Minggu, 22 Januari 2017

Talk To Me...

TALK TO ME...

Beberapa hari lalu saya sempat baca blog yang cerita tentang kehidupan kuliah di luar negeri plus stress atau depresi yang kadang menjangkit di dalamnya. Sebagai seseorang yang tidak pernah kuliah di luar negeri, saya tentu membaca tulisan itu dengan sudut pandang 'orang luar'. Saya jadi banyak ngangguk, banyak dapat pencerahan baru, betapa kehidupan seseorang yang kita lihat dari luar itu sama sekali tidak bisa jadi acuan kita untuk menilai.

Selama ini kalau kita melihat kawan yang kuliah di luar, paling yang terbayang ya enaknya saja. Bisa liat budaya lain, bisa jalan-jalan ke tempat asing, bisa foto-foto di kampus kerennya, bisa pamer makanan luar negeri, dan hal-hal lain yang kelihatannya enak-enak saja. Tapi kita tidak tahu, bahwa banyak di antara mereka yang mungkin tengah berjuang untuk bertahan dengan keadaannya. Yang sedang dilanda stress berat karena tuntutan akademik yang selangit. Yang sedang suntuk parah karena didera rindu pada keluarga di tanah air. Ya, kita tidak pernah tahu.

Dan parahnya, terkadang pas kita dengar bahwa ada di antara mereka yang stress bahkan hingga depresi (bahkan ada yang sampai bunuh diri), kita dengan mudahnya merasa berhak untuk melakukan justifikasi: ah kurang iman tuh, ah kurang kuat mental tuh, ah kurang ini, ah kurang anu... Padahal, kita tidak pernah tahu apa yang mereka hadapi.

Sama juga waktu banyak dibahas tentang post partum depression alias depresi pasca melahirkan. Mungkin ada yang sampai heran: lah kok bisa anak bayi yang cute dan lucu tanpa dosa itu bisa bikin ibunya sendiri nyaris gila? Mana mungkin rumah yang aman, yang tenang, yang tidak ada deadline macam kantor-kantor itu bisa bikin ibu rumah tangga stress dan butuh me time? Kok bisa sih sudah punya suami, sudah punya anak, punya gelar mulia sebagai ratu dalam rumah, malah berpikir sejenak bisa bebas dari semua itu dan jalan bak gadis lajang? Kok bisa? Kok aneh? Iya, mungkin memang aneh kalau bukan kita yang merasakan sendiri. Nyatanya, babyblues, PPD, dan semacamnya itu benar-benar ada.

Nyatanya, orang-orang yang kita anggap bahagia macam mahasiswa LN dan ibu rumah tangga itu ada yang bahkan harus berjuang menghadapi diri mereka sendiri. Nyatanya, mungkin kita hanya tidak tahu bahwa justru terkadang di balik tembok tinggi rumah yang mewah itu paling banyak jatuh air mata. Sebab kita tidak tahu, siapa yang menangis di balik pintu kamarnya, untuk kemudian tersenyum paling lebar saat harus kembali menghadapi dunia.

Ya menghadapi dunia dan orang-orang yang saat mereka ingin curhat sedikit saja , tiba-tiba mereka jadi sasaran  empuk untuk langsung dianggap lagi jauh dari Tuhan, dan orang lain tiba-tiba jadi paling bisa mengukur keimanan. Padahal memberikan penghakiman seperti itu, saat orang lain tengah terpuruk hidupnya adalah satu perilaku yang jahat.

Kenapa ya, kita sering merasa berat untuk cukup hanya mendengarkan saja. Pun saat harus bernasihat, sangat bisa sekali kita melakukannya tanpa harus menjatuhkan orang lain, membuatnya merasa sebagai pendosa, atau bahkan tidak perlu sambil memperlihatkan 'kehebatan' kita sendiri. Sebab kita tidak pernah tahu, pada nasihat yang manakah saudara kita yang sedang sempit hatinya itu bisa merasa terbantu. Kita tidak tahu, bahwa mungkin saja seseorang bisa kita selamatkan hidupnya saat kita menatap matanya dengan tulus, lalu mengucap padanya dengan lembut, ''Everything will be ok insya Allah... , just talk to me...''

Makassar yang hujan
23 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)