Kamis, 23 Juli 2015

AYAH


Dalam hidup ini, selalu saja ada hal-hal tertentu yang patut kita syukuri. Hal itu mungkin tidak datang setiap waktu, dan bisa jadi tidak dianggap sebagai sesuatu yang spesial bagi semua orang. Bagi saya, salah satu contohnya adalah saat seorang penulis favorit menerbitkan buku barunya. Kabar itu saya dapatkan di tahun ini. Maka jadilah, bulan-bulan di dalamnya terisi dengan rasa penasaran yang diselimuti semacam kebahagiaan. Bayangan bahwa saya akan kembali menikmati karya terbarunya terdengar seperti cara kehidupan ini menghibur saya setelah melewati hari-hari yang berat. Inilah yang saya rasakan saat buku terbaru Tuan itu kembali diterbitkan. Seantero Indonesia mengenal namanya, dan tulisannya sudah dipublikasikan dalam 34 bahasa asing. Terlepas dari kasus yang kemarin sempat membelitnya, saya tidak dapat memungkiri bahwa tulisan-tulisannya akan terus menjadi salah satu kesukaan saya –mungkin sampai kapan pun. Iya, dia; Andrea Hirata. 

Seperti buku-bukunya sebelumnya, penulis Laskar Pelangi ini kembali menyuguhkan kepada kita setting kampung halamannya. Tentu jalan ceritanya akan jauh berbeda dari kisah-kisah menjual mimpi yang berisi tokoh-tokoh berwajah rupawan dengan hal-hal mewah disekelilingnya atau bertabur istilah-istilah canggih dan brand-brand ternama. Tidak. Andrea, dengan penuturannya yang khas memperkenalkan kita kepada orang-orang dengan wajah pas-pasan, dengan kehidupan yang boleh dibilang di bawah garis kemiskinan dan segala tetek bengeknya. 

Menariknya, justru hal itu berhasil Andrea kemas dengan cara yang menurut saya; mewah. Kembali, ada kelincahan berbahasa yang membuat kita menikmati setiap kalimatnya dengan berbagai ekspresi; tersenyum, tertawa terpingkal-pingkal, bersedih, cemas, tegang, dan terharu. Satu kekuatan yang selalu saya rasakan dimiliki oleh karya Andrea adalah, bahwa –tidak seperti buku-buku lain yang selalu membuat saya penasaran bagaimana endingnya, sehingga ingin segera menyelesaikannya, saat membaca buku Andrea, yang saya rasakan justru sebaliknya. Saya tidak ingin cerita itu segera selesai, sebab saya menikmati setiap halamannya. Seperti saat kita menikmati makanan favorit, dan memakannya sedikit-sedikit untuk mengecap setiap kunyahannya. Hehehe... 

Dan dalam karya terbarunya yang berjudul; Ayah, Andrea kembali menyajikan hal yang sama. Jalinan cerita di dalamnya, sepintas nampak seperti melompat-lompat dari satu kejadian ke kejadian yang lain. Dari kehidupan satu tokoh ke tokoh yang lain. Membawa kita menyusuri padang ilalang di Belantik, namun juga mengajak kita turut serta menjelajahi pulau Sumatera. Sesekali bahkan kita diantarkan untuk terbang ke Australia, lalu kembali lagi ke satu bagian kecil dari daerah Belitong itu. Novel yang ditulis berdasarkan penuturan Amiru –salah satu tokoh di dalamnya, ini, bolehlah disebut sebagai kisah inspired from true story yang memberikan kita pengalaman membaca yang sangat menyenangkan. 

Ayah. Sebuah kata yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Merujuk pada satu sosok yang pasti setiap orang punya, bagaimanapun cara kita masing-masing menyapanya. Namun Ayah dalam cerita ini, bukan hanya sekadar tentang seorang lelaki di mata anak yang merupakan darah dagingnya saja. Sabari nama tokoh itu. Laki-laki yang benar-benar hidup sesuai dengan namanya. Ia dibesarkan dengan cara yang amat puitis oleh ayahnya sendiri, dengan dongeng-dongeng tentang benda-benda langit, dan tentunya dengan gubahan puisi sebelum tidur atau dalam perjalanan di atas sepeda. 

Hal yang sama kemudian dilakukannya kepada anaknya. Hubungan keduanya kemudian menjadi unik sebab pertalian ayah-anak itu pun terjadi dengan cara yang tidak biasa. Pada dasarnya, buku ini sejatinya berkisah perihal cinta seorang Sabari kepada Marlena, perempuan yang melahirkan anak lelaki yang memanggilnya Ayah. 

Bagaimana seorang Sabari bisa jatuh hati –hingga sejatuh-jatuhnya pada perempuan itu pun, terjadi karena sebuah kejadian yang unik. Selanjutnya, caranya mengekspresikan cinta itu pun tidak berhenti membuat saya takjub dan terpingkal-pingkal. Belum lagi dengan ditingkahi oleh ulah dua orang sahabat karibnya yang tidak kalah ajaibnya. 

Buku ini juga berkisah tentang bagaimana perjuangan seseorang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Cinta Sabari pada Marlena ternyata sanggup membuat seorang gadis lain menjadi bersemangat untuk bangkit dari keterpurukan hidupnya sendiri. Sementara, kerakter Marlena yang sekilas nampak begitu ‘liar’ dan ‘tak berperasaan’ dengan jalan hidup yang awut-awutan, ternyata juga menjadi sumber kekuatan bagi salah seorang sahabat penanya yang kemudian menjadi menatap hidupnya dengan cara yang sama sekali berbeda. Juga ada petualangan Tamat dan Ukun yang secara tidak langsung mampu buat seorang penyanyi lokal legendaris, memutuskan untuk kembali waras. Maka cobalah liat di sekeliling kita, mana tahu ternyata kehidupan kita pun menjadi sebab seseorang menjadi lebih bersemangat menghadapi hidupnya? 

Kisah ini juga menawarkan pertautan yang unik antar-kenangan. Bagaimana sebuah kenangan bisa membuat orang lain menjadi melakukan apa yang mungkin tidak perlu ia lakukan. Bagaimana ingatan tentang sosok Ayah telah menggerakkan seorang lelaki tua di Australia untuk turut peduli pada persoalan Sabari yang nun jauh di Belantik sana. Dan Andrea lagi-lagi menggunakan cara yang tidak biasa untuk merajut benang merah antara dua kehidupan itu. 

Bagaimana sebuah lomba lari kampung menjadikan kita ikut tegang dibuatnya? Bagaimana seorang wanita menjadi begitu mudah untuk melompat-lompat dari satu kehidupan rumah tangga ke kehidupan rumah tangga lainnya? Bagaimana rasanya ikut mengecap kehilangan yang dirasakan seorang ayah atas anak yang begitu ia rindukan? Bagaimana kesan kita pada patriotisme dua orang lelaki kampung yang menjelajah Sumatera hanya berbekal surat sahabat pena demi mengembalikan kebahagiaan kawan karibnya? Bagaimana keharuan saat seolah menyaksikan laki-laki kampung yang berdiri di dermaga berjam-jam sambil menatap ke salah satu ufuk ditemani kucing bututnya dan dengan piala kecil di tangannya? Serta, bagaimana seorang lelaki sederhana, yang begitu puitis tutur katanya, kuli panggul dengan integritas sempurna, ternyata menyimpan rasa cinta yang tak pernah berubah kepada seorang perempuan yang seumur hidup tidak pernah membalas cintanya? Tuan Andrea Hirata yang piawai itu, akan mengajak kita turut merasai kesemua hal tersebut, dalam buku ini. 

Dan, setelah di awal buku potongan-potongan cerita tadi seolah dihambur-hamburkan kepada pembaca, namun dengan bertanggung jawab, di bagian akhir, kita akan diberi kunci untuk merangkainya menjadi satu gambar besar. Sebuah gambar yang saya rasa cukup tepat jika dideskripsikan sebagaimana kalimat terakhir dari buku ini: 

Meski berusaha, aku tak dapat menemukan satu kata pun untuk memulai kisah cinta Sabari dan Marlena, kisah cinta paling hebat yang pernah kuketahui seumur hidupku. (Ayah: hal. 396)

Makassar, 23 Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)