Rabu, 14 Agustus 2013

Dia Menunggu Ibu

Puisi dengan judul yang sama saya buat sekitar tujuh tahun yang lalu. Sajak 'Dia Menunggu Ibu' itu bercerita tentang seekor kucing kecil yang diletakkan oleh induknya di dalam sebuah kardus bekas yang terletak di salah satu pojokan di dalam pekarangan halaman kami. Beberapa hari si induk 'menitipkan' anaknya di kardus itu, sesekali ia kembali untuk menyusui kucing kecil yang belum bisa apa-apa itu. Kami hanya dapat menyaksikan kejadian itu tanpa berani mengusik ketentraman keduanya.

Hingga akhirnya hari itu datang. Hari dimana seperti biasa, induk kucing itu pergi untuk mungkin mencari makan, bahkan meski sesekali kami memberinya makanan. Tapi kali ini, kepergian si induk kucing berbeda. Ia tidak pernah kembali lagi. 

Beberapa hari lamanya si anak kucing itu menanti ibunya. Ia belum bisa beranjak kemana-mana. Kelopak matanya yang kecil itu bahkan belum bisa terbuka sempurna. Desember yang lembab menjadi saksi, saat hujan turun, bahkan meski kardus itu sudah kami masukkan ke dalam rumah, kucing kecil itu terus saja mengeong dengan suara yang lirih. Seolah memanggil ibunya untuk kembali. Saya menulis puisi tentangnya sambil mendengar suara kucing kecil itu diantara riuh rintik hujan.

Kami sampai harus memutar otak untuk mengusahakan agar kucing kecil itu bisa bertahan. Ia belum bisa menyantap tulang ikan atau sisa nasi, pun dengan minum susu sendiri dari gelas. Ingin menggunakan dot bayi pun sulit. Maka kami berusaha sebisanya saja agar susu formula itu bisa dikonsumsi oleh si kucing kecil. Namun nyatanya, usaha kami tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Beberapa hari setelah kepergian si induk kucing, anak kucing itu meninggal. Adik saya yang maniak kucing menjadi nelangsa setengah mati.
Kucing kecil lagi, kisah berikutnya


Tujuh tahun setelah kejadian itu, saya tidak menyangka akan kembali membuat postingan tentang kucing. Actually, saya tidak begitu menggemari hewan yang satu itu, biasa-biasa saja. Setidaknya jika dibandingkan dengan adik saya yang masuk dalam kategori penggila kucing. Tapi cerita yang dibawa adik saya baru-baru ini cukup menggerakkan untuk menuliskan kisah kucing berikutnya. 

Alkisah, seekor induk kucing menyisip masuk ke pekarangan rumah kami. Ia kemudian mengambil tempat di salah satu pot bunga ibu. Di sana, ia melahirkan empat ekor anaknya yang lucu-lucu. Kelahiran empat anak kucing itu terendus oleh para tetangga kecil saya. Cerita tentang mereka bisa diflashback di sini. Bocah-bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan itu nampak girang luar biasa melihat munculnya kucing-kucing kecil itu. Trade record mereka dalam hal perlakukan pada binatang memang cukup kelam. Bukan hanya sekali kami mendapati ada bangkai kucing membusuk di parit depan rumah karena kelaparan akibat dijerumuskan ke got oleh bocah-bocah kelebihan energi itu. 

Perlakuan yang sama nyatanya kembali dilancarkan oleh para bocah kepada kucing-kucing kecil yang baru lahir tersebut. Satu per satu, saat si induk lengah karena meninggalkan anak-anaknya, tetangga-tetangga kecil saya mempereteli kucing kecil itu, membawanya ke tempat yang entah dimana, sampai lenyap seketika, entah dimana. Hingga akhirnya, anak kucing yang tersisa itu tinggal dua ekor saja.

Sejak kejadian kehilangan anak, si induk kucing menjadi over-protective. Sepanjang hari ia berjaga-jaga di pot bunga, mengayomi anak-anaknya. Tiap ada yang mendekati pot itu, ia akan mengeluarkan suara yang mengerikan, seolah sedang dalam posisi 'bertahan', seolah sedang menggertak 'Berhenti mengganggu kami!". Bahkan, ia menjadi sangat agresif kepada siapapun yang mendekat. 

Si Baim nampak mengintip ke dalam pot. Induk kucing siaga satu

Pagi ini, jam belum lagi menunjukkan pukul tujuh saat saya mencoba mengecek pot bunga itu. Rupanya, si induk kucing tak nampak di sana. Sepertinya ia pergi mencari makan, seolah mencoba mencari celah sebelum matahari benar-benar terik dan bocah-bocah itu berkesempatan mengusik anak-anaknya lagi. Dan benar, saat saya mengecek kembali sekitar pukul sembilan, si induk kucing sudah kembali ke tempatnya semula. Mendekap anak-anaknya di dalam pot bunga.
Pagi masih muda, dua kucing kecil ini saling mendekap sambil menunggu ibunya kembali

Peristiwa sederhana nan nampak sepele itu, memberikan saya penyegaran pemahaman. Ditengah berbagai macam berita kekejaman yang sadis yang dilakukan oleh manusia -makhluk yang mengaku memiliki akal dan nurani, jangan-jangan kita justru perlu belajar dari bangsa kucing, tentang makna kasih sayang yang sebenarnya. Wallahu a'lam.  

Induk kucing ini, tak perlu akal untuk menyayangi



Makassar, 15 Agustus 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)