Dalam hidup ini, selalu saja ada hal-hal tertentu yang patut kita syukuri.
Hal itu mungkin tidak datang setiap waktu, dan bisa jadi tidak dianggap sebagai
sesuatu yang spesial bagi semua orang. Bagi saya, salah satu contohnya adalah
saat seorang penulis favorit menerbitkan buku barunya. Kabar itu saya dapatkan
di tahun ini. Maka jadilah, bulan-bulan di dalamnya terisi dengan rasa
penasaran yang diselimuti semacam kebahagiaan. Bayangan bahwa saya akan kembali
menikmati karya terbarunya terdengar seperti cara kehidupan ini menghibur saya
setelah melewati hari-hari yang berat. Inilah yang saya rasakan saat buku
terbaru Tuan itu kembali diterbitkan. Seantero Indonesia mengenal namanya, dan
tulisannya sudah dipublikasikan dalam 34 bahasa asing. Terlepas dari kasus yang
kemarin sempat membelitnya, saya tidak dapat memungkiri bahwa
tulisan-tulisannya akan terus menjadi salah satu kesukaan saya –mungkin sampai
kapan pun. Iya, dia; Andrea Hirata.
Seperti buku-bukunya sebelumnya, penulis Laskar Pelangi ini kembali
menyuguhkan kepada kita setting kampung halamannya. Tentu jalan ceritanya akan
jauh berbeda dari kisah-kisah menjual mimpi yang berisi tokoh-tokoh berwajah
rupawan dengan hal-hal mewah disekelilingnya atau bertabur istilah-istilah
canggih dan brand-brand ternama.
Tidak. Andrea, dengan penuturannya yang khas memperkenalkan kita kepada
orang-orang dengan wajah pas-pasan, dengan kehidupan yang boleh dibilang di
bawah garis kemiskinan dan segala tetek bengeknya.
Menariknya, justru hal itu berhasil Andrea kemas dengan cara yang menurut
saya; mewah. Kembali, ada kelincahan berbahasa yang membuat kita menikmati
setiap kalimatnya dengan berbagai ekspresi; tersenyum, tertawa
terpingkal-pingkal, bersedih, cemas, tegang, dan terharu. Satu kekuatan yang
selalu saya rasakan dimiliki oleh karya Andrea adalah, bahwa –tidak seperti
buku-buku lain yang selalu membuat saya penasaran bagaimana endingnya, sehingga
ingin segera menyelesaikannya, saat membaca buku Andrea, yang saya rasakan
justru sebaliknya. Saya tidak ingin cerita itu segera selesai, sebab saya
menikmati setiap halamannya. Seperti saat kita menikmati makanan favorit, dan
memakannya sedikit-sedikit untuk mengecap setiap kunyahannya. Hehehe...
Dan dalam karya terbarunya yang berjudul; Ayah, Andrea kembali menyajikan
hal yang sama. Jalinan cerita di dalamnya, sepintas nampak seperti
melompat-lompat dari satu kejadian ke kejadian yang lain. Dari kehidupan satu
tokoh ke tokoh yang lain. Membawa kita menyusuri padang ilalang di Belantik,
namun juga mengajak kita turut serta menjelajahi pulau Sumatera. Sesekali
bahkan kita diantarkan untuk terbang ke Australia, lalu kembali lagi ke satu
bagian kecil dari daerah Belitong itu. Novel yang ditulis berdasarkan penuturan
Amiru –salah satu tokoh di dalamnya, ini, bolehlah disebut sebagai kisah inspired from true story yang memberikan
kita pengalaman membaca yang sangat menyenangkan.
Ayah. Sebuah kata yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Merujuk pada
satu sosok yang pasti setiap orang punya, bagaimanapun cara kita masing-masing
menyapanya. Namun Ayah dalam cerita ini, bukan hanya sekadar tentang seorang
lelaki di mata anak yang merupakan darah dagingnya saja. Sabari nama tokoh itu.
Laki-laki yang benar-benar hidup sesuai dengan namanya. Ia dibesarkan dengan
cara yang amat puitis oleh ayahnya sendiri, dengan dongeng-dongeng tentang
benda-benda langit, dan tentunya dengan gubahan puisi sebelum tidur atau dalam
perjalanan di atas sepeda.
Hal yang sama kemudian dilakukannya kepada anaknya. Hubungan keduanya
kemudian menjadi unik sebab pertalian ayah-anak itu pun terjadi dengan cara
yang tidak biasa. Pada dasarnya, buku ini sejatinya berkisah perihal cinta
seorang Sabari kepada Marlena, perempuan yang melahirkan anak lelaki yang
memanggilnya Ayah.
Bagaimana seorang Sabari bisa jatuh hati –hingga sejatuh-jatuhnya pada
perempuan itu pun, terjadi karena sebuah kejadian yang unik. Selanjutnya,
caranya mengekspresikan cinta itu pun tidak berhenti membuat saya takjub dan
terpingkal-pingkal. Belum lagi dengan ditingkahi oleh ulah dua orang sahabat
karibnya yang tidak kalah ajaibnya.
Buku ini juga berkisah tentang bagaimana perjuangan seseorang bisa menjadi
inspirasi bagi orang lain. Cinta Sabari pada Marlena ternyata sanggup membuat
seorang gadis lain menjadi bersemangat untuk bangkit dari keterpurukan hidupnya
sendiri. Sementara, kerakter Marlena yang sekilas nampak begitu ‘liar’ dan ‘tak
berperasaan’ dengan jalan hidup yang awut-awutan, ternyata juga menjadi sumber
kekuatan bagi salah seorang sahabat penanya yang kemudian menjadi menatap
hidupnya dengan cara yang sama sekali berbeda. Juga ada petualangan Tamat dan
Ukun yang secara tidak langsung mampu buat seorang penyanyi lokal legendaris,
memutuskan untuk kembali waras. Maka cobalah liat di sekeliling kita, mana tahu
ternyata kehidupan kita pun menjadi sebab seseorang menjadi lebih bersemangat
menghadapi hidupnya?
Kisah ini juga menawarkan pertautan yang unik antar-kenangan. Bagaimana
sebuah kenangan bisa membuat orang lain menjadi melakukan apa yang mungkin
tidak perlu ia lakukan. Bagaimana ingatan tentang sosok Ayah telah menggerakkan
seorang lelaki tua di Australia untuk turut peduli pada persoalan Sabari yang
nun jauh di Belantik sana. Dan Andrea lagi-lagi menggunakan cara yang tidak
biasa untuk merajut benang merah antara dua kehidupan itu.
Bagaimana sebuah lomba lari kampung menjadikan kita ikut tegang dibuatnya?
Bagaimana seorang wanita menjadi begitu mudah untuk melompat-lompat dari satu
kehidupan rumah tangga ke kehidupan rumah tangga lainnya? Bagaimana rasanya
ikut mengecap kehilangan yang dirasakan seorang ayah atas anak yang begitu ia
rindukan? Bagaimana kesan kita pada patriotisme dua orang lelaki kampung yang
menjelajah Sumatera hanya berbekal surat sahabat pena demi mengembalikan
kebahagiaan kawan karibnya? Bagaimana keharuan saat seolah menyaksikan laki-laki
kampung yang berdiri di dermaga berjam-jam sambil menatap ke salah satu ufuk
ditemani kucing bututnya dan dengan piala kecil di tangannya? Serta, bagaimana
seorang lelaki sederhana, yang begitu puitis tutur katanya, kuli panggul dengan
integritas sempurna, ternyata menyimpan rasa cinta yang tak pernah berubah
kepada seorang perempuan yang seumur hidup tidak pernah membalas cintanya? Tuan
Andrea Hirata yang piawai itu, akan mengajak kita turut merasai kesemua hal
tersebut, dalam buku ini.
Dan, setelah di awal buku potongan-potongan cerita tadi seolah
dihambur-hamburkan kepada pembaca, namun dengan bertanggung jawab, di bagian
akhir, kita akan diberi kunci untuk merangkainya menjadi satu gambar besar. Sebuah
gambar yang saya rasa cukup tepat jika dideskripsikan sebagaimana kalimat terakhir
dari buku ini:
Meski berusaha, aku tak
dapat menemukan satu kata pun untuk memulai kisah cinta Sabari dan Marlena,
kisah cinta paling hebat yang pernah kuketahui seumur hidupku. (Ayah: hal. 396)
Makassar, 23 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)