Jumat, 03 Juli 2015

Bertaruh

Saya rasa, secara logis, seharusnya tidak akan ada wanita yang ingin menikah, jika bukan karena mengingat bahwa menikah adalah ibadah, adalah salah satu bentuk penegakan sunnah Rasul-Nya. Betapa tidak? Sesuatu yang dipertaruhkan teramat besar. Izinkan saya, dengan segala kefakiran ilmu, menyebutnya dengan ‘mempertaruhkan surga’.

Bayangkan saja, seorang anak yang dirawat dan dibesarkan sejak lahir oleh kedua orang tuanya, kita tahu, memiliki ‘akses’ pintu surga yang paling tengah itu pada bapak dan ibunya. Segala bentuk ketaatan dan bakti yang merupakan bagian dari perintah Allah dalam frasa ‘birrul walidain’ itu telah dijanjikan dengan ganjaran sesuatu yang menjadi impian semua orang itu; surga. Ya, surga.

Secara umum, setiap anak pasti memiliki keinginan yang besar untuk dapat memaksimalkan bakti kepada kedua orang tuanya. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, mengingat setiap orang tua telah menghabiskan umur mereka dengan segala upaya untuk membahagiakan anak-anaknya. Tidak jarang seorang anak menjadikan orang tuanya sebagai pahlawan dalam hatinya masing-masing. Para pahlawan yang tentu akan terus berusaha mereka balas jasa-jasanya saat mereka mampu kelak. Bahkan meski anak pun tahu, bahwa balasan sebesar apapun, tidak akan sebanding dengan apa yang orangtua mereka telah berikan, bahkan meski hanya seujung kuku.

Nah, pada saat seorang wanita menikah, sebuah perubahan besar akan terjadi. Hari dimana akad nikah itu digelar, tidak sama dengan moment-moment menegangkan lainnya yang mungkin sudah pernah ia lalui. Seperti hari ujian sidang misalnya? Tentu sangat berbeda. Selepas ujian sidang, kita akan kembali ke kehidupan semula, mungkin yang berbeda hanyalah masalah deretan titel di belakang nama, dan tuntutan untuk segera melepas status pengangguran, misalnya. Namun, setelah menikah, semua akan berubah. Iya, semua. Dan satu hal yang paling mencolok di antara itu adalah; perihal ketaatan. Ketaatan yang serta merta bergeser setelah taat pada Allah dan RasulNya. Dari kedua orang tua, kepada seorang yang baru saja berstatus suami. Dan serta merta konsekuensi dari taat itu pun berubah. Surga, yang tadinya dapat diraih dari bawah telapak kaki ibu dan bakti pada bapak, tiba-tiba beralih pada ridha sang pasangan hidup. Dan ini, sebuah pertaruhan yang besar.

Kepada seseorang yang mungkin belum lama kita kenal, dan dia pun belum lama mengenal kita. Kepada seseorang yang belum sepenuhnya kita ketahui wataknya, yang mungkin dibesarkan dengan cara yang sama sekali berbeda dengan kita, yang punya cita-cita sendiri, yang punya mimpi-mimpinya sendiri. Pada orang macam itu, seorang wanita sedang mempertaruhkan surganya. Kepada orang itu, ridhanya adalah jannah, dan ketidakridhaannya bisa jadi berbuah neraka. Naudzubillah..

Maka untuk hal seberat itu, memang kita butuh alasan yang sangat kuat. Kita menyebutnya; niat. Seperti sebaris kalimat yang saya tuliskan di awal, niat untuk menjadikan pernikahan sebagai sebuah ibadah –bahkan ibadah yang paling panjang, sebab ia berlangsung sepanjang usia, dan sebagai bentuk aplikasi ittiba’ kepada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Niatan inilah yang akan menjadi nafas yang memanjangkan setiap langkah. Jika menyimpang sedikit saja, maka akan selalu ditemukan alasan dan celah untuk beralih darinya. Atau, menjalaninya dengan cara yang salah.  

Lalu jika niat menjadi satu pencetus utama, maka setidaknya ada dua hal lain yang bisa membantu untuk senantiasa meneguhkan keinginan itu. Ialah husnudzan, dan tawakkal.

Husnudzan, baik sangka kepada semuanya. Semua. Berbaik sangka atas takdir Allah; pada setiap keinginan hati yang menggerakkan langkahnya untuk mengetuk pintu rumah, pada setiap pertemuan yang tidak akan mungkin terjadi kecuali atas takdir Allah, pada setiap rintangan yang terlalui satu per satu, pada setiap alasan-alasan yang dikemukakan dan keinginan-keinginan yang disampaikan, bahkan pada setiap keberatan dan masalah yang bisa jadi muncul dalam prosesnya. Di sana, kita perlu baik sangka. Baik sangka dalam dosis yang sangat tinggi. Bahkan mungkin, pada titik tertinggi yang kita bisa. Sebab tanpa itu, sangat mudah syaithan bermain pada kondisi hati yang berbolak-balik itu. Sangat sulit kita untuk membedakan yang manakah was was yang tidak perlu didengarkan, atau yang mana pula pertimbangan yang harus dijadikan bahan pemikiran. Kita berbaik sangka pada pemilihan yang diambil dengan bersandar pada ilmu Allah. Yang jika ianya baik untuk agama dan kehidupan kita, maka semoga Allah memudahkannya. Namun jika ia buruk, maka semoga Allah mengikhlaskan untuk melepasnya. Dalam pada itu, baik sangka menjadi pelampung yang dapat mencegah kita untuk tidak tenggelam pada arus cara berpikir yang tidak benar.

Kemudian tawakkal. Pada setiap apa-apa yang sementara kita ikhtiarkan, ada satu titik di mana kita sama sekali terhijab dari apa yang akan terjadi nanti, dan bagaimana jalan ceritanya pada akhirnya. Sebab sesuatu baru disebut sebagai takdir, hanya apabila ia sudah benar-benar terjadi. Sebelum itu, sekeras apapun setiap usaha, terkadang tidak selalu ekivalen dengan apa yang akan Allah tetapkan atasnya. Saat kita memiliki keinginan, satu hal yang patut untuk kita seksamai selalu adalah; adakah keinginan itu telah sejalan dengan apa yang diinginkan Allah? Jika tidak sejalan, apakah kita telah siap untuk melepasnya dan beralih pada jalan lain yang ia takdirkan? Maka kita berserah, dan bersandar hanya padaNya. Tiada daya dan upaya kecuali atas kehendaknya. Tiada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas rencanaNya, dan setiap rencanaNya memiliki sesuatu yang harus kita ambil pelajaran dariNya. Kita terkadang merasa telah benar-benar memperjuangkan sesuatu dengan seluruh kekuatan yang kita punya. Saat hal itu telah kita dapatkan, dengan mudahnya kita akan mengklaimnya sebagai hasil dari apa yang kita upayakan. Padahal, kesemuanya itu tidak lain dan tidak bukan, hanya karena Allah telah membantu kita. Maka kita berserah, dan bersandar hanya padaNya.

Akan ada titik di mana kita merasa kehabisan napas, tidak tau lagi harus meminta tolong kepada siapa dan mencurahkan resah kepada siapa, seperti dihimpit oleh dinding-dinding yang meremukkan segala harapan yang kita punya, seolah-olah jalan keluar itu hanyalah mimpi yang tidak akan pernah nyata. Tapi, ada Allah. Kita mungkin ditakdirkan untuk berada pada titik itu, agar kita kembali sadar, bahwa  seharusnya hanya kepadaNya saja kita bersandar. Tawakkal.

Maka jika hidup ini ibarat sebuah perjalanan, dan menikah adalah satu fase di mana kita akhinya berjumpa dengan rekan seperjalanan untuk melanjutkan langkah bersama, sudah sepatutnya ketaatan pada Allah menjadi alasan kita mulai melangkah. Diiringi dengan segala baik sangka dan tawakkal kepadaNya. Dan sebab pertemuan adalah kombinasi dari keinginan untuk mencari dan kerelaan untuk ditemukan, saat akhirnya kita berada pada gerbang itu, dengan orang yang berhak untuk diberi kesempatan itu, mungkin memang sudah saatnya kita bertanya pada diri; inikah saat yang tepat untuk ditemukan?

Lalu sebakda istikharah dan istisyarah, lalu kemantapan itu hadir, dan niat dan bekal itu sudah berusaha untuk kita kumpulkan, sementara perihal siap-tidak siap itu bukanlah tujuan yang harus tuntas sebelum kita memulai langkah. Tapi, kesiapan adalah hal yang harus selalu dipupuk terus sepanjang waktu, bukan untuk dijadikan alasan untuk menunda melanjutkan perjalanan. Sepakat?

Maka, mari berangkat!

Makassar, 28 Juni 2015  
Ramadan memasuki sepertiga keduanya.
Apa kabar, keimanan?

1 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)