Kamis, 08 Agustus 2013

Interupsi

Itu memang menjadi satu hal yang masuk dalam daftar doanya. Diantara sujud-sujud hening dan berbagai hajat yang ia pinta. Baginya, segala hal yang diluar kendalinya harus benar-benar ia pasrahkan kepada Sang Pemilik Takdir. Tidak ada kompromi. Apapun yang terjadi kemudian akan berusaha ia hadapi. 

tapi, bukankah itu sedikit menakutkan bagimu?

Lalu sebenarnya malam itu biasa saja. Seperti hal-nya malam-malam yang lain setiap tahunnya. Saat pemerintah telah fix mengumumkan perihal hari raya, maka setiap rumah akan semakin bersemangat bersibuk-sibuk untuk mempersiapkan berbagai kebutuhan, termasuk di rumahnya. Maka Ramadhan baru sekejap undur diri dengan tampaknya selengkung bulan baru, saat kabar itu mampir padanya. Tercekatlah ia. Apakah memang, akan secepat ini sebuah doa dikabulkan? Pikirnya. 

Orang itu sangat ia percaya. Mereka memang sudah lama tidak berjumpa, namun itu tidak melunturkan apa yang selama ini selalu ia anggap sebagai hutang budi. Ia masih ingat saat mati-matian menahan air mata waktu melepas kepergian orang itu lewat perantara jaringan telepon. Ia sedang berada diantara ujian salah satu mata kuliah, hari itu. Namun informasi tentang kepergian orang itu terasa menjadi lebih penting baginya. Namun kini, tersebab kecanggihan teknologi, mereka menjadi dapat berbincang akrab kembali. Dan perbincangan yang bergulir itu kini memasuki babakan baru. Sebuah penawaran. Penawaran yang serius. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah dipikirkannya. Ini, benar-benar berada di luar kendalinya. 

nah, bukankah memang kita harus bertanggungjawab, bahkan atas doa?

Namun entah mengapa, diantara kegamangan yang ia simpan sambil menyetrika, berbenah, mengepel, dan mengupas ini-itu, justru yang muncul adalah sebuah keraguan. Keraguan itu lalu seolah menarik sosok lain yang meminta sebuah perbandingan. Semacam pengandaian yang membuat ada semacam nyeri di sudut hatinya. Bukan pertama kali ia menghadapi hal semacam ini, namun entah mengapa kali ini rasanya cukup menyiksa. 

Rasa kaget, sedih, gusar, dan harap bercampuraduk menjadi satu. Tertumpah ruah kembali di atas sajadah. Pada akhirnya ia mengaku diri, ia tidak sepasrah itu. Apakah itu sisi manusiawinya, jika ia tetap merasa menghendaki sesuatu, lalu merasa bahwa itu akan membuatnya lebih baik? Entahlah. Hanya saja, di titik itu, ia merasa seperti sedang berbincang dengan dirinya sendiri. Menjawab pertanyaan yang ia buat sendiri. Menerka apa yang selama ini dilakukan oleh otak dan hatinya; adakah keduanya telah seiring sejalan? 

lalu sekarang bagaimana?

Rasanya ia ingin saja segera datang malam. Saat dimana matanya benar-benar ingin terpejam. Pengecut sekali, kedengarannya. Tapi, jika memang yang ia rasa adalah rindu, ia bahkan hingga merasa harus mengadu; sekali ini, ia ingin berjumpa, meski di mimpi. 
Makassar, 8 Agustus 2013
1 Syawwal 1434 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)