Senin, 11 Mei 2020

POST POWER SYNDROME (?)

*tulisan lawas, empat tahun lalu yang saya angkut dari status FB untuk di-'abadikan' di sini. Masa-masa awal jadi ibu. Fayyadh masih bayi. Kami, ibu baru dan bayi mungil yang kala itu sedang berjuang untuk beradaptasi dengan dunia baru masing-masing. FYI, hingga sekarang, empat tahun sejak tulisan itu saya buat, saya masih berada di kondisi yang sama. Masih ibu rumah tangga yang benar-benar hanya tinggal di rumah, tanpa punya jadwal rutin apapun di luar rumah. Bedanya, anggota kami sudah bertambah satu orang (welcome, Fawwaz 😁), dan perasaan seperti ini terkadang masih seringkali datang menghampiri. Iya, rasa jenuh itu masih datang sesekali, bahkan kadang masih sampai mampu membuat saya menangis diam-diam. Tapi.... Yang penting kan bisa bangkit lagi ya. Temukan support system yang tepat untuk membantu meraih tangan kita agar tak terpuruk terlalu dalam dan terlalu lama. Pertama, akui dulu rasa yang ada. Dengan diri sendiri, tak usah tutupi apa-apa. Jika jenuh, akui jenuh itu. Jika lelah, akui lelah itu. Tapi sadar, bahwa jika takdir itu ditetapkanNya, maka insyaallah kita bisa melaluinya. Alhamdulillah... Dear Diena, terima kasih sudah melewati itu semua yaa... 
.
.
.
POST POWER SYNDROME (?)

'Jenuh sekali rasanya. Setiap hari hanya berputar pada rutinitas itu-itu saja.' 

Sebaris pesan itu saya kirimkan pada suami yang sedang di luar rumah sore itu. Tanpa tedeng aling-aling, saya mengirimkan mesej galau itu yang segera dia balas dengan tawaran refreshing. Namun saya tidak membalasnya balik. Hanya mendengus berat lalu segera menuju kamar mandi dengan tampang semrawut. Hari itu rasanya lelah sekali. Seharian bayi saya rewel dan terus menerus minta digendong. Sembari saya mendampingi ibu di kamarnya dan membantunya untuk hal-hal yang tidak bisa dikerjakannya sendiri. Hari itu rasanya lelah sekali, namun saya tahu, bukan hanya raga ini yang lelah. Tapi jiwa saya yang sedang berada di limit tenaganya. 

Sejak beberapa waktu sebelumnya saya sudah merasakannya, namun kali itu saya tidak lagi bisa menahan diri untuk tidak mengungkapkannya. 

''Rasanya malas sekali... besok bangun di pagi hari dan tanpa tujuan hidup apa-apa... '' ujar saya sambil berbaring. Suami yang sebelumnya tengah menekuni sesuatu di layar ponsel, segera meletakkan benda itu dan memanggil saya untuk mendekat padanya. Sepertinya ia menangkap alarm yang tengah berbunyi lewat kata-kata dan ekspresi saya yang mengucapkannya dengan mata menerawang. 

Dalam pada itu, saya tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis. Saya hanya menangis sesunggukan tanpa mengatakan apapun. Suami pun memilih untuk menunggu dan tidak menanyakan apapun. Rasanya dada saya sesak sekali. Rasanya hidup ini sempit dan sendu sekali. Saat tangis saya mereda, baru suami saya memberikan nasihat agar saya tidak membandingkan hidup saya dengan orang lain. Bahwa apa yang saya jalani kini adalah yang terbaik, bahkan mengumpulkan ladang -ladang pahala besar melebihi siapapun di rumah kami; sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu. 

Di akhir malam itu, saya terbangun dan kembali menangis seorang diri dalam kegelapan malam. Kali ini menangisi kelemahan saya sendiri. Saya menatap wajah polos bayi saya yang tengah tertidur pulas. Membelai kepalanya dan sadar bahwa setiap anak berhak dibesarkan oleh seorang ibu yang waras. Maka kegalauan ini harus segera saya selesaikan. 

Sebelumnya, saya sering menatap keluar jendela, memandangi siang hari sambil mengingat kembali bahwa di tahun-tahun  sebelumnya saya sedang berada di kampus untuk menyelesaikan banyak hal. Bahwa dulu, di siang seperti itu saya tengah berada di majelis musyawarah dan membincangkan program kerja dengan serius. Di siang seperti itu, saya kadang sedang dalam perjalanan setelah seabrek kegiatan yang melelahkan. Namun kini saya mendapati diri sebagai seorang perempuan pengangguran dengan dua gelar di belakang nama namun hanya tinggal di rumah sambil jualan popok kain.

 Saya kemudian mengasihani diri sendiri. Membandingkan kegembiraan orang lain dengan kesedihan saya. Sebuah perbandingan yang sungguh tidak nyambung. 

Saya tidak ikhlas. Ya, akarnya mungkin berada di sana. Saya belum benar-benar ikhlas untuk menjalani apa yang Allah takdirkan pada diri saya sekarang. Dampaknya, saya menutup mata dari berbagai keutamaan yang sebenarnya tengah terbuka lebar di hadapan saya. Keutamaan untuk meraih pintu surga yang paling tengah itu, untuk meraih ridha suami hingga menjadi sebab turunnya rahmat Allah hingga memasukkan ke jannah, untuk mendidik generasi yang kelak membangun peradaban dan menjadi anak shalih yang terus mendoakan. Saya menutup mata dari semua itu dan sibuk pada hal-hal duniawi yang kini tak bisa saya raih. Saya mengharapkan eksistensi dan aktualisasi diri, ingin berada di bawah sorotan lampu dan tatapan mata yang mengagumi. Saya menjadi picik, dan nyatanya itu yang paling menyedihkan dari semuanya. 

Saya bersyukur dapat melewati masa itu dan berharap tidak perlu mengulanginya lagi. Saya ingin menghijaukan rumput di halaman rumah saya sendiri tanpa harus sibuk memandangi rumput orang lain dengan tatapan iri. Kehidupan ini akan kembali indah sebagaimana adanya selama saya masih mau berusaha bersyukur dan bersabar di dalamnya. Dan kini saya mendapati, betapa beruntungnya saya jika bisa terus sadar dan bertaubat dari kekeliruan pikir saya yang dulu itu. Kehidupan ini akan indah sebagaimana adanya, selama saya menjalani dengan ikhlas. Karena Allah saja. 

A morning note for myself. Keep fight till the end, Dien! 
26 Agustus 2016

1 komentar:

  1. MasyaAllah.
    Sama, senasib. Semoga saya bisa ikhlas juga. Hiks.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)