Jumat, 10 Januari 2014

Sudahkah Kau Berjihad?


Banyak orang yang merasa sedang berada di dalam barisan jihad, padahal sebenarnya tidak. Mereka menganggap dirinya telah melakukan yang terbaik, namun sebenarnya mereka adalah orang yang sangat merugi.
Jihad. Sebuah kata yang menghadirkan kesan tersendiri saat ia diucapkan. Beberapa kalangan mungkin akan bergidik saat mendengarnya. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai hal yang biasa, bahkan merasa telah melakukannya setiap harinya. Nah, adakah kita benar-benar telah memahami maknanya?

Jika kita merujuk pada definisi, maka tentunya tidak lepas dari dua tinjauan. Aspek bahasa dan aspek istilah. Pada aspek yang pertama, kata jihad terdiri atas tiga huruf; jim, ha, dan dal. Kata ini menunjukkan masyaqqah atau kesulitan, kesukaran, dan hal-hal lain yang semisal dengannya. Di lain sisi, kata ini juga mengandung makna potensi dan kekuatan. Pada kesimpulannya, secara bahasa, kata jihad merujuk pada penggunaan kekuatan untuk mencapai tujuan dalam menghadapi kesulitan. 

Sedangkan dari aspek istilah atau syar’i, jihad bermakna memerangi orang-orang yang menghalangi Islam dengan menggunakan senjata. Pada tinjauan ini, jihad bermakna peperangan melawan orang-orang yang memerangi Islam. Tapi, apakah jihad selalu bermakna demikian saja? Mari kita simak salah satu firman Allah dalam al Qur’an;

Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (QS. Al Furqan [25]: 52)

Jihad yang besar dalam ayat ini, justru digambarkan dengan jihad menggunakan al Qur’an. Ya, jihad pun menyimpan makna sebagai segala upaya untuk menegakkan dienullah dan mencari keridhaan Allah. Makna jihad ini dapat menjadi jalan dalam terwujudnya kemenangan dalam jihad dalam arti peperangan, sehingga jihad dengan al Qur’an tidak boleh disepelekan karena anggapan bahwa baru dikatakan berjihad jika telah menggunakan senjata dan menumpahkan darah. Dakwah pun adalah jihad. 

Tidak membatasi jihad hanya dari makna perang bukan pula berarti memudah-mudahkan makna jihad. Sebab hari ini, tidak sedikit pula yang memahami jihad dengan cenderung menggampangkan diri menganggap dirinya telah berjihad. Tentu sulit disebut jihad jika bersedekah seribu rupiah sementara di dompet masih tersisa ratusan ribu banyaknya. Tentu aneh disebut jihad yang diberikan hanyalah sisa-sisa waktu dan tenaga belaka. 

Maka pertanyaannya, adakah kita telah berjihad? Untuk menjawab itu, mari kita muhasabah diri ini, apakah kita sudah memenuhi tiga komponen utama yang harus ada saat seseorang menyebut dirinya tengah berjihad. 

Pertama, kesungguhan. Kesungguhan berarti memberikan perhatian yang banyak pada sesuatu. Jika sesuatu yang ia perjuangkan itu telah menjadi bahan pemikirannya setiap saat dan setiap waktu, maka itu pertanda bahwa kesungguhan itu telah ada pada dirinya. Bagaimana mungkin disebut sungguh-sungguh jika tidak ada perhatian dan justru lebih banyak lupa? Astaghfirullah.. Kesungguhan juga berarti adanya persiapan. Banyak orang yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan apa yang ingin ia capai hanya karena tidak melakukan persiapan di dalamnya. Sebaliknya, seseorang yang tidak benar-benar menginginkan sesuatu dengan sungguh-sungguh tentunya akan malas untuk mempersiapkan dirinya. Demikian Allah menggambarkan kondisi orang-orang munafik yang enggan untuk turut berangkat ke medan jihad. 

Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (QS. At Taubah [9]: 46)

Hal lain yang berkaitan dengan masalah kesungguhan adalah kontinyu dalam melakukan sesuatu. Tidak hanya bersemangat di awal, lalu layu kemudian. Tidak hanya membara pada permulaan tapi justru melempem di akhir-akhir perjuangan. Bukankah Allah mencintai amalan yang sederhana namun selalu dijaga agar terus dikerjakan? 

Kedua, berjihad tentu mengandung pengorbanan. Tidak dapat disebut berkorban jika tetap merasakan yang nyaman-nyaman saja. Tentu akan terlewati pula masa-masa yang sulit, atau harus dipertaruhkan berbagai kepentingan lain, segala potensi yang ada, bahkan hingga hal-hal yang sebenarnya kita cintai. Bagaimana disebut jihad jika yang diberikan hanyalah yang sisa-sisa? Yang bahkan meski kita kehilangannya, kita tidak akan merasakan kerugian apa-apa? Bukan. Itu bukan pengorbanan. Bahkan, para shahabat yang mulia pun membenci perang. Fitrah mereka sebagai manusia biasa pun tidak senang dengan anyir darah dan beratnya perpisahan. Namun memang demikianlah jihad, ia adalah berkorban.  

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah [2]: 216) .

Yang terakhir adalah kesulitan. Kesulitan memang sangat dekat maknanya dengan kata jihad. Kesulitan untuk menghadapi segala hal, mulai dari perasaan yang tersakiti, hingga melayangnya nyawa. Kesulitan yang merupakan ujian yang juga turut menjadi saringan yang akan memisahkan antara mereka yang memang benar-benar ingin berjuang dan dengan mereka yang hanya bisa mengucapkan perjuangan itu sebatas di bibir saja.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran [3]: 143)

Penyebutan kata ‘sabar’ setelah kata ‘jihad’ dalam ayat ini memperjelas makna ‘kesulitan’ yang terdapat dalam jihad.

Tersebutlah cerita tentang sepasang suami istri yang menempuh perjalanan 700 km dengan menggunakan sepeda motor. Apakah yang hendak mereka tuju? Adakah harta yang dijanjikan di tempat tujuan itu? Ataukah mereka bisa memeroleh popularitas dengan perjalanan yang berat lagi sulit itu? Apakah waktu dan tenaga mereka akan terbayar jika telah sampai? Bahkan, mereka sempat harus mengalami kecelakaan di jalan, juga turut membantu orang yang mengalami kecelakaan pula. Sepeda motor itu digantungi dengan perbekalan yang bahkan disantap sambil kendaraan sedang melaju, sang istri menyuapi suaminya yang tetap menjalankan motornya, demi menghemat waktu. Ada pula pompa ban manual yang mereka siapkan sekiranya ban motornya kempis di jalan. Kehabisan bensin? Jangan ditanya, tentu hal itu kerap kali mereka alami dalam perjalanan panjang nan melelahkan itu. Lalu, apa sebenarnya yang mereka cari? 

Kesungguhan, pengorbanan, dan kesulitan telah terhimpun dalam cerita ini. Ya, mereka tengah berjihad. Mereka menuju tempat dimana mereka yakin akan menemukan tambahan ilmu, sekaligus melaporkan keadaan dakwah yang tengah mereka rintis. Tidak usah persoalkan tentang pengadaan dana yang seharusnya disiapkan untuk keberangkatan itu, sebab nyatanya, mereka telah berusaha mengumpulkannya, hingga akhirnya menyanggupi untuk menggunakan jalur yang dianggap paling hemat. Bahkan cerita ini pada awalnya tidak ingin mereka bagi pada siapapun. Sebab ya, jihad itu karena Allah, tidak perlu pula penilaiaan dari siapa-siapa yang hanya setingkat makhlukNya. Tapi Allah menakdirkan cerita ini sampai kepada kita, tentu bukanlah sesuatu yang sia-sia.

Sungguh, sudah sepatutnya kita berhenti sejenak dalam arus detik kehidupan kita. Sudah seberapa sering kita menganggap diri kita berkorban dalam jihad. Seberapa banyak kita telah merasa ikhlas dan menilai diri tengah berjuang. Tapi adakah itu semua telah terisi dengan kesungguhan, pengorbanan, dan kesulitan? Maka setelah kita memahami makna perjuangan, dan menemukan cerita nyata yang hari ini terjadi dan dilakukan oleh saudara-saudara kita, mari kita mematut diri di hadapan cermin. Menatap pada bayangan yang terpantul di sana, lalu tanyakan padanya; sudahkah kau berjihad? 

Oleh-oleh dari sebuah pagi di 4 Januari 2014
Makassar, 10 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)