Selasa, 14 Januari 2014

Yang Melebihi Kasih Ibunda

Tidak mungkin, ya Rasulullah!”, kira-kira demikian jawaban para shahabat atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka.

Saat itu, mereka baru saja menyaksikan sebuah kejadian yang haru. Baru saja seorang ibu menemukan anaknya yang hilang beberapa waktu. Anak itu masih dalam usia disusui. Kehilangan permata hati tentu membuat sang ibu sedemikian kalut dan cemas. Tidak heran, jika saat ia menemukan anaknya, ia langsung mendekapnya erat. Segera dipeluk dengan hangat dan disusui dengan penuh cinta. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyia-nyiakan momentum itu untuk kembali memberi kita pelajaran nan indah. Beliau lalu bertanya pada para shahabat yang membersamainya,

“Bagaimana menurut kalian,” , Sang Nabi memulai pertanyaannya,  Apakah ibu itu tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?

Maka tentu sama halnya dengan apa yang kita pikirkan, serta merta para shahabat yang ditanya pun menjawab dengan spontan. “Selama ia masih bisa mempertahankan anaknya, tidak mungkin ibu itu akan melemparkan anak yang baru ia temukan ke dalam kobaran api! Tidak mungkin!”.

Ya, sungguh jawaban yang jelas dan terang benderang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanyakan hal itu tentu bukan sebab beliau menyangka para shahabat tidak mampu menjawab secara benar. Namun sebelum kita menyibak untaian hikmah dari kejadian itu, mari kita membawa ingatan dan pikiran kita kepada satu sosok, wanita yang paling pertama kita rasakan kasihnya; Ibu.

Ibu. Sosok manusia biasa yang mungkin bagi kita begitu sederhana. Di kala dewasa, kita bisa saja begitu sibuk tumbuh dan berkembang dengan segala mimpi yang kita punya. Semoga kesibukan itu tidak membuat kita lupa, bahwa wanita yang sangat kita cintai itu pun terus menua.

Namun, bagaimana pun kondisi ibu kita sekarang, tentu masa lalu tidak akan pernah berubah. Ada masa dimana wanita itu menanggalkan semua sifat manusiawinya. Bukankah tiada yang melebihi kesakitan saat seorang perempuan melahirkan anak? Lalu siapa pula manusia di dunia ini yang rela bersakit-sakit dan berpayah-payah menanggung derita? Ya, dialah Ibu. Yang dengan curahan tangis, peluh, dan darahnya, rela merasakan derita hanya untuk menjadi jalan hadirnya kita di dunia. Bahkan saat tangis kita pecah, ia dalam segala nyeri yang ia rasa, justru malah tersenyum dan mendekap kita dalam pelukannya.

Dan waktu pun terus berjalan, kita tiada henti menyusahkannya. Tidak cukup dengan kerepotan yang kita timbulkan atasnya saat kita dikandung, kita kembali membuatnya susah saat harus disapih dan disusui. Diperhatikan di kala terjaga, bahkan saat telah terlelap. Seolah tidak boleh seekor nyamuk pun yang hinggap di kulit kita. Ditenangkan dengan berbagai cara saat kita rewel, bahkan ibu rela sakit demi kita, rela begadang, rela melakukan apa saja demi anaknya.

Demikian pula dengan ayah. Lelaki itulah yang mencurahkan segenap kekuatannya demi kepingan rejeki yang hanya untuk kita, anak-anaknya. Ayah menahan lapar meski ada uang di kantong dan ada warung di hadapan, hanya agar bisa menikmati santapan rumah bersama-sama. Ayah bekerja dan melindungi kita di waktu yang bersamaan. Ayah rela tidak tidur, bahkan meski esoknya harus kembali bekerja, hanya untuk menemani kita yang sedang sakit semalaman. Ayah membela kita, dan memberikan kita rasa aman siang dan malam.

Betapa besar kasih sayang keduanya kepada kita. Bahkan sejak kita belum dilahirkan, hingga kita telah dewasa, tak putus-putus doa-doa mereka untuk keselamatan kita, bahkan meski tanpa kita pinta. Dan saat kita tersalah, mereka mungkin akan sejenak marah dan kecewa. Namun mereka memaafkan kita, bahkan sebelum kita meminta maaf. Bahkan, meski kita lalai dan tidak merasa bersalah atasnya.  

Maka mari kita kembali pada kisah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat di atas. Lalu bersama kita temukan bahwa ternyata, ada yang melebihi kasih sayang keduanya.

Saat mendengar jawaban para shahabat perihal ibu yang baru saja menemukan anaknya itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah lebih sayang kepada hambaNya, dibandingkan kasih sayang ibu kepada anaknya tersebut!

Ya. Allah-lah itu Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ar Rahman, Ar Rahim yang kasih sayangnya melebihi kasih ibunda.

Maka kasih sayang itu memang tidak selalu berarti pembebasan kepada kita untuk melakukan apa saja. Pernahkah kita melihat seorang anak kecil yang bermain-main dengan pisau dapur? Ia belum mengerti bahwa pisau itu berbahaya untuknya. Maka saat ayah atau ibunya mendapatinya, tentu keduanya akan segera mengambil pisau itu darinya. Anak kecil itu mungkin akan menangis meraung-raung karena tidak terima. Ia akan memelas dan meminta agar ‘mainan’-nya itu dikembalikan padanya. Apakah perbuatan orang tuanya itu salah? Apakah itu pertanda bahwa anak itu tidak disayangi? Tentu saja tidak. Justru sebab rasa sayang itulah, harus ada larangan yang bertujuan untuk menjaga kesalamatan sang anak. Harus ada aturan, yang berfungsi agar si anak tetap aman dan terhindar dari keburukan.

Maka demikian pula dengan perintah dan larangan dari Allah. Allah Subhana Wata’ala telah menurunkan petunjuk kepada kita, bukan untuk membuat kita sulit. Bukan untuk mengekang kebebasan kita. Bukan untuk memenjarakan kita dalam tembok-tembok yang menyedihkan. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi kita, sepanjang masa.

Thaha.Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi sengsara” (QS. Thaha [20]: 1-2)

Sungguh. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai wujud sayangNya kepada kita semua. Tak berbeda dengan petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pernahkah kita merasa berat untuk mengerjakan sunnah? Adakah kita terkadang heran dengan larangan-larangan yang terpatri dalam hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam? Adakah Rasul adalah orang yang kejam yang bisa membuat kita menjadi berada dalam malapetaka? Atau menjadi kampungan dan tertinggal dari roda jaman? Sekali-kali tidak! Bahkan beliau telah disifatkan oleh Allah sebagai seorang yang amat besar kasih sayangnya.

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah [9]:128)

Allah memerintahkan kepada kita berbuat kebaikan, Allah memerintahkan kepada kita untuk senantiasa berdzikir mengingatNya. Allah, Rabb yang menciptakan kita yang paling tahu bahwa tidak mungkin ketenangan dan kebahagiaan akan hadir kecuali kita berdizikir kepadaNya. Dan hanya dengan amal shalih kita bisa memeroleh kehidupan yang baik. Allah memerintahkan kita shalat, puasa, zakat, menutup aurat, berakhlak baik, menjaga kesucian dan pergaulan, dan berbagai amalan lainnya, untuk membuat hidup kita menjadi selamat. Sebab hidup ini hanya sekali, hidup ini sungguh fana, dan begitu merugi kita jika menyia-nyiakan kesempatan yang ada di dalamnya.

Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d [13]: 28)

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. An Nahl [16]:97)

Seorang ayah tentu akan marah jika anak gadisnya keluyuran di malam hari. Seorang ibu tentu akan tidak senang melihat anak lelakinya merokok. Keduanya melarang anak-anak mereka dari hal-hal yang buruk, bukan untuk membuatnya terlihat kuno dan kolot. Namun sebab mereka sangat menyayangi anaknya, dan tidak ingin melihatnya berada dalam kesalahan. Jika logika ini dapat kita terima, maka tentu kita pun bisa memahami, mengapa Allah melarang kita berbuat maksiat? Mengapa Allah menurunkan berbagai macam larangan yang sekilas nampak membuat hidup ini susah dan ribet untuk dijalani. Dengarkanlah, Allah paling tahu, bahwa perbuatan buruk hanya akan membuat hidup kita sempit, bahkan membawa hal-hal buruk itu hanya akan kita sesali di hari akhir nanti. Apakah kita menyangka bahwa kita akan hidup selamanya? Ataukah kita kita bahwa setelah kematian tidak akan ada pertanggung jawaban atas setiap perbuatan?

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]: 124)

Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang terburu-buru untuk membantah perintahNya. Semoga kita terhindar dari sifat sombong, menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, hanya sebab sedikit kedudukan dan gelar yang menyemat pada nama kita. Semoga kita termasuk dalam barisan orang-orang yang beruntung, yang memandang segala aturanNya sebagai sesuatu yang begitu indah. Sebab, kita sedang berhadapan dengan kasih sayangNya.
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Nur [24]:51)

A note to my self. Dituliskan berdasarkan ceramah singkat Ustadz Muhammad Nuzul Dzikry. “Melebihi Cinta Ibu kepada Anaknya” di Yufid.TV

Makassar, 12 Rabiul Awwal 1435 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)