Jumat, 17 Februari 2012

Pulang Kampung!


Kepada kalian, para perantau. Berbagilah kepadaku, apakah yang paling kalian rindukan dari kampung halaman? Apakah senyuman bunda saat kau terbangun dari tidur semalam. Ataukah fragmen saat kau menyaksikannya bangun di subuh hari dan berjalan agak kesusahan dengan tubuhnya yang kian renta, menuju tempat bersucinya. Lalu kemudian dilanjutkan dengan sambutmu pada ayah yang baru saja pulang dari masjid.



Mungkin, kau juga sedang merindukan makan pagi yang hangat dengan anggota keluarga lengkap. Secangkir teh dan penganan ringan, ataupun makanan lengkap sebab bunda sangat peduli dengan angka sadar sarapan. Lalu semuanya akan saling bertukar ide, ke mana lagi kalian akan pergi bersama di hari libur ini.



Apakah kau juga rindu pada tetanggamu? Mereka yang menyambut senyumanmu saat dulu kau masih berusia sekolah. Senyuman yang menemani langkah pagimu dari mereka, keluarga yang paling dekat. Ah, bahkan Rasulullah Shallalahu Alahi wasallam menyangka bahwa tetangga pun akan mendapatkan warisan. Saking dekatnya mereka dengan kita.



Kupikir, seperti itu pula yang dahulu dirasakan oleh para muhajirin itu. Selepas terusir dari tanah mereka sendiri, menuju Yasrtrib, kota yang belum pernah mereka diami. Lalu kemudian, setelah penundaan rencana untuk berumrah ke Makkah setelah penyetujuan perjanjian Hudaibiyah, akhirnya tibalah masanya mereka pulang ke kampungnya. Di sana ada Baitullah! Di sana mereka dahulu menghabiskan hari-harinya, sampai kemudian dipaksa untuk pergi dari kampung halamannya. Maka terkisahlah umrah pertama sepanjang sejarah, dikenal pula ia dengan istilah umrah qadha, umrah yang tertunda. Saat kaum muslimin kembali menatap kota mereka dengan haru dan hati yang disesaki rindu yang kini berlabuh. Mereka bertawaf dengan langkah tegas dan cepat untuk mensyiarkan kekuatan pada kaum muslimin. Mereka berlari kecil dari shafa ke marwah, menyembelih hewan qurban, dan bertahalul



Bahkan saat dilarang memasuki Ka'bah, Rasulullah Shallalahu Alahi wa Sallam tidak berhenti. Diperintahkannya Bilal bin Rabah untuk naik ke atas Ka'bah dan menyerukan adzan dari sana. Panggilan shalat, panggilan kemenangan itu membahana di seluruh kota. Menyusupi tiap lereng bukit dan padang pasir tandus. Mengetuk-ngetuk tiap pintu rumah dan pintu hati para penduduk. Hari itu, mereka pulang kampung. Hari itu, kalimat Allah kembali ditegakkan disana. Sebuah peristiwa menjelang kemenangan gilang-gemilang tanpa tertumpah setetespun darah.



Kepada kalian, para perantau. Berbagilah kepadaku, apakah yang paling kalian rindukan dari kampung halaman? Apakah rindu yang merasuk, yang terhirup, yang menyelusup dalam relung hatimu, pun serupa dengan rindu muhajirin kepada Makkah? Ya, semoga ia pun tuntas suatu waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)