Senin, 22 Juni 2020

Lintasan Malam

"Apa sih susahnya taat pada suami jika sudah tahu bahwa itu akan berbuah surga?" 

"Apa sih beratnya menahan diri untuk membentak anak jika memang paham bahwa itu hanya akan merusak sel-sel otak mereka?"

"Kenapa sih harus minder jadi ibu rumah tangga padahal itu pekerjaan yang sangat mulia?"

"Kenapa harus insecure dengan pencapaian orang lain kalau memang yakin bahwa yang dijalani saat ini adalah yang terbaik?"

Sederet pertanyaan itu muncul dalam diri saya, bertahun-tahun yang lalu, saat masih berstatus singel, dan sudah hobi membaca dan mengoleksi buku tentang rumah tangga dan parenting. Hal-hal ideal berkelindan di kepala plus dengan rasa jumawa bahwa semua itu nanti akan terlewati dengan mulus-mulus saja; toh, saya sudah punya ilmunya! 

Tapi begitulah, jika ilmu di kepala belum dihadapkan dengan ujiannya. Dan ternyata, semua hal yang dahulu saya pertanyakan itu benar-benar hadir dalam bentuk nyata; ujian praktek yang menuntut jawaban segera, tidak boleh nyontek, dan bukan dijawab dengan kata-kata belaka. Saya, yang merasa punya kepribadian yang tenang dalam menghadapi sesuatu, nyatanya mendapati diri lebih sering menjadi 'naga' daripada menjelma 'ibu peri' dalam perjalanan berumah tangga. Huuft....

Maka benarlah, bahwa sejatinya ilmu adalah saat kehadirannya membuat kita semakin takut kepada Allah. Rasa khauf yang membawa kita pada keinsyafan untuk senantiasa membawa setiap perjalanan hidup pada arah yang diridhainya. Dan menjalani rumah tangga sebagai bentuk peribadatan terpanjang dan terlama, nyatanya memang menghajatkan napas kesabaran yang panjang. 

Seorang kakak bernasihat di awal pernikahan saya, bahwa menikah berarti berusaha untuk mengalahkan bisikan setan yang hadir di antara satu waktu shalat dengan waktu shalat lainnya; sepanjang waktu! Dan benarlah, percaya tidak percaya, terkadang saya benar-benar merasa mampu mendengar secara lugas saat bisikan-bisikan itu terasa begitu nyata di telinga. 

Bisikan untuk mengucapkan kata-kata yang mungkin tidak akan sampai membuat suami marah, tapi sudah pasti akan saya sesali mengapa harus saya utarakan pada ia yang kini ridhanya adalah surga. 

Bisikan untuk melakukan hal-hal yang bakal membuat kenangan yang buruk dalam ingatan anak-anak saya meski barangkali setelah itu mereka akan kembali memeluk dan mengajak saya bermain bersama, namun saat setelahnya memandang wajah mereka terlelap, yang tersisa hanyalah penyesalan atas setiap ketidaksabaran menghadapi mereka. 
.
.
Dan yang lebih menyedihkan dari itu adalah, saat kemudian mendapati diri, bahwa sejatinya itu semua bukan lagi bersumber dari bisikan si musuh utama, namun ternyata hadir sebab hasutan dari nafsu diri sendiri, yang masih perlu terus berlatih agar terkendali. 
.
.
Pernikahan adalah jalan yang panjang, bersama orang-orang terkasih yang akan menjadi saksi diri kita yang seutuhnya. Keluargalah itu yang bisa memberikan validasi paling konkret atas diri kita. Yang bukan hanya melihat kita pada satu sudut peristiwa saja, hanya satu rangkaian acara saja, hanya sekelumit muamalah saja, hanya sepetik kejadian saja. Mereka telah dan akan mendapati kita pada sisi-sisi terbaik, sekaligus juga mungkin pada sisi kita yang paling rapuh. Kebersamaan dengan mereka tidak akan selamanya, akan ada masa di mana perpisahan akan ditakdirkan dengan cara yang Allah gariskan. Di titik di mana jalan hidup kita tidak lagi bersinggungan itu, mudah-mudahan bukanlah menjadi masa di mana kita baru menyesali, segala tingkah laku yang ternyata masih bisa diperbaiki. 

#notetomyself
23062020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)