Rabu, 03 Juli 2013

Juara

Kau mencari namamu, yah?

Masih. Aku masih memandangmu dari jauh. Beralih dari satu daftar ke daftar yang lain. Nama-nama yang tertempel di masing-masing kelas itu adalah salah satu kabar awal tentang bagaimana kau akan menghabiskan waktu satu tahu ke depan. 

Aku tidak akan bertanya, mengapa setahun belakangan nilai-nilaimu sangat anjlok. Sama sepertimu, tentu aku tidak akan menyalahkan tentang tiga organisasi yang kau geluti sekaligus, bukan? Sebab sungguh, aku melihat dirimu menemukan 'jiwa' di sana. Atau, apakah ini tentang kawan-kawan sekelasmu yang melaju terlalu cepat? Sehingga kau lebih sering terengah-engah mengejar di belakang mereka. Entahlah. Tapi aku tetap bangga melihatmu kukuh untuk menatap lurus pada lembar soal dan jawaban meski sekelilingmu riuh memanfaatkan kesempatan saat pengawas lengah, misalnya. Aku bahagia kau akhirnya menemukan kebenaran yang sebenarnya. 

"Akulah perempuan paling pintar di sekolah ini! Mungkin, aku memang berada di nomer tiga, tapi lihatlah! Yang mengisi nomer pertama dan kedua khan laki-laki!", kira-kira mungkin itu yang muncul di kepalamu saat pertama kali melaju ke kelas unggulan itu. Namun aku tahu, akhirnya kau menyadari juga, bahwa ternyata tidak semua bahagia akan berjalan seterusnya. Kau melaju dengan teramat tinggi kala itu. Lalu setelahnya kau harus puas untuk turun dari ketinggianmu, bahkan harus pasrah meski dengan cara terjun bebas sekalipun. 

Maka di sanalah kau sekarang. Terpekur dengan mata terbelalak saat ternyata mendapati namamu di sana. Bertengger dengan manisnya di daftar di depan pintu sebuah kelas yang bagimu teramat asing. Orang-orang di dalamnya semuanya tidak pernah kau bersamai dalam dua tahun sebelumnya. Dan ternyata kau hanya perlu beberapa saat saja untuk menerima informasi, bahwa mereka; para pemuda-pemuda belia itu kebanyakan diperjumpakan dalam kelas tersebut dengan satu kesamaan; sering berbuat onar! Seketika, ada kabut di matamu. 

"Lihatlah! Bahkan wali kelas saja sulit untuk menerima kenyataan ini! Apalagi aku!," demikian jeritmu tertahan. Ini perihal seorang guru yang didaulat untuk menjadi nakhoda di kelas itu. Beliau bahkan butuh waktu tiga hari untuk kemudian benar-benar masuk ke kelas dan mendeklarasikan diri sebagai wali. 

"Jika bukan karena mendapati nama-nama guru favoritku dalam list guru yang mengajar di kelas ini, rasanya aku juga ingin mencari tempat lain...", ujarmu. Tentu hanya dalam hati. Sebab saat seorang siswi lain menyapamu, kau tetap berusaha menyunggingkan senyum yang paling manis, "Iya, aku akan tetap di sini...", itu yang akhirnya keluar dari bibirmu. 

Meski kemudian kau kembali menunduk. Terpekur saat mendapati pesan singkat dari ibumu. 
"Mau bagaimana lagi, jalani saja sisa masa SMA mu di kelas itu. Meski bukan kelas unggulan seperti dua tahun sebelumnya. Semoga kamu bisa mengambil pelajaran dari ini semua.". Lalu kau kembali setengah mati menyembunyikan air mata. 

Hari-hari berikutnya berusaha kembali kau lewati dengan terus berusaha menguatkan diri. Meski beberapa kawanmu kala itu tidak lagi memandangmu seperti dulu. Meski terkadang ada semacam sesak yang kau rasakan saat siswa kelas unggulan yang dulunya sekelasmu itu, begitu bersemangat bercerita tentang asyiknya atmosfer kelasnya sekarang; tanpamu. Dan itu menyakitkan. 

Baru saja kau menata-nata perasaan yang lebam-lebam itu, tiba-tiba seorang kawan bersenyum menawan memberi tahu sesuatu padamu. Di sebuah siang di beranda mushala..
"Ada yang ingin bertemu denganmu. Katanya, dia baca tulisanmu di majalah untuk murid baru...",  ujarnya. Seketika, aku bisa melihat cahaya dari matamu. 

Lalu akhirnya kau bertemu dengannya. Seorang murid baru yang mengenalmu lewat kata-kata. Kini ia duduk manis di hadapanmu sambil menggenggam majalah tempat tulisanmu berada. Ia terlihat begitu antusias. Begitu bersemangat. Kau bahkan hingga berpikir, "Inikah yang dirasakan seorang artis saat bertemu dengan fansnya?", lalu kau menyimpulkan senyuman. Berusaha untuk menghalau rasa GR itu. Namun, perasaan melambung-lambung itu tidak bertahan lama, saat kemudian pertanyaan itu muncul;
"Kakak di kelas mana?"
Senyummu pudar. Kau menyebutkan kelasmu. Dan tiba-tiba, antusiasme dan semangat itu, menghilang pelan-pelan. 

"Di saat-saat seperti itu tetap belajar?", gadis berjilbab itu bertanya padamu. Ini perihal masa libur beberapa hari yang sempat berlalu. Liburan yang kau habiskan dengan mencari-cari isomer dari berbagai rumus struktur, juga menghimpun beberapa rumus fisika yang telah diajarkan di pertemuan-pertemua yang lalu. 

"Ah, aku ini lemot. Kalau tidak begitu, otakku akan beku. Dan tidak ada lagi yang bisa diharapkan... Hehehe.." ujarmu, seolah bercanda. Padahal dalam hati, kau memahami hal itu sebagai kebenaran yang terang benderang. Kau harus belajar lebih keras. Bukan hanya untuk bisa membantu beberapa kawan sekelas yang kerap kali bertanya padamu. Bukan hanya agar layak disebut 'tentor sebaya' oleh guru matematikamu. Bukan. Ada semacam obsesi tersendiri yang kau simpan tentang angka empat puluh. 

Ya, angka yang menunjukkan jumlah kursi di kelas unggulan itu. Angka yang menasbihkan posisi bahwa diantara ratusan siswa yang ada di angkatan itu, di sekolah itu; hanya ada 40 anak yang berhak untuk menduduki kelas prestisius tersebut. Dua tahun lalu, namamu selalu masuk dalam daftar. Tahun ketiga, kau terdepak dari sana dengan sangat menyedihkan. Maka pada paruh pertama perjalanan tahun tersebut, kau tidak peduli lagi harus berbuat apa; yang penting bisa menyoretkan kembali namamu di sana. Tidak muluk-muluk; terserah mau di angka berapa; kau ingin berada diantara empat puluh nama itu! 

Lalu hari-hari pun kau lalui. Sebenarnya, aku senang melihatmu di kelasmu yang sekarang. Meski isinya bukanlah orang-orang serius seperti kelasmu sebelumnya, namun kini aku lebih mudah melihat senyumanmu yang merekah. Tertawa. Bahkan hingga berguncang terkekeh-kekeh. Kelas itu sebenarnya menyenangkan. Orang-orang di dalamnya senang sekali nyeletuk aneh yang dapat menimbulkan riuh bahagia. Mereka memang kadang berbuat onar, tapi setidaknya di hadapanmu, mereka bisa seketika menjadi sopan.

Tentu ini pengecualian pada tragedi-jempretan-di-upacara itu. Saat kau begitu murka -lagi, tetap dengan murka yang tertahan, saat sebuah kamera tanpa izin membekukan sosokmu dengan teknologi cahaya. Dan kau tidak menerima itu. Kau tidak rela, kau marah. Setelah itu kau terlihat lebih hati-hati. Untungnya, mereka pun akhirnya ikut lebih berhati-hati dalam memperlakukanmu. 

Hingga akhirnya hari itu pun tiba. Hari dimana hasil pembelajaran selama enam bulan akan diumumkan. Beberapa hari yang lalu, kau mendengar kabar yang pasti telah membuatmu tidak bisa tidur semalaman, khan? Ya, saat seorang kawanmu, yang juga sebelumnya menghuni kelas unggulan, namun juga terdepak dari sana, namun ia masih lebih beruntung karena 'terdapar' di kelas yang lebih dekat, menarikmu ke salah satu sudut beranda mushala sekolah. 

"Kamu juara umum!" pekiknya, tertahan. Takut membuat keributan. Kau hanya dapat melongo menatapnya sepersekian detik. Lalu kemudian menyemburkan tawa sambil menepuk pundak kawanmu itu. 
"Heiiii... Kalau mau bercanda tidak begitu juga, kali!", ujarmu, nyengir. Tapi kawanmu itu tidak terpengaruh. Ia malah dengan sigap menatap matamu lurus-lurus. 
"Aku. Tidak. Sedang. Bercanda." ujarnya. Kau kembali tertawa, berpikir bahwa akting kawanmu kali ini bagus sekali.
"Guru kimia menyebutkan namamu di depan kelasku. Beliau bilang nama itu tidak ada di kelas unggulan. Tapi nilainya adalah yang tertinggi diseantero kelas jurusan IPA. Dia penasaran, dan mengira nama itu ada di kelasku. Dan aku tahu betul, itu namamu!", ujarnya dengan geregetan. Tawamu seketika berhenti. Matamu yang dinaungi jejeran alis tebal itu kini membulat.
"Benarkah?"

Maka kau berdiri di sana. Diantara barisan kawan sekelasmu yang mulai riuh menyebut-nyebut namamu jelang pengumuman. Tapi kau masih terus meremas jemarimu sendiri. Basah. Kau tetap mengggigit bibir. Tegang. Bagimu, sebelum pengumuman resmi disampaikan, semua orang masih berpotensi untuk memberikanmu harapan semu.

Namun ternyata, namamu benar-benar disebutkan di sana. Sebagai peraih nilai tertinggi. Bukan hanya masuk dalam jajaran empat puluh yang selama ini kau letakkan di depan jidatmu untuk kau kejar selalu. Tapi namamu berada di puncaknya. Menggeser nama-nama lain yang selama enam bulan silam duduk manis di bangku kelas unggulan. Kau, yang sering diremehkan, yang hanya mendapatkan pengakuan di kelas yang di-under-estimate pula, ternyata bisa meraih apa yang selama ini tidak terpikirkan itu. 

Keriuhan terjadi. Ini sebuah anomali. 

Kau tersenyum. Tidak terlalu lebar. Namun, dalam hati, dirimu tengah berloncat-loncat kegirangan. Kau tersenyum. Mungkin lebih karena kau sadar, bukan hanya kau yang akan bahagia dengan semua itu. Sebab pada akhirnya kau mengerti, tentang langkah mundur yang membuatmu dapat melihat segalanya dengan sudut pandang yang lebih luas lagi. Tentang langkah mundur yang sukses meruntuhkan semua keangkuhan yang kau susun rapi tanpa sadar. Tentang langkah mundur yang membuatmu mengakui bahwa kau tidak sehebat yang kau bayangkan. Tentang langkah mundur yang membuatmu belajar tentang banyak hal.

Tentu tidak kau bayangkan khan, saat selepas upacara dan kau malah memilih untuk menunggu di mushala dan tidak langsung ke kelas. Kau tentu terkaget saat salah seorang kawan sekelasmu datang menyampaikan pesan. 

"Jangan berdiam di sini. Teman-teman tidak ada yang mau melangkah masuk kelas kalau kau tidak masuk lebih dahulu... Ayolah...", ujarnya sambil menarik-narik tanganmu. 

See...? Kau tentu teramat kaget, saat melangkah keluar dai mushala dan menuju kelas, ternyata telah begitu banyak orang yang memandang ke arahmu. Sebagian dari mereka bertepuk tangan dengan riuh. Membentuk semacam barisan penyambutan hingga kau benar-benar masuk kelas. Siapa lagi kalau bukan teman sekelas yang selama ini selalu membuatmu terpingkal-pingkal itu? Dan di sana, di kursi guru di kelasmu, sudah duduk wali kelasmu yang akhirnya mendapatkan kebanggaannya setelah enam bulan yang berat itu. Pada deklarasi juara sebelum-sebelumnya, hal ini tidak pernah terjadi.

Selepas menerima buku rapor, kau terlihat berdiri di beranda. Bersama gadis berkacamata dan tinggi semampai, gadis yang tempo lalu memberitahukan kabar itu padamu. 

"Ini bukan hanya kemenanganmu, Kawan. Ini kemenangan kita!", ujarnya sambil menatap pada ruangan kelas di pojok lantai dua di seberang sana. Ruangan kelas unggulan. 

Dan kau, kembali hanya tersenyum.

Biar kutebak!

Itu senyum kesyukuran, bukan?

Makassar, 3 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)