Minggu, 11 Agustus 2013

Apakah Ada Banyak Rak Buku di Surga?

Tempat itu begitu menyenangkan. Tak pernah ada suara-suara ribut di sana. Suasananya juga nyaman dan tidak gerah.  Saya, setidaknya mulai diperkenalkan dengannya saat kelas 1 SD, saat mulai pandai membaca. Ya, toko buku.

Toko buku yang saya tahu saat itu adalah Gramedia. Sekitar tahun 1995 kalau tidak salah, Gramedia  berada di salah satu areal perbelanjaan yang dikenal sebagai Makasa. Sejak kecil, saya memang sudah terbiasa dengan tumpukan buku-buku bapak di rak-rak kayu rumah kami. Bahkan, kamar saya dulu adalah ruangan kecil bekas ruang baca bapak yang berisi dua rak buku kayu dan cukup ditambah dengan tempat tidur kecil dan meja belajar. Berdesakan dengan mesin jahit ibu.

Maka toko buku menjadi salah satu tempat favorit saya sejak kecil. Tiap dibawa ke toko buku, saya bersaudara punya kesempatan untuk memilih satu buku untuk dibawa pulang. Biasanya jika sudah memasukinya, kami bertiga akan berpencar, dan bapak tidak perlu khawatir kami hilang. Favorit kakak laki-laki saya kala itu adalah komik Dragonball, sedangkan saya akan mengarah ke rak yang dijejali komik Sailormoon ataupun buku dongeng bergambar, sedangkan adik kami yang bungsu (kayaknya waktu itu dia belum lancar membaca sih..), akan memilih buku bergambar secara random, yang kebanyakan berakhir sebagai potongan-potongan kecil karena digunting-gunting olehnya.

Oh iya, waktu itu kami bersepakat untuk punya koleksi serial masing-masing. Jadi misalnya kakak saya mengoleksi komik Doraemon, maka saya tidak boleh membelo komik Doraemon seri apapun, karena kakak saya akan melengkapi koleksinya tiap bulan. Nah, saat saya mengoleksi Card Captor Sakura, hanya saya saja yang boleh melengkapi seri Card Captor Sakura saya, kakak dan adik saya tidak boleh.   

Salah satu buku yang awal-awal saya beli di usia 6 tahun. Saya bahkan belum benar mengeja nama sendiri


Di rumah, kami dibelikan laci-laci plastik tiga susun. Tiap susunnya untuk masing-masing anak. Bagian samping laci itu,oleh bapak dibolongi agar bisa memasang rantai dan gembok. Masing-masing dari kami memegang kunci gembok laci masing-masing, jika ada yang mau saling meminjam harus izin dahulu pada yang punya. Kakak saya yang saat itu tentunya paling pintar (baca: paling tua :p) punya koleksi yang paling banyak. Disusul oleh saya yang waktu itu masih kurang disiplin menjaga buku, dan paling bontot tentu adik kami yang lebih tidak disiplin lagi. Hehehe...

Hingga suatu ketika, entah mengapa dalam sebulan kami begitu sering ke toko buku. Maka ibu protes. Uang belanja tentu membengkak. Maka, dalam perjalanan pulang ke rumah malam itu, dibuatlah sebuah aturan tidak tertulis bahwa jadwal ke toko buku adalah sebulan sekali, setelah bapak dan ibu terima gaji. Dirangkaikan dengan belanja bulanan di supermarket lantai satu (Gramed ada di lantai 2), dan makan bakso di gerai samping Gramedia jika bapak lagi mood ^_^. Maka sejak saat itu, kami secara teratur akan punya koleksi satu buku baru tiap bulan.  Kebiasaan ini berlanjut bertahun-tahun hingga kakak saya hijrah ke Bandung untuk kuliah.

Satu kejadian yang tidak terlupakan saat saya masih SD dan berkunjung ke toko buku adalah sebuah momen bersama seorang mbak-mbak penjaga toko buku. Waktu itu, buku-buku yang dijual belum terbungkus plastik seperti sekarang. Hal ini memungkinkan pembeli untuk membuka-buka buku setiap halaman bahkan meski tidak berniat membelinya. Waktu itu, saya sedang berdiri sendirian di depan rak yang menghampar buku-buku dongeng bergambar. Cukup lama saya mondar-mandir di sana, menekuni judul dan sampul buku satu per satu. Saat saya akhirnya mengambil satu buku dan mulai membuka halamannya dengan mata berbinar, seorang mbak penjaga toko buku datang menghampiri. Sejenak, ia hanya mengamati saya dari jarak yang tidak begitu jauh. Sejurus kemudian, ia mendekati saya dengan tampang yang tidak begitu menyenangkan, lalu mengucapkan kata-kata yang mungkin tidak akan pernah saya lupa hingga saya mati.
Kalau tidak mau beli,tidak usah dibaca-baca...”, ujarnya dengan nada ketus.
Sepersekian detik,saya yang saat itu masih bocah SD, hanya bisa terdiam menatapnya. Mencoba mengolah kata-kata dan memaknai apa yang ia maksud.  Mbak itu juga tetap menatap saya lalu bergantian menatap buku dongeng bergambar yang masih saya pegang. Cling! Saya tersadar. Lalu tanpa berkata apapun, saya meletakkan buku itu kembali ke rak, lalu meninggalkan mbak itu sesegara mungkin.  Berlari menuju bapak saya yang heran mendapati tampang saya yang masih melongo. Seperti biasa, bapak sedang sibuk berseliweran di rak buku-buku agama. Tidak ada limit membeli buku buat bapak. Wong beliau yang punya duit!

Kenapa? Sudah dapat bukunya?”, tanya bapak. Saya menatap bapak. Menggeleng lesu. Lalu berlalu menuju rak komik tempat kakak saya berada. Sejak saat itu, beberapa bulan setelahnya saya tidak pernah lagi mau ke rak buku dongeng bergambar. Trauma. Dan sejak saat itu pula, saya menjadi tidak suka dengan penjaga toko. Hehehe... Untung sekarang ketidaksukaan itu sudah terkoreksi seiring dengan pengertian yang lebih baik. Sekarang penjaga-penjaga toko juga sudah lebih ramah, kok :’) 

Namun sebab kejadian itu, saya jadi berpikir, bahwa seharusnya seorang penjaga toko buku adalah orang yang paling ramah di dunia ini.  Begitu pula seorang pustakawan. Apa yang menghalangi mereka tidak menjadi orang yang baik sedangkan tiap hari mereka dikelilingi oleh ilmu yang menjelma buku? Pikir saya. Lagi pula, mereka punya peranan dalam membangun minat baca masyarakat. Bukankah tingginya minat baca menunjukkan peradaban sebuah bangsa?

Saya juga ingat, suatu hari pernah mendapati seorang ibu yang sedang berbelanja buku dengan memboyong anaknya. Sekitar empat tahun umur bocah itu. Dengan suaranya yang cempreng, sambil mendekap sebuah buku ia merengek pada ibunya, minta dibelikan. Si ibu, dengan enteng lalu berujar.

Kamu itu tidak tahu membaca,tidak usah beli buku!”, ujarnya dengan volume yang cukup tinggi hingga saya bisa ikut mendengarnya. Si anak seketika cemberut dan hanya bisa mengembalikan buku berwarna-warni itu ke tempatnya semula. Saya menyayangkan sikap ibu itu yang bisa jadi mematahkan minat baca anaknya yang sudah mulai tumbuh. Bahkan meski si anak belum bisa baca, setidaknya ada penjelasan yang lebih baik yang bisa ibu itu berikan, dengan cara yang lebih lembut pula. Menurut saya, sih...  

Saking senangnya dengan tumpukan buku, saya bahkan bermimpi, suatu hari bisa punya perpustakaan yang nyaman dan fancy, dan menjadi pengelola yang ramah untuk para pengunjungnya. Ataukah sebuah toko buku yang menyenangkan untuk disinggahi. Tapi, sebab sekarang saya sudah jadi apoteker, bolehlah saya mimpi nanti punya apotek yang di ruang tunggunya diisi dengan sofa yang empuk dan buku-buku bagus untuk dibaca. Hitung-hitung mengobati jasad sekaligus mengobati pikiran dan hati. Keren, ya? Hehehe...

Toko buku adalah tempat yang luar biasa. Makanya saya sangat sedih saat kemudian Makasa ditimpa kebakaran yang turut menghanguskan Gramedia-nya. Saat mendengar kabar itu, saya nelangsa luar biasa. Terbayang-bayang pada beberapa buku yang belum berkesempatan saya beli karena jatah beli buku yang terbatas. Toko buku adalah tempat dimana kita melihat hamparan ilmu yang dibungkus oleh kertas-kertas kualitas bagus dengan sampul yang menarik. Saya terkadang merasa menjadi begitu liliput saat berdiri diantara rak-rak buku-buku tebal karya para ulama mumpuni.  Seolah mereka hidup kembali dan siap menggelar majelisnya lewat halaman-halaman kitab. Setiap penulis akan berada setiap saat di toko buku, dalam wujud buku yang ia tulis. Kepada orang yang bahkan mungkin tidak akan pernah ia temui seumur hidup, ia akan berbincang akrab dan hangat lewat kata-kata yang berada di tiap baris buku karangannya. Luar biasa!

Saat saya sakit, entah mengapa terkadang tempat yang sangat ingin saya datangi bukannya praktek dokter atau rumah sakit, tapi toko buku. Sebuah tempat yang memberikan efek relaksasi. Hingga saya berpikir dengan pertanyaan yang liar; apakah di surga juga ada banyak rak buku seperti itu?

Hari ini, setelah sekian lama, kami bersaudara berkesempatan ke toko buku lagi, bersama-sama. 

Selain beli buku, juga beli lampu belajar ini. Lumayan buat mengimbangi lampu kamar yang remang-remang

Sebuah peristiwa yang jarang, mengingat kakak kami tidak lagi tinggal di kota yang sama. Dan karena kesibukan masing-masing, saya dan adik kebanyakan ke toko buku sendiri-sendiri. Terkadang saya rindu masa-masa dimana kami berempat; bapak, kakak, saya, dan adik pergi ke toko buku bersama-sama. Sibuk memilih buku masing-masing. Mengumpulkan bukunya pada bapak yang akan membayar di kasir. Berebutan siapa yang akan menenteng kantung berisi buku baru. Lalu membuat senyap suasana rumah hingga beberapa hari kedepan karena masing-masing sibuk dengan bukunya. 

Padahal alasan mendasar beli ini cuma karena warnanya. Hehehe.. :)


Dalam satu kesempatan di tahun 2004, bapak membeli buku lebih banyak dari biasanya. Tiga buku sekaligus, kalau tidak salah. Masing-masing kami pun memilih satu buku. Waktu itu, koleksi saya sudah beralih dari komik (yang sekarang saya sadari memiliki jalan cerita yang aneh-aneh..hehehe) ke novel atau kumpulan cerpen islami terbitan Dar! Mizan. Perihal jumlah buku yang ia beli, Bapak tidak menjelaskan apapun hingga sampai di rumah, lalu memberikan salah satu bukunya kepada saya, setelah sebelumnya menulis sendiri nama saya di sampulnya.  Buku itu bersampul seorang gadis remaja cantik yang berjilbab. Tersenyum kepada semua orang yang memandang kepadanya. Judulnya; ABG Islami karya Muhammad Syarif Ash Shawwaf, sebuah buku terjemahan dari buku berbahasa arab. Bapak tidak berkata banyak saat memberinya, selain menyuruh saya membacanya hingga tuntas. Ya, meski sebenarnya, bapak telah mengatakan begitu banyak hal dengan menghadiahkan buku itu kepada saya, putrinya. Dan itu, menyenangkan. 

Bapak selalu menuliskan nama dan tahun membeli buku :')


Setiap kali ke toko buku dan mendapati pemandangan bocah kecil yang dengan penuh semangat menekuni buku yang disukainya, saya selalu bahagia. Sambil bertanya-tanya; adakah dulu saya pun nampak sepertinya? 

Makassar, 11 Agustus 2013

4 komentar:

  1. Waah cakep tuh boneka androidnya. Di Surga ada apa aja yg diinginkan oleh penghuninya :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. Iya mbak, saya beli karena warnanya, padahal kagak pake android.

      Iya, ya.. Kalo masuk surga trus pengen buku, pasti akan ada juga :')

      Hapus
  2. Mimpinya sama denganku..punya ruang perpustakaan ya okeh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo mbak ade kayaknya sudah bakal terwujud nih :)

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)