Ahlan, Ramadan
Terima kasih telah datang kembali. Seperti biasa, kau selalu hadir tepat
waktu tanpa perlu membuat kami menunggu. Tahukah kau, Ramadan, betapa kau
begitu dirindu. Dan, setiap orang selalu punya alasannya masing-masing saat
menantikan kehadiranmu. Lalu sebab segala sesuatu bergantung dari niatnya, dari alasannya, aku
berharap bahwa bahkan kerinduan itu pun hadir karena niat yang tepat.
Betapa beruntungnya kami, Ramadan, sebab kembali berjumpa dengan
waktu-waktumu yang utama. Dan betapa celakanya kami jika kemudian tidak
mendapatkan apa-apa dari itu semua. Beberapa orang mungkin telah menjalani
tahun ini dengan berbagai macam hal yang terjadi dalam hidupnya. Lalu kau
datang, pada sebuah pertengahan yang seolah menjadi jeda yang begitu manis
untuk kami kembali mematut diri dan berkaca. Kemarin-kemarin, apa saja yang
sudah kami lakukan?
Ramadan, kau menawarkan masa yang hening untuk kami menengok ke dalam diri
sendiri. Dan satu hal yang tak pernah lupa untuk kau ajarkan, adalah perihal
sabar yang harus selalu dipupuk, dan menjadi bekal untuk menjalani kehidupan
setelah ini. Kesabaran yang kau latihkan itu, tentu bukan tanpa alasan. Bukan
hanya sekadar agar kami mampu menghabiskan hari tanpa makan dan minum. Namun,
tentu lebih dari itu. Sebab ternyata, semakin terasa, bahwa hari-hari kedepan
ini sangat menghajatkan kesabaran yang berlebih.
Aku mencoba untuk menjadi dewasa, Ramadan. Sesuatu yang selalu kuartikan
sebagai satu fase di mana kita mencoba untuk selesai dengan diri kita sendiri.
Saat kita mencoba untuk terus melihat dari sudut pandang sekeliling, lalu
mengharap dan mengusahakan yang terbaik untuk membuat lebih banyak lagi orang
yang tersenyum. Dan kini kudapati, tidaklah itu dapat terlewati, kecuali dengan
melatihkan kesabaran dalam diri.
Beberapa orang masih menganggap bahwa hidup ini adalah perihal menang dan
kalah. Mereka mengira bahwa terwujudnya keinginannya adalah tanda kemenangan,
dan tidak terwujudnya keinginan orang lain adalah tanda kalahnya. Tapi,
bukankah hidup ini harusnya tidak seegois itu, Ramadan? Sebab nyatanya, kita
ini adalah makhluk yang paling banyak maunya, sementara terkadang memang ada
hal-hal yang di luar kendali kita. Kita tahu, tidak akan selalu tersenyum
sepanjang hidup, tapi kita terus mengharapkan itu. Dan saat kita menghadapi
lebih banyak air mata di sana, seketika kita merasa kalah. Padahal, tidak
selalu. Dan, itu yang kau selalu ajarkan kepadaku.
Ramadan, aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun kini, kurasa hidup
memang harus selalu dijalani dengan sepenuhnya berbaik sangka pada takdirNya.
Pada titik di mana kita hanya dapat menangis, mungkin justru di situlah kita
sangat paham tentang diri kita sendiri; betapa lemahnya kita, betapa kita
selalu butuh pada bantuanNya, betapa kita tak akan sanggup ditinggal olehNya
bahkan meski sekejap mata. Dan, untuk menjalani hidup macam itu, kurasa satu
hal itulah yang sangat kita butuh. Satu hal yang selalu datang untuk kau
ajarkan di saat lengkung sabitmu menandai awal dan akhirnya. Kami, merangkainya
hanya dengan beberapa huruf yang begitu mudah diucap namun tidak selalu gampang
untuk dilakukan; sabar.
Ramadan, ajari aku lagi, ya...
Makassar, Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)