Saya rasa, secara logis,
seharusnya tidak akan ada wanita yang ingin menikah, jika bukan karena
mengingat bahwa menikah adalah ibadah, adalah salah satu bentuk penegakan
sunnah Rasul-Nya. Betapa tidak? Sesuatu yang dipertaruhkan teramat besar.
Izinkan saya, dengan segala kefakiran ilmu, menyebutnya dengan ‘mempertaruhkan
surga’.
Bayangkan saja, seorang
anak yang dirawat dan dibesarkan sejak lahir oleh kedua orang tuanya, kita
tahu, memiliki ‘akses’ pintu surga yang paling tengah itu pada bapak dan
ibunya. Segala bentuk ketaatan dan bakti yang merupakan bagian dari perintah
Allah dalam frasa ‘birrul walidain’
itu telah dijanjikan dengan ganjaran sesuatu yang menjadi impian semua orang
itu; surga. Ya, surga.
Secara umum, setiap anak
pasti memiliki keinginan yang besar untuk dapat memaksimalkan bakti kepada
kedua orang tuanya. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, mengingat
setiap orang tua telah menghabiskan umur mereka dengan segala upaya untuk
membahagiakan anak-anaknya. Tidak jarang seorang anak menjadikan orang tuanya
sebagai pahlawan dalam hatinya masing-masing. Para pahlawan yang tentu akan
terus berusaha mereka balas jasa-jasanya saat mereka mampu kelak. Bahkan meski
anak pun tahu, bahwa balasan sebesar apapun, tidak akan sebanding dengan apa yang
orangtua mereka telah berikan, bahkan meski hanya seujung kuku.
Nah, pada saat seorang
wanita menikah, sebuah perubahan besar akan terjadi. Hari dimana akad nikah itu
digelar, tidak sama dengan moment-moment menegangkan lainnya yang mungkin sudah
pernah ia lalui. Seperti hari ujian sidang misalnya? Tentu sangat berbeda.
Selepas ujian sidang, kita akan kembali ke kehidupan semula, mungkin yang
berbeda hanyalah masalah deretan titel di belakang nama, dan tuntutan untuk
segera melepas status pengangguran, misalnya. Namun, setelah menikah, semua
akan berubah. Iya, semua. Dan satu hal yang paling mencolok di antara itu
adalah; perihal ketaatan. Ketaatan yang serta merta bergeser setelah taat pada
Allah dan RasulNya. Dari kedua orang tua, kepada seorang yang baru saja
berstatus suami. Dan serta merta konsekuensi dari taat itu pun berubah. Surga,
yang tadinya dapat diraih dari bawah telapak kaki ibu dan bakti pada bapak,
tiba-tiba beralih pada ridha sang pasangan hidup. Dan ini, sebuah pertaruhan
yang besar.
Kepada seseorang yang
mungkin belum lama kita kenal, dan dia pun belum lama mengenal kita. Kepada
seseorang yang belum sepenuhnya kita ketahui wataknya, yang mungkin dibesarkan
dengan cara yang sama sekali berbeda dengan kita, yang punya cita-cita sendiri,
yang punya mimpi-mimpinya sendiri. Pada orang macam itu, seorang wanita sedang
mempertaruhkan surganya. Kepada orang itu, ridhanya adalah jannah, dan
ketidakridhaannya bisa jadi berbuah neraka. Naudzubillah..
Maka untuk hal seberat itu,
memang kita butuh alasan yang sangat kuat. Kita menyebutnya; niat. Seperti
sebaris kalimat yang saya tuliskan di awal, niat untuk menjadikan pernikahan
sebagai sebuah ibadah –bahkan ibadah yang paling panjang, sebab ia berlangsung
sepanjang usia, dan sebagai bentuk aplikasi ittiba’
kepada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Niatan inilah yang akan
menjadi nafas yang memanjangkan setiap langkah. Jika menyimpang sedikit saja,
maka akan selalu ditemukan alasan dan celah untuk beralih darinya. Atau,
menjalaninya dengan cara yang salah.
Lalu jika niat menjadi satu
pencetus utama, maka setidaknya ada dua hal lain yang bisa membantu untuk
senantiasa meneguhkan keinginan itu. Ialah husnudzan, dan tawakkal.
Husnudzan, baik sangka
kepada semuanya. Semua. Berbaik sangka atas takdir Allah; pada setiap keinginan
hati yang menggerakkan langkahnya untuk mengetuk pintu rumah, pada setiap
pertemuan yang tidak akan mungkin terjadi kecuali atas takdir Allah, pada
setiap rintangan yang terlalui satu per satu, pada setiap alasan-alasan yang
dikemukakan dan keinginan-keinginan yang disampaikan, bahkan pada setiap
keberatan dan masalah yang bisa jadi muncul dalam prosesnya. Di sana, kita
perlu baik sangka. Baik sangka dalam dosis yang sangat tinggi. Bahkan mungkin,
pada titik tertinggi yang kita bisa. Sebab tanpa itu, sangat mudah syaithan bermain pada kondisi hati yang
berbolak-balik itu. Sangat sulit kita untuk membedakan yang manakah was was
yang tidak perlu didengarkan, atau yang mana pula pertimbangan yang harus
dijadikan bahan pemikiran. Kita berbaik sangka pada pemilihan yang diambil
dengan bersandar pada ilmu Allah. Yang jika ianya baik untuk agama dan
kehidupan kita, maka semoga Allah memudahkannya. Namun jika ia buruk, maka
semoga Allah mengikhlaskan untuk melepasnya. Dalam pada itu, baik sangka
menjadi pelampung yang dapat mencegah kita untuk tidak tenggelam pada arus cara
berpikir yang tidak benar.
Kemudian tawakkal. Pada
setiap apa-apa yang sementara kita ikhtiarkan, ada satu titik di mana kita sama
sekali terhijab dari apa yang akan terjadi nanti, dan bagaimana jalan ceritanya
pada akhirnya. Sebab sesuatu baru disebut sebagai takdir, hanya apabila ia
sudah benar-benar terjadi. Sebelum itu, sekeras apapun setiap usaha, terkadang
tidak selalu ekivalen dengan apa yang akan Allah tetapkan atasnya. Saat kita
memiliki keinginan, satu hal yang patut untuk kita seksamai selalu adalah;
adakah keinginan itu telah sejalan dengan apa yang diinginkan Allah? Jika tidak
sejalan, apakah kita telah siap untuk melepasnya dan beralih pada jalan lain
yang ia takdirkan? Maka kita berserah, dan bersandar hanya padaNya. Tiada daya
dan upaya kecuali atas kehendaknya. Tiada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas
rencanaNya, dan setiap rencanaNya memiliki sesuatu yang harus kita ambil
pelajaran dariNya. Kita terkadang merasa telah benar-benar memperjuangkan
sesuatu dengan seluruh kekuatan yang kita punya. Saat hal itu telah kita
dapatkan, dengan mudahnya kita akan mengklaimnya sebagai hasil dari apa yang
kita upayakan. Padahal, kesemuanya itu tidak lain dan tidak bukan, hanya karena
Allah telah membantu kita. Maka kita berserah, dan bersandar hanya padaNya.
Akan ada titik di mana kita
merasa kehabisan napas, tidak tau lagi harus meminta tolong kepada siapa dan
mencurahkan resah kepada siapa, seperti dihimpit oleh dinding-dinding yang
meremukkan segala harapan yang kita punya, seolah-olah jalan keluar itu
hanyalah mimpi yang tidak akan pernah nyata. Tapi, ada Allah. Kita mungkin
ditakdirkan untuk berada pada titik itu, agar kita kembali sadar, bahwa seharusnya hanya kepadaNya saja kita
bersandar. Tawakkal.
Maka jika hidup ini ibarat
sebuah perjalanan, dan menikah adalah satu fase di mana kita akhinya berjumpa
dengan rekan seperjalanan untuk melanjutkan langkah bersama, sudah sepatutnya
ketaatan pada Allah menjadi alasan kita mulai melangkah. Diiringi dengan segala
baik sangka dan tawakkal kepadaNya. Dan sebab pertemuan adalah kombinasi dari
keinginan untuk mencari dan kerelaan untuk ditemukan, saat akhirnya kita berada
pada gerbang itu, dengan orang yang berhak untuk diberi kesempatan itu, mungkin
memang sudah saatnya kita bertanya pada diri; inikah saat yang tepat untuk ditemukan?
Lalu sebakda istikharah dan
istisyarah, lalu kemantapan itu hadir, dan niat dan bekal itu sudah berusaha
untuk kita kumpulkan, sementara perihal siap-tidak siap itu bukanlah tujuan
yang harus tuntas sebelum kita memulai langkah. Tapi, kesiapan adalah hal yang
harus selalu dipupuk terus sepanjang waktu, bukan untuk dijadikan alasan untuk
menunda melanjutkan perjalanan. Sepakat?
Maka, mari berangkat!
Makassar, 28 Juni 2015
Ramadan memasuki sepertiga keduanya.
Apa kabar, keimanan?
Barakallahu fiik, kak Diena...
BalasHapus