Senin, 20 Desember 2010

Ababil; Abege Labil?


Entah sejak kapan istilah ini mulai malang-melintang dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Biasanya ia muncul di dunia maya, namun tak jarang pula diucapkan di dunia nyata. Ababil. Dianggap sebagai akronim dari ABG labil. Istilah ini diberikan pada mereka yang terkesan plin-plan dan tidak teguh pendirian. Meski terdapat frase ABG di sana, tidak jarang orang yang berusia tidak lagi muda juga mendapatkan nisbat atas istilah ini.

Padahal, tahukah kau bahwa frasa ababil telah diabadikan dalam kitab suci Al Qur’an, jauh sebelum istilah 'gaul' ini muncul?

“Wa arsala’ alaihim thairan ababiil…” (QS. Al Fiil [105]:3)

(dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong)

Perisitiwa ini terjadi pada tahun gajah, tahun kelahiran Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Saat pasukan dari Yaman datang berderap-derap dengan dipimpin oleh Abrahah sebagai panglimanya. Pasukan ini hendak meruntuhkan Ka’bah yang terdapat di Kota Makkah. Maka atas izin Allah, didatangkanlah sekelompok burung yang digambarkan dengan kata ababil yang ditafsirkan sebagai berkelompok, bergerombol, sangat banyak, atau dari segala penjuru. Burung-burung itu bersenjatakan batu-batu dari tanah yang terbakar, lalu dengan gilang gemilang mengalahkan pasukan bergajah tadi. Mungkin atas dasar ini pula, nama Ababil digunakan oleh negara Iran sebagai nama dari pesawat tempur militer mereka.

Kembali ke istilah ababil pada masyarakat (gaul) Indonesia. Kita mungkin telah bersepakat bahwa masalah kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah umur seseorang. Dapat dengan mudah kita temukan para usia tua yang masih kekanak-kanakan. Dan meski tak banyak, ada pula mereka yang masih imut-imut namun dapat berpikir dan bertindak lebih dewasa dari mereka yang menyebut diri ‘orang dewasa’.

Maka bahwa istilah Ababil ini pada akhirnya tidak terkait dengan usia, kita anggap tidak ada salahnya. Tapi mengapa harus labil? Mengapa tidak dapat konsisten?

Banyak orang yang menganggap dirinya sedang melakukan pencarian. Beralih dari satu jalan ke jalan lain untuk mencari kebenaran. Berpindah dari satu prinsip ke prinsip berbeda demi menemukan keyakinan yang mutlak. Namun berapa banyak orang yang melakukan ‘pencarian jati diri’ tanpa pernah benar-benar mengetahui esensi dari apa yang ia cari?

Lebih ekstrim lagi, ada yang mengistilahkan pencariannya sebagai upaya ‘mencari Tuhan’. Hmm…, padahal bukankah Tuhan tidak pernah hilang? Bukankah ia terus di sana, bersemayam di atas Arsy. Mungkin, kita saja yang kadang menutup mata jiwa. Tertutup oleh hiruk pikuk dunia, atau mungkin oleh berbagai kelalaian atau bahkan kemaksiatan. Sehingga Tuhan tidak lagi nampak oleh kita. Tidak lagi nampak oleh hati kita.

KehadiranNya kadang hanya kita batasi pada waktu dan tempat tertentu saja. Mungkin di sudut-sudut masjid atau saat Ramadhan datang. Selebihnya, dengan mudah kita berucap; Ah…, jangan hubung-hubungkan ini dengan agama…

Padahal bukankah waktu kita tidak banyak? Bukankah kita hanya serupa musafir yang menempuh perjalanan panjang menuju kampung sejati kita. Tempat awalnya nenek moyang kita, Adam Alahissalam berada: surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya! Sementara dunia, tak lebih dari sebatang pohon tempat kita bernaung dan mengumpulkan perbekalan untuk perlajanan selanjutnya. Yah, dunia. Dari asal kata yang berarti dekat. Serupa dengan eksistensinya yang memang tidak akan abadi adanya.

Lalu mengapa kita masih sibuk ber-labil ria. Lalu menjadikan istilah ‘pencarian jati diri’ sebagai tersangkanya? Bukankah tujuan penciptaan kita telah jelas tertera di sana. Kawan, ambillah mushaf Al Qur’anmu, lalu bukalah surah Adz Dzariyat ayat 56. Tidak akan kutuliskan di sini agar kau dapat menikmati kemesraan dengan kitab Allah dan membangun kedekatan antara kalian. Percayalah, di sana terdapat jawaban atas proses pencarian yang sedang kita lakukan.

Mungkin tanpa sadar, kita sering melewatkan begitu saja taman syurga yang terbentang di dunia. Mungkin oleh semua kesibukan dunia; akademik, bisnins, perniagaan, hiburan, dan lain sebagainya. Taman syurga yang dahulu dikejar para sahabat hingga ia tergopoh-gopoh meraihnya. Yang di sana mereka merunduk syahdu hingga disangka pohon kayu oleh para burung-burung. Yang dedaunan yang gugur tak sanggup menyentuh tanah sebab rapatnya mereka duduk. Taman syurga, begitu Rasulullah menamakannya. Lalu oleh kita, majelis Ilmu syar’I itulah sejatinya ia.

Kawan, waktu kita tak panjang. Segeralah mencari dan segeralah menentukan. Sebab mungkin tanpa kita rasa tamu terakhir itu akan datang. Dan tak mungkin kita menangguhkannya. Jangan ingin terus menjadi “ababil’ yang terombang-ambing. Jadilah segerombolan burung yang perkasa, seperti saat ia mengusir pasukan gajah dari kota Rasulullah! Temukanlah!

#kepada kawan2ku yang teguh pendiriannya. ^_^

#pesan sponsor: @sari: it's the last!



sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)