Minggu, 04 Agustus 2013

Perihal yang akan Terindu tentang Ramadhan

Percayalah. Pertemuan denganmu adalah suatu hal yang istimewa.

Tanpa janji. Tanpa kata-kata. Tanpa jaminan. Namun nyatanya, kau hadir kembali di sini. Menyapa dengan cara yang paling halus dan jalan yang paling indah. Saat hilal menggantung di langit. Bulan baru kembali datang. Satu-satunya nama bulan yang tersebut dalam kitab suci. Betapa istimewanya dirimu.

Kau pun akan terus berjalan. Berlalu sesuai cara masing-masing orang menjamumu. Ah, betapa banyak keindahan yang hanya terjadi pada masamu saja. Segala janji tentang pahala yang bakal terlipatgandakan, juga pengampunan atas dosa-dosa. Apalagi yang kami butuhkan sebagai manusia selain itu semua?

Dua puluh tujuh kini. Angka itu menandai penanggalan hari-hari yang terlewati atasmu. Pagi ini, langit berwarna biru; indah sekali. Nyaris tanpa segumpal pun awan. Dengan matahari yang bersinar cerah namun teduh. Dengan angin yang berhembus sesekali memainkan pucuk-pucuk daun. Ini pagi yang sempurna, sebenarnya.

Namun, angka yang terus bertambah itu, tentunya adalah sebuah kegelisahan tersendiri. Sebentar lagi, kita akan kembali berpisah. Perpisahan seperti yang lalu-lalu; tanpa sedikitpun jaminan akan kembali berjumpa. Bukankah itu menyesakkan?

Televisi mulai sibuk menampilkan iklan-iklan tentang hari raya. Idul Fitri akan segera menjelang. Ya, aku tentu akan bersuka cita menyambutnya. Tapi kau tahu, selalu ada rasa haru yang menyelip tanpa izin di sana. Malam lebaran adalah malam dimana pintu-pintu surga dan pintu-pintu neraka akan kembali ke keadaannya semula. Jerat-jerat musuh manusia –syaithan laknatullah, akan kembali bertebar dimana-mana, mereka tentu ikut berbahagia dengan lepasnya belenggu mereka selama sebulan penuh.

Maka tiap pertemuan denganmu selalu punya ceritanya sendiri. Aku selalu ingat, dimasa mahasiswa baru dulu. Saat kami seangkatan bersepakat bahwa itulah Ramadhan terburuk bagi kami masing-masing. Berpuasa dengan tingkat emosi yang labil sebagai maba. Tugas-tugas dan rutinitas baru sebagai mahasiswa yang membuat segala agenda keteteran. Tadarus tak terkejar. Shalat dikerjakan dalam napas yang memburu. Pada suatu hari pada masa itu, aku keluar dari pintu mushala dengan wajah yang tidak terseterika; kusut. Seorang senior bersenyum indah menangkap itu sebagai sebuah sinyal bahwa diri ini sedang meminta nasihat.

“Yang penting tetap berusaha maksimalkan, Dik. Allah yang akan menilai.”, lalu ada haru yang terbit dengan kilatan bening di mataku. Ya, hanya dirimu duhai Rabbi, sebaik-baik penilai, sebaik-baik pemberi balasan.

Dalam rentang berikutnya, Ramadhan selalu mengingatkan pada sebuah kelurahan kecil yang memiliki hamparan sawah yang selalu kurindukan. Batu-Batu, namanya. Tersempil pada rentangan Soppeng yang memanjang. Lebih dari separuh Ramadhan 2011 terhabiskan di sana. Dan salah satu momen tak terlupakan itu selalu terulang. Tentang orkes keliling yang selalu membangunkan kami pukul dua. Tentang dua puluh rakaat yang tuntas dalam tempo sesingkat-singkatnya, plus ceramah dalam bahasa bugis yang hanya dapat kami tanggapi dengan anggukan sok tau. Betapa aku akan selalu merindukan semua itu. Lalu tahun berikutnya terlalui dalam keadaan praktek kerja. Pada sebuah apotek yang kini hanya tinggal nama. Kimia Farma Yuyi. Sosok orang-orang di dalamnya pun akan selalu kami kenang. Juga kebaikan hati tetangga apotek yang selalu turut serta membagi kepada kami takjil untuk berbuka. Ramadhan, dirimu adalah cerita saat kebaikan hati menemukan kemudahannya.

Lalu tahun ini dirimu kembali hadir.

Ada rupa-rupa kenikmatan yang terasai saat berkesempatan turut serta dalam momen pesantren kilat di beberapa SMA. Menyaksikan wajah-wajah polos dengan rasa ingin tahu itu. Mengenang pula peristiwa bertahun yang lalu, saat diri ini berada di posisi mereka. Ramadhan, dirimu adalah saat hati dilembutkan menerima kebenaran. Bolehkah aku berandai-andai suatu hari nanti akan bertemu dengan salah satu dari adik-adik SMA itu, lalu keadaan mereka telah lebih baik? Hati dan keimanan mereka, maksudku.

Setiap detik rasanya berlalu dengan begitu cepat kini. Pertemuan denganmu pun adalah saat dimana lebih mudah kukenang kembali beberapa sosok yang kini tak bisa bertemu denganmu lagi. Momentum akhir Ramadhan, saat kembali kutelusuri tiap nomor kontak di handphone demi mengirimkan pesan selamat berhari raya, adalah saat-saat dimana aku mengingatnya kembali. Dia yang kemarin-kemarin tak alpa untuk turut kukirimi. Namun, di suatu tahun, aku hanya dapat menatap nomor kontaknya dengan air mata yang tak bisa terbendung.

Seorang adik yang kutemui di awal-awal terjun di jalan cahaya, sekitar enam tahun yang lalu. Dirinya adalah semangat yang tak pernah padam. Masih sangat belia ia kala itu. Namun azzamnya adalah mentarbiyahkan seluruh muslimah di sekolahnya. Ia mendiskusikan itu denganku dengan optimis tingkat tinggi.

“Insya Allah bisa, kak. Kakak siapkan saja akhwat yang bersedia, saya yang akan mengatur teman-teman!”. ujarnya penuh semangat.

Dia adalah semangat yang tak pernah padam. Hingga waktu, yang akhirnya memadamkannya. Suatu hari, ia hadir dalam sebuah kabar duka. Dik, siapa sangka kau akan pergi mendahului kakakmu ini? Semoga tempatmu kini adalah taman diantara taman-taman syurga, sebagaimana semangatmu menghadirinya kala di dunia.

Ramadhan, dirimu adalah masa dimana kukenang orang-orang yang kini tak lagi dapat menjumpaimu. Seorang kakak yang berpulang beberapa waktu yang lalu. Entah mengapa semburat wajahnya akhir-akhir ini selalu datang. Dulu, kami bersama berjalan. Kini, saat kutatap sekeliling, ternyata ia tidak lagi ada. Doa yang sama bagimu, duhai Kakanda.

Adakah diri ini pun, suatu saat akan terkenang sebab tak bisa lagi berjumpa denganmu, Ramadhan?

Lalu kau pun akan segera berlalu, bukan? Tidak akan menunggu siapapun. Tidak akan berhenti barang sedikitpun. Betapa ruginya diri ini jika tidak mendapat ampunan saat berjumpa denganmu. Sementara dosa-dosa itu, ah, serupa gunung yang dapat longsor kapan saja. Betapa beruntungnya kita, sebab harap adalah bagian dari pilar ibadah. Sebab apa lagi yang bisa dikata, saat ibadah yang seuprit ini pun belum tentu Ia terima?

Lalu kau pun akan segera berlalu, bukan? Lagi, tanpa pernah ada janji akan berjumpa kembali. Padamu, aku pun akan selalu mengenangnya, dia yang menyumpal dua batu di perutnya, sebab tak ingin menyusahkan ummatnya. Kami mengenang namanya dalam haru dan penuh rindu, adakah kiranya Ramadhan ini menjadi saat turunNya rahmat Allah yang menjadi sebab diperjumpakannya kami kelak, dengannya yang setia menunggu di telaga?

Ramadhan, percayalah betapa pertemuan denganmu selalu istimewa. Dan perpisahan denganmu akan menyisakan pilu. Maafkan, sungguh maafkan kami yang tidak sempurna menjamu kedatanganmu. Semoga Allah mengizinkan kami kuatkan diri berketaatan di akhir-akhir ini, dan mengistiqamahkan diri meramadhankan hidup setelah dirimu ini berlalu. Di akhir masa ini, kami menerka rindu yang akan segera datang selepas pergimu.


Makassar, 27 Ramadhan 1434 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)