Minggu, 20 Juli 2014

Kepada Diena Rifa'ah

Bagaimana kabarmu, Dien? 

Hari ini, tepat dua puluh lima tahun yang lalu, Allah menakdirkanmu menjadi salah satu penghuni bumi-Nya. Setelah sembilan bulan sebelumnya kau bernaung dalam kasih sayang yang kokoh, yang menjagamu dari hingar bingar dunia luar yang ribut. Meski pada bulan kesekian, kediaman damaimu itu sempat terganggu saat Mama jauh dari motor, dalam perjalanan ke sebuah tempat, tepat di depan sebuah kuburan. Tapi kau tetap kuat, kau akhirnya tetap hadir di dunia dengan selamat. Sebab itu, kau disebut telah berupaya untuk bertahan, bahkan sebelum benar-benar dilahirkan.

Ingatkah kau, Dien? Pada satu kejadian saat bakal dirimu masih ada pada tulang sulbi Bapak. Kala itu, Allah meminta persaksianmu atas dirinya; ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’. Dan saat itu, meski kau ingat ataupun tidak, nyatanya kau telah berkata dengan jelas; Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi!

Maka ingatlah selalu itu kejadian yang diabadikan dalam al A’raf ayat 172 itu, Dien. Saat dimana telah berpasrah dirimu dalam sebuah pernyataan yang kelak menjadi sebab tiada lagi ruang untuk mengelak. Dan bahwa dirimu adalah hamba, maka tunduklah, paka patuhlah. Ingatlah kejadian itu, hingga sejauh apapun kau melangkah, hingga seberapa pun usia.

Dien, dalam sebuah kesempatan, penyair favoritmu, Taufik Ismail pernah berkata, “Jikapun ada yang harus diberi selamat dalam sebuah pengulangan hari kelahiran, maka dia bukanlah siempunya ulang tahun itu, tapi justru kedua orangtuanya!’. Ya, dan kau bersepakat dalam hal itu, seperti kau bersepakat pada sajak-sajaknya. Bagaimana tidak? Sebab kedua orangtualah yang sejatinya telah melakukan berbagai macam cara untuk membesarkan anak-anaknya. Segala peluh, air mata, bahkan darah telah tercurah. Maka sudah sepatutnya, saat seorang anak sadar bahwa ia adalah darah daging orangtuanya, saat itupun seharusnya ia telah pula siap, untuk juga menjadi tangan, menjadi kaki, menjadi mata, menjadi seutuhnya tubuh untuk keduanya, saat tiba masa dimana mereka membutuhkannya.

Pandanglah Mama dan Bapak, Dien. Lihatlah mereka yang kini telah digamit usia dengan lembaran uban yang terus bertambah. Tubuh yang kini tidak setegak dahulu itu, tidak lain dan tidak bukan juga sebab bebanmu yang telah berupaya mereka tanggung, dalam tahun-tahun kemarin. Mungkin, hingga tahun-tahun yang nanti. Bahkan suara mereka tidak lagi sejelas yang dulu. Kini, tangan-tangan mereka kerap bertumpu pada pundakmu. Mereka mulai saling mengunjungi sanak saudara atau kawan-kawannya yang juga sudah menua. Bercerita tentang masa lalu mereka, sambil sesekali mengeluhkan sakit ini dan sakit itu yang makin kerap singgah pada tubuhnya.

Maka apakah kau akan menyia-nyiakan pintu surga paling tengah itu, Dien? Hanya karena matamu yang mungkin masih ingin terkatup, atau karena hatimu yang terkadang kurang begitu lembut. Bahkan bukankah meski segala upaya telah kau curah, tak seujung kukupun setiap jasa mereka dapat lunas terbayarkan. Sadarkah kau tentang itu, Dien? Maka, sadarlah segera. Sebelum kau nanti menyesal dengan sesal yang akan kau bayar sepanjang usia.

Banyak hal yang telah terjadi. Kau bertemu dengan banyak orang, pun berpisah dengan beberapa darinya. Kau menuntaskan banyak hal pula, dan berhenti dari beberapa diantaranya. Tidak mengapa, sebab sejatinya setiap pertemuan hanyalah satu isyarat halus tentang perpisahan yang mau tidak mau akan mengikutinya, semua hanya masalah waktu saja. Pun dengan perpisahan, bisa jadi justru hanya sebuah jeda, untuk pertemuan selanjutnya, baik itu dalam bentuk perjumpaan kembali dengan orang yang sama, atau justru bertemu dengan orang-orang yang sama sekali baru.

Dien, kau menemukan, dan kau kehilangan. Beberapa orang datang dalam hidupmu untuk menetap dalam jangka yang lama, ada yang menorehkan sesuatu, ada pula yang tidak meninggalkan apa-apa. Kau menatap punggung mereka yang pergi menjauh, dan seberapa pun kau ingin mereka untuk tetap tinggal, tetap saja tak bisa kau menahan langkahnya untuk tetap beranjak. Tapi tenang saja, sebab saat itu, kau bisa mengajarkan hatimu tentang perkara melepaskan, mengikhlaskan.

Dien, seharusnya begitu besar kesyukuranmu telah dipertemukan dengan sungai-sungai bening itu. Saudari-saudari seiman yang sejak dulu hingga kini terus ada di sampingmu. Mungkin, tidak selalu secara raga kalian berjumpa. Namun entah keyakinan apa yang membuatmu tetap kukuh bahwa kalian akan selalu saling mengingat dalam doa. Meski masih saja sering kau seperti itu, Dien.. merasa tak pantas, merasa kotor dan kelam saat bersama dengan mereka. Sebab menatap wajah mereka akan mengingatkan kau betapa tertatihnya kau lalui jalan cahaya ini. Namun ingatlah, Dien.. selambat apapun kau berjalan, itu masih lebih baik daripada kau berhenti sama sekali, apalagi berpaling ke jalan yang lain. Sebab jalan ini telah kau pilih, maka teruslah kau susuri...

Ramadan sudah semakin tua, Dien. Adakah pendakian menuju puncak takwa masih tetap kau panjati? Atau kau justru sedang berdiam di salah satu lereng sambil mengusap air mata, meminta waktu berhenti barang sebentar saja? Sebab Ramadan akan berakhir dengan caranya, dan kau akan dapati dirimu berdasarkan atas apa yang telah kau upayakan. Sudahkah kau berusaha, Dien? Ramadan berikutnya mungkin masih akan datang, tapi saat itu, adakah kau dapat pastikan kau masih ada di dunia? Selayaknya nenek dan Kakak Nina yang hari ini tak dapat lagi kau tatap wajahnya. Ramadan pertama tanpa mereka, yang membuatmu seharusnya terinsyafkan, bisa jadi tahun depan kau pun alami hal yang sama. Maka sekarang, teruslah berusaha sebelum Ramadan benar-benar pergi meninggalkan.

Bagaimana kabar saudara-saudara kira di Gaza, Dien? Adakah bombardir itu masih saja terus terjadi? Dan kau di sini hanya dapat menekuk lutut dan mengusap air mata dengan ujung jari. Ah, Dien.. ada untaian doa yang selalu bisa kau langitkan kapan saja sebagai senjata paling utama. Untuk Palestina, untuk Suriah, untuk Irak, untuk Afrika Tengah, untuk Myanmar, dan untuk segenap kaum muslimin.. fii kulli makaan...

Teruslah menulis, Dien. Sebab menulis adalah satu hal yang membuatmu tahu apa yang akan terus kau lakukan hingga napas terakhir berhembus. Tetaplah menulis meski hanya kau sendiri yang akan membacanya. Berbincanglah dengan dirimu sendiri. Keluarlah dari dirimu dan ambillah spasi dengannya sehingga kau temukan refleksimu dengan utuh. Itu akan hindarkan kau dari subjektifitas saat kau selalu merasa benar dan baik-baik saja. Apalah kita ini, Dien? Datang dari air yang hina, kemana-mana membawa kotoran, kelak pun akan kembali kepada tanah. Maka bagaimana bisa kau temukan ruang untuk keangkuhan?

Maka jadilah lebih baik; lebih bersabar dan lebih bersyukur.  Mintalah dianugerahkan hati yang baru. Yang lebih lembut. Yang dapat setulusnya bersujud. Yang sadar bahwa bahkan atas segala kebaikan, hanya bisa terjadi karena rahmatNya. Yang tercerahkan bahwa yang benar adalah benar dan yang batil adalah batil. Ketuklah dirimu selalu, jenguklah ia yang mungkin sedang kehausan sebab kau lupa memberinya minum, sebab kau membiarkannya dipapari teriknya dunia yang tidak selaras dengan fitrahnya. Jadilah lebih baik, Dien. Dengarlah lantunan lirih imam di subuh tadi, yang seolah menujukan bacaannya pada dirimu, di hari kedua puluh satu di bulan Juli ini. Lirihkanlah ayat itu pada dirimu sendiri; fa bi ayyi aa laa i rabbi kuma tukadzdzibaan... Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Sulaman berpigura yang dibuat bersamaan dengan hari kelahiran. Boleh disebut kembaran? :)


Makassar, 21 Juli 2014
Pada 23 Ramadan1435 H.

2 komentar:

  1. "Teruslah menulis. Sebab menulis adalah satu hal yang membuatmu tahu apa yang akan terus kau lakukan hingga napas terakhir berhembus. Tetaplah menulis meski hanya kau sendiri yang akan membacanya."

    Kata-kata yang menarik, dan menginspirasi.

    BalasHapus
  2. Bismillah,inspiratif.Salam ukhuwah.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)