Kamis, 23 Juli 2015

Kepadamu, Lelaki yang Tak Pernah Pergi

Teruntuk lelaki yang selalu kuinginkan kebaikan atasnya. Semoga Allah selalu melimpahkanmu dengan berkah dan kemudahan pada setiap urusan-urusanmu. Kita mungkin tidak bisa mendapatkan semua hal yang kita inginkan dalam hidup ini. Tapi percayalah, ada seorang perempuan yang tidak akan lepas mendoakanmu. Aku. 

Kau seperti paham betul, bahwa ingatan kita pendek. Tapi kau selalu punya cara untuk memperpanjangnya melebihi kemampuan kita. Misalnya, dengan merekam suara masa kecilku yang masih cadel melantunkan bacaan-bacaan shalat. Aku bisa mendengar pula suaramu di sana yang dengan sabar menuntunku melafalkan semuanya dengan benar. Terima kasih. Terima kasih telah memperkenalkanku pada Rabb kita. Selanjutnya aku menjadi paham, bahwa hanya kepadaNya hidup ini harus kita sandarkan. 

Dan aku selalu ingat, malam-malam larut saat aku terbangun karena kedatanganmu. Kau yang membersamai Ibu dalam ikhtiar panjang untuk kesembuhannya. Tak peduli lelahmu selepas bekerja seharian, selalu ada waktu –bahkan hingga larut malam, untuk membuktikan cinta tanpa harus berbanyak kata. Terima kasih. Terima kasih telah mengajarkan bahwa kita harus selalu punya harapan, bahwa kita tak boleh lelah berjuang. 

Dan aku yang semasa kecil sakit-sakitan tapi tetap ngotot berangkat sekolah, akan selalu merepotkanmu untuk menjemput di tengah jam belajar saat aku tak lagi sanggup bertahan hingga  waktu pulang. Meluangkan sejenak jam kerjamu yang sibuk untuk menyembulkan kepala di balik jendela kelas. Aku selalu tersenyum tenang saat kau memasuki pintu kelas dan membawaku ke rumah. Suatu saat, kau sepanjang malam mengelus punggungku yang gatal tapi tak boleh digaruk karena cacar. Aku tak akan mungkin melupakan itu semua. Terima kasih. Terima kasih untuk selalu membuatku merasa aman. 

Lalu masa pun terus berlalu. Aku mungkin bukan lagi anak perempuan kecil yang dulu selalu menggamit jemarimu. Kini tiba masa di mana terkadang justru aku yang mendampingimu pada kesempatan-kesempatan tertentu. Tanganmu yang bertumpu di pundakku tentu tidak sebanding dengan tahun-tahun kemarin yang kulewatkan dengan merepotkanmu. Dan kau selalu begitu, memperkenalkanku pada teman-temanmu dengan cara yang sama... 

Ini putri saya...”. ‘Putri’, sebuah kata yang kau pilih, yang belakangan kurasa terasa lebih dalam dibanding kata ‘anak’ atau semisalnya. Terima kasih. Terima kasih untuk selalu membuatku merasa berharga. Meski kau tahu, sejauh apapun aku telah melangkah, di hadapanmu aku tetaplah merasa sebagai seorang bocah. 

Terima kasih. Terima kasih, Bapak.  Betapa aku mencintaimu, lelaki pendiam yang telah mengajarkanku banyak hal tentang hidup ini. Terima kasih untuk selalu menjadi kau yang seperti itu; lelaki yang tak pernah pergi. 








Putrimu,
Diena Rifa’ah Amaliah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)