Senin, 15 Juli 2013

Malam Ketujuh Ramadhan

Malam ini saya berpikir tentang perbincangan dengan banyak orang di sore tadi. Mereka, sungguh orang-orang yang sangat baik sekali. Saya bersyukur mengenal mereka. Melihat sisi-sisi indah pada diri mereka. Sungguh, membersamai mereka mungkin adalah salah satu keindahan yang ditawarkan dunia, tanpa melupakan kehidupan abadi setelah kematian. Mereka berbicara tentang cita-cita jangka panjang. Bukan mimpi muluk-muluk tentang arogansi pribadi, tentu. Bahkan, jejak-jejak menjelajah yang mereka impikan dengan semangat itu, tetap dalam koridor untuk kemaslahatan orang banyak. Jauh dari kemilau dunia. Setiap bersama mereka, di ruang maya, apalagi dunia nyata, saya selalu merasa tidak pernah berbuat apa-apa. Tidak pernah beranjak kemana-mana. Bahkan merasa tidak pernah pantas berada di antara mereka. Baik secara raga, apalagi jiwa, juga fikriyyah. Mereka adalah rekan-rekan seperjalanan menuju puncak gunung, dan mereka tentu berada lebih di atas. Sesekali berbalik ke arah saya yang ketinggalan. Terseok-seok ingin pula menuju puncak. Berharap ada yang sudi untuk menjulurkan tangannya saat saya jatuh, atau tertinggal terlalu jauh. Meski saya selalu yakin, mereka tidak akan menolak untuk melakukan itu. Melihat mereka dengan segala ketaatannya membuat saya rasanya selalu ingin bertanya -pertanyaan retoris, tentu; bukankah bagi kalian syurga menjadi terasa dekat?

Tapi, mereka pun tetaplah manusia biasa. Punya khilaf dan salah. Persis pula seperti saya. Begitu Maha-Penyantun-nya Allah sehingga banyak aib saya yang ditutupiNya. Hasilnya; ekspektasi yang kadang menyakitkan. Betapa segala pujian terkadang lebih terdengar seperti sindiran betapa tinggi prasangka baik orang lain, betapa lembut hati yang berprasangka itu. Namun, kepada mereka -orang-orang yang baik itu, saya memutuskan untuk hanya memandangi sisi baiknya saja. Mungkin, itu adalah salah satu cara saya, untuk mencoba memahami bahwa memang, di dunia ini, malaikat tidak perlu punya sayap. 

Perbincangan sore tadi mengulas tentang kemenangan. Kemenangan yang dijanjikan, yang telah dekat waktunya. Ingin sekali rasanya turut menyaksikan kemenangan itu. Namun, saya sadar akan umur yang sama sekali tidak ada di genggaman saya. Tidak ada yang tahu masalah kapan kita akan mati, bukan? Maka selain dari bahasa arab yang ditransliterasi kebahasa Indonesia, saya kadang berpikir, bahwa tiga huruf dari nama depan saya adalah cara untuk selalu mengingat pemutus segala kenikmatan itu; die. Maka saat kememangan itu datang, saya dan mereka mungkin saja sudah tidak ada di dunia ini. Hanya menjadi cerita, atau mungkin terlupa. Maka alih-alih turut menyaksikan kemenangan, saya kini berpikir setidaknya bisa mengambil bagian kecil dari perjuangan kemenangan itu. Ah, perjuangan. Betapa beratnya kata itu, sebenarnya. Dan saya kembali mendapati diri yang sama sekali belum melakukan apa-apa. Hey, bahkan untuk diri saya sendiri! Saya berharap bisa menjadi manusia yang lebih baik jika mengingati kembali tiga huruf pertama pada nama depan saya. 

Dan saya menuliskan ini. Di suatu malam diantara malam-malam indah bulan Ramadhan. Bulan mulia yang kembali bertandang dengan segala kemuliaannya. Saya bermohon agar bisa menjalaninya dengan baik, agar bisa menambah bekal perjalanan panjang berikutnya. Walau rasanya pertanyaan itu masih saja berat dan menakutkan untuk dijawab; Jika Engkau ambil nyawa saya sekarang, Duhai Rabb, apa yang bisa saya banggakan di hadapanMu kelak? 

Makassar, 15 Juli 2013
Sambil bertanya pula; adakah blog ini sudah pantas untuk menjadi warisan yang baik?

2 komentar:

  1. ikut nyimak artikelnya, dik. afwan baru sekarang bisa ke sini...syukron

    BalasHapus
  2. afwan, baru sempat baca dik. tentu saja blog ini sangat pantas mnjadi warisan yng baik

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)