Senin, 06 Januari 2014

Pada Suatu Hari Nanti

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni pg. 111)

Saya sedang berdiri di depan pukis-pan, menatap dua batch terakhir adonan pukis yang baru mencapai hasil maksimal setelah beberapa kali revisi #halah. Tiba-tiba adik sepupu saya muncul dengan sebuah bungkusan berwarna ungu muda di tangannya, baru saja ia terima dari seorang kurir, katanya. Dan itu adalah paket yang saya tunggu-tunggu dalam beberapa waktu ini. Paket dari seseorang yang spesial di pulau seberang.

Senyuman bahkan sudah mampir duluan di bibir saya sebelum melihat isi paket itu. Sebenarnya, isinya sudah dapat saya tebak. Namun entah mengapa, sensasi tersendiri selalu saja muncul setiap menerima kiriman macam begitu. Apalagi kali ini saya tahu betul, bahwa sesuatu yang istimewa akan segera saya terima. Sebuah buku Sapardi Djoko Damono, sepucuk surat cinta, dan sebuah undangan yang membawa kabar bahagia. Kau tahu, betapa bahagianya saya saat mendengar kabar itu. Seperti ada seseuatu yang mumbuncah di dada ini, bekerjasama dengan baik dengan sesungging senyuman yang rasa-rasanya tidak cukup untuk mengejawantahkan kebahagiaan itu. Aneh memang, mengingat secara intensitas berinteraksi apalagi pertemuan yang baru hanya sekali, serta dengan bentangan jarak yang jauh, mengapa saya bisa sepeduli itu? Namun kemudian saya menginsyafi, demikianlah ukhuwah itu bekerja. Begitulah persaudaraan ini telah mengeratkan kita. Maka sekali lagi harus saya sampaikan hal ini; saya sangat berbahagia untukmu, Kak Ai.

Dituliskan pada 31 Desember 2013; sepucuk surat, buku SDD, dan undangan walimah Kak Ai
 

Kak Ai. Sosok pecinta semangka yang saya kenal lewat dunia blog di multiply dahulu. Saya sering melihatnya malang melintang dengan postingan yang selalu ramai komentar. Atau menemukan namanya menyempil diantara komentar rekan-rekan blogger lain yang nampak begitu akrab dengannya. Pada suatu waktu, saya melihat postingannya tentang buku barunya yang baru saja terbit; Surga di Telapak Kaki Ayah. Nama lengkapnya Sari Yulianti, dan kala melihat informasi itu, saya kemudian baru sadar mengapa ia cukup eksis di ranah MP; Ooh..rupanya penulis buku toh... Batin saya.

Hingga kemudian kami sempat membuat sebuah lomba menulis bersama, didukung oleh beberapa blogger lainnya. Kak Ai, proyek menulis dari lomba itu sepertinya harus kita tuntaskan tahun ini.. *sigh*. Dan sepertinya, dari sanalah kami kemudian menjadi akrab. Bahkan meski kemudian para blogger MP digusur dari rumahnya sendiri saat fasilitas blog MP dihapuskan, kami tetap keep in touch *ceile.. Kak Ai adalah orang pertama yang menyapa saya dengan sebutan ‘Rifa’, nama tengah yang kemudian saya jadikan nama pena. Kak Ai pula yang membantu saya untuk bisa masuk ke sebuah komunitas menulis keren bernama Be a Writer yang dikomando Mbak Leyla Imtichanah, serta turut serta dalam proses penerbitan Jeda Sejenak dan memberikan endorsment untuk manuskripnya.  Dan sungguh, saya sangat berterima kasih untuk itu. Termasuk untuk satu-satunya pertemuan kami di dunia nyata, saat saya berkesempatan mengunjungi kota tempat tinggal Kak Ai di Jekardah sono. Kak Ai bahkan datang ke tempat menginap saya, lebih dahulu daripada kakak kandung saya yang juga ada di kota yang sama. Perjumpaan kami selain lewat koneksi internet pun terjadi saat Kak Ai mengirimkan kepada saya buku solonya beserta sebuah majalah Tarbawi dan surat cinta pertamanya untuk saya. Surat yang ditulis di kertas surat semangka yang tentu adalah barang yang sangat Kak Ai sukai. Surat yang hingga kini masih saya simpan, dan akan selalu saya simpan sampai kapanpun. In syaa Allah.

Maret 2012; sepucuk surat, buku Surga di Telapak Kaki Ayah, dan Majalah Tarbawi

 

Seperti yang sudah saya sampaikan padamu, Kak. Entah mengapa beberapa waktu yang lalu ada semacam feeling baik tentang Kak Ai yang selalu singgah di kepala saya. Kak Ai seumur dengan kakak lelaki saya, mungkin itu juga salah satu faktor yang membuat saya menerka-nerka, bahwa tahun ini adalah saat yang tepat untuk mendengar kabar Kak Ai tentang hari ‘cahaya’. Dan ternyata, feeling itu benar. Sebentar lagi, Kak Ai akan menyempurnakan separuh dien-nya. Saya sangat bersyukur atas kabar itu. Sembari takjub demi merasakan bagaimana Allah menakdirkan semua ini. Mustahil rasanya kita yang hanya saling mengenal lewat dunia maya, menjadi turut dapat membersamai kehidupan masing-masing, mengetahui satu demi satu fragmen yang kita hadapi satu sama lain, meski mungkin dengan cara yang begitu terbatas. Sebenarnya, saya ingin sekali bisa melihat langsung wajah bahagia Kak Ai, sambil berpesan kepada lelaki beruntung itu agar kelak menjaga Kak Ai baik-baik *hehehe... Tapi semoga ketidakhadiran itu, tidak mengurangi makna dari setiap doa yang saya langitkan untukmu, Kak.

Maka pada akhirnya tulisan ini harus saya akhiri, sambil terus berharap semoga semuanya dijaga dan dilancarkanNya, hingga hari yang indah itu tiba. Inipun harus saya akhiri karena saya harus bersiap untuk menulis surat cinta balasan yang hanya ada satu di dunia J

Barakallahu fiik, Kak Ai. Semoga bahagia selalu menyertaimu. Terima kasih untuk hadiahnya, dan untuk semuanya.

Makassar, 6 Januari 2014 

Dan tulisan pertama di tahun ini saya persembahkan untuk dan hanya untuk kakanda shalihah; Sari Yulianti. Maapkeun karena adikmu ini tidak bisa menghadirkan jasadnya di hari bahagiamu nanti. Kau tentu tau karena diri ini memang benar-benar tidak bisa terbang ke sana, bukan karena lebih memilih untuk menghadiri walimahnya Mbak Oki Setiana Dewi. Hehehe! Oiya, saya suka sekali dengan doa di akhir suratmu *clingcling*. Selamat menghitung hari

4 komentar:

  1. Waah terharu membacanya. Persahabatan yang manis walau di ranah maya.
    Turut berbahagia buat Ai. BArakallah buat kalian berdua, Ai dan Diena. Semoga persahabatan ini langgeng ^__^

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)