasan kita di hadapan Allah di hari kiamat kelak?’ T_T

Maka benarlah, mungkin memang bukan mata ini yang buta, tapi hati ini...

3.       Febry; Bukti Hidayah dan Istiqamah Ibunda

Anak itu nampak begitu gagah dengan senyuman menawan dan lantunan al Qur’an serta hapalan yang baik. Tidak ada beban yang terlihat di wajahnya saat ia harus menunjukkan kemampuan hapalannya di depan banyak orang; kemampuan yang sudah pasti ia raih atas rahmat dari Allah, lalu dari ikhtiar dan semangat pantang menyerah, serta tentu dukungan dari orangtuanya.

Febry nama anak itu, sepertinya sama saja dengan para peserta Hafidz Indonesia lainnya. Usianya juga tidak pula terlampau muda. Namun, ada satu hal yang dibeberkan oleh juri selepas ia menunjukkan hapalannya hari itu. Febry, lahir dari rahim ibunda yang merupakan seorang muallaf.

Ya, sang ibu tidak dilahirkan dalam keadaan Islam. Agamanya saat ini bukanlah warisan orangtuanya seperti kebanyakan dari kita. Wanita itu pernah hidup dengan keyakinan agama lain, hingga kemudian ia sendiri yang menemukan cahaya Islam ini atas hidayah dari Allah.

Meski awal-awal masuknya ia dalam Islam ia merasakan ketenangan, namun tidak dapat pula ia pungkiri bahwa itu adalah masa yang berat. Menjalani kehidupan beragama yang baru, dengan rangkaian ibadah yang tentu harus ia pelajari dari nol, adalah sesuatu yang mau tidak mau harus ia hadapi pasca bersyahadat.

Namun, lihatlah dia wahai para wanita yang telah menjadi muslimah begitu keluar dari rahim ibunya! Lihatlah bagaimana ia yang tidak lahir dengan Islam justru mampu melahirkan dan mendidik seorang anak yang begitu baik akhlaknya, hanif jiwanya, dan bersemangat dengan al Qur’an. Maka, benarlah bahwa hidayah itu adalah hak Allah. Tidak pantas bagi kita menganggap orang lain lebih rendah, sebab kita tidak pernah tahu kepada siapa Allah akan tunjukkan hidayah.

Kita tidak patut memandang remeh mereka yang nampak tertatih untuk menjalankan perintah agama ini, sebab bisa jadi justru ia yang kelak akan melejit dengan ikhtiar dan keistiqamahannya. Dan, panggung hafidz Indonesia menunjukkan itu kepada kita, lewat Febry dan lewat ibundanya yang begitu luar biasa. Masya Allah!

4.       Naila; Akhlak dan Iffah Muslimah Kecil Kita
Saya tidak menyaksikan penampilan bocah perempuan imut ini sejak awal. Tahulah, saya baru saya ganti channel dari RCTI ke Trans 7 saat mendapati bahwa yang sedang berdiri di atas panggung adalah Naila, bersama Sabrina, seorang kawannya yang membuat saya menganga dengan hapalan QS. Al Qalam yang sempurna.

Namun ada yang manarik selain hapalan al Qur’an Nailah sore itu. Perempuan kecil itu bermimik datar, bahkan terkesan tegas, meski bagi saya itu bukanlah bentuk ketegangan. Ia seringkali hanya terus menatap lurus ke penonton, bahkan meski sedang diajak ngobrol oleh salah seorang host lelaki yang berdiri di sampingnya. Kesan cuek itu tak pelak membuat si host menjadi bekerja ekstra untuk menarik perhatian Naila yang hanya menjawab pertanyaannya dengan celetukan pendek-pendek seperlunya.

“Kak Ali, Naila ini calon ulama, dia itu menjaga pergaulan dengan lawan jenis.. Makanya jaga pandangan sama Kak Ali...,” ujar salah seorang juri sembari membacakan surah An Nur ayat 31. Saya hanya tersenyum mendengar penyataan itu. Saya menduga bahwa mungkin Naila memang adalah tipe anak yang tidak mudah akrab dengan orang baru, sehingga ia nampak cuek bebek begitu. Saya tidak kepikiran bahwa sikapnya itu memang adalah pengejawantahan dari ayat tersebut.

Dan tebakan saya tadi salah, dan juri itu yang benar. Hal ini tergambar saat di akhir acara ternyata Naila keduluan oleh dua orang peserta yang dinominasikan untuk wisuda hari itu (istilah acara ini untuk peserta yang dieliminasi) saat menyambung ayat dari Ustadz Yusuf Mansur. Meski awalnya para juri sebenarnya tidak menginginkan ada yang wisuda hari itu, namun kebijakan pihak penyelenggara tidak memungkinkannya. Maka, Naila sebagai peserta yang tidak bisa memenangkan tantangan juri, akhirnya diputuskan untuk diwisuda paling awal dari teman-temannya di grup tersebut.

Host lelaki yang sedang berjongkok di samping Nailah secara spontan langsung memeluk anak perempuan mungil itu karena sedih jagoannya harus diwisuda. Saat dipeluk seperti itu, terlihat jelas perubahan ekspresi Naila yang nampak tidak nyaman, saat pelukan itu terus berlanjut, tanpa merasa segan Nailah langsung menegur si host lelaki sambil sedikit membelalakkan matanya, tidak suka.

“Heh!”, serunya. Masya Allah.. Si host langsung nampak keder sendiri dan melepaskan pelukannya sambil menunjukkan wajah ingin menangis dan menjelaskan bahwa ia sedih karena Naila akan diwisuda. Kejadian itu membuat host perempuan mendekatinya dan mengusap punggung Nailah sambil mengatakan bahwa Naila harus pulang hari itu.

Tidak seperti yang sudah-sudah, di mana peserta-peserta kecil yang diwisuda biasanya akan menangis layaknya anak-anak pada umumnya, Nailah dengan segala kesadarannya tentang apa yang sedang terjadi, dan masih dengan eskpresi datar yang belakangan saya lihat sebagai keanggunan, malah justru sujud syukur di atas panggung. Saat mengangkat wajahnya dari sujud, tidak ada kesedihan ataupun kekecewaan. Saya, membaca ketegaran.

Akhwat kecil kita, Naila, telah mengajarkan kepada kita, para perempuan muslimah, tentang bagaimana ia yang masih begitu belia sudah sangat paham tentang batasan pergaulan lelaki dan perempuan. Ia, benar-benar menjaga iffah dan izzahnya. Ini bukan bentuk kesombongan apalagi jika dianggap ia kurang sopan karena menegur host lelaki yang memeluknya. Namun, itu adalah bukti bagaimana kedua orang tuanya telah berhasil menanamkan nilai kepada perempuan mungil ini tentang bagaimana menjaga dirinya sebagai seorang muslimah yang berwibawa.

Akhlak dan izzah yang ditunjukkan secara spontan oleh Naila itu membuat beberapa juri nampak berkaca-kaca dan tentu menjadi semakin tidak rela melepas kepergian hafidzah cilik ini. Hingga, alhamdulillah, keputusan diwisudanya Naila dianulir, dan ia tetap dapat melanjutkan perjuangannya menaklukkan panggung Hafidz Qur’an. Namun di episode berikutnya, Naila menjadi satu dari dua orang yang harus diwisuda hari itu. Dan kembali lagi sama seperti hari sebelumnya, ia nampak sama sekali tidak bersedih dan hanya memasang mimik datar sambil memeluk hadiah mushaf al Qur’an yang diberikan oleh juri.  Naila, walaupun kamu sudah terleliminasi, tapi kamu keren sekali, Sayang! Barakallahu fiik, Naila (^_^)/

Bersama Ramadan, kedua acara ini juga baru saja memasuki pertengahannya, dan saya rasa list ini masih akan terus bertambah. Akan semakin banyak pelajaran yang bisa kita petik dari para guru-guru kecil yang lugu, polos, dan autentik itu. Saya bersyukur kepada Allah karena di negeri ini masih ada orang-orang yang mau meng-create program TV yang begitu baik dan edukatif seperti ini. Saya berdoa semoga wajah TV yang teduh ini bisa terus bertahan hingga ke luar Ramadan, sehingga kita bisa meraup inspirasi lebih banyak lagi.

Sebab hidup adalah harapan, maka menyaksikan para hafidz cilik itu mampu menumbuhkan harapan kita tentang masa depan bangsa ini. Semoga mereka semua tetap istiqamah, hingga dewasa kelak, hingga husnul khatimah. Seorang ulama mengatakan, bahwa menghapal seluruh isi al Qur’an bukanlah akhir, namun justru awal dan dasar kita untuk menyelami dalamnya ilmu ad-dien ini. Maka, semoga adik-adik kita itu nanti akan tumbuh dan menjadi ulama-ulama besar yang membawa cahaya kebenaran pada negeri ini, pada bangsa ini. Dan, semoga kita mampu untuk terus membuka hati dalam menerima ibrah dari para guru kecil kita, menjadi pribadi yang lebih baik, dan juga bisa menghasilkan keturunan seperti anak-anak shalih-sholihah yang kita saksikan di layar kaca itu; cinta Qur’an, cerdas bersama al Qur’an. Aamiin... J

Makassar, 14 Juli 2014 
Zionis Israel masih meneruskan agresinya ke jalur Gaza. Terus teriring doa bagi saudara-saudara kita di bumi jihad sana, semoga Allah kuatkan, semoga Allah menangkan. Kami menjadi saksi, mereka adalah para ahlul qur'an! Allahu Akbar! 

3 komentar:

  1. perlu tambah satu hafidzah lagi :D
    Kaisa dari acra Hafidz Qur'an Trans 7 :D

    BalasHapus
  2. Kaisa? Wah, bgmn kisahnya? :D
    Akhir2 ini seringnya fokus ke Hafidz Indonesia karena pesertanya tinggal sedikit :')

    BalasHapus
  3. Nawala dari Aceh memang beda dan menjadi inspirasi bagi yg normal penglihatannya.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)